18

99 18 25
                                    

Pernah tidak, kamu merasa kebetulan sering kali berpihak pada kamu tetapi sesungguhnya bukan itu yang kamu inginkan? Saya baru menyadari, setelah diingat-ingat, ternyata akhir-akhir ini saya sangat sering mengalami itu.

Ah, iya, ini sebenarnya masih seputar pertemuan saya dengan lelaki bernama Malik dan mungkin seputar kesengajaan yang Penguasa Langit Bumi ciptakan untuk kami.

Seperti waktu itu, kantor saya mendadak mengadakan rapat koordinasi terkait laporan bulanan yang telah melampaui target. Karena divisi saya adalah salah satu divisi yang paling besar ambil andil di dalamnya, Pak Alanㅡsebagai kepala divisiㅡturut hadir dan mengajak serta beberapa bawahannya untuk mengisi daftar rapat, termasuk saya. Termasuk Malik.

Saya awalnya berusaha menyibukkan diri di lain tempat agar bangku-bangku di dalam ruangan itu terisi sebagian lebih dulu, barulah ketika jarum jam bergerak mendekati waktu dimulainya rapat, saya melangkah masuk setelah mengerling pada jajaran bangku yang tersisa.

Tanpa perlu menghitung waktu, manik saya menangkap presensi Malik di jajaran seberang. Saya pun kian merasa beruntung, karena strategi saya berjalan cukup mulus untuk sedikit menghindari lelaki berwajah tenang di seberang sana.

Tetapi, mulus bukan berarti saya tak punya celah.

Meski jarak kami terbatas oleh besarnya meja, itu tidak membuat perasaan saya yang tengah diperhatikan berkurang sedikitpun.

Iya, beberapa kali saya juga menangkap tatapan teduh Malik menatap lurus ke arah saya, yang tentu langsung saya alihkan pandangan saya sendiri ke manapun, asal tatap saya tidak balik bertemu dengan maniknya yang masih mampu menggelitik sesuatu di dalam tubuh saya.

Begitu rapat selesai pukul lima dan kami begitu saja diperbolehkan pulang, saya segera beranjak bangun lalu cepat-cepat meninggalkan ruangan. Cepat-cepat pula saya membereskan meja kerja milik sendiri sebelum akhirnya meraih kunci motor, tas, dan tidak lupa berpamitan pada beberapa pegawai yang ada.

Secepat itu rasanya saya ingin menghindar lantas mencoba menutup diri.

Tetapi sialnya, saya masihlah manusia biasa yang ceroboh di atas rencana bahkan atas bayang-bayang hidup saya sendiri. Karena ketika kedua kaki saya baru saja menginjak dataran lantai garasi rumah bersama rintik hujan yang mulai berjatuhan, tangan imaji saya langsung menepuk dahi keras-keras begitu ingat bahwa di sepanjang jalan pulang tadi, saya tidak menggunakan jaket sama sekali.

Iya, jaket saya pasti tertinggal di rak penyimpanan ruang rapat.

Saya sendiri jadi heran, mau sampai kapan saya ini ceroboh?

Maka, mengabaikan rasa dongkol entah pada siapa, saya hanya berjalan pasrah melangkah masuk ke dalam rumah, seraya berdoa untuk jaket saya agar tidak ada orang yang iseng mengambil dan mengakuinya sebagai hak milik. Meski benda itu bukan benda yang terbilang sangat bagus, namun benda itu selalu berhasil membuat saya nyaman saat saya mengenakannya.

Saya pun baru sempat kembali memegang ponsel usai membersihkan diri, mengganti baju dan menyamankan tubuh pada sofa di ruang tengah, keadaan rumah yang sepi terasa makin dingin sewaktu saya mendapati beberapa notifikasi pesan masuk, yang paling teratas dan terbaru adalah yang paling mencolok. Tertera nama yang sebetulnya sudah saya coba hindari seharian iniㅡkamu mungkin tahu siapa.

Dan kebetulan-kebetulan yang tadi saya sebutkan di atas, kembali menyambangi seolah sejak tadi saya berdoa untuk itu.

Malik
Hei
Kamu tadi pake jaket nggak?

Saya tercenung beberapa menit, karena, dari sekian banyak orang, mengapa harus dia?

Rianka
Pake

Malik
Yang abu-abu ya?

Mengapa harus orang yang saya sukai dan saya hindari dalam waktu yang bersamaan?

Rianka
Iya ... hehe ketinggalan tadi
Baru sadar pas udah sampai rumah
Jadi ya males balik lagi

Malik
Haha sudah kuduga itu punya kamu
Ada nih aku simpen

Rianka
Iya makasih Lik
Besok aku ambil

Malik
Iya baiklah

Saya hanya membaca pesan penutup tersebut tanpa ada rencana untuk membalas lagi, berikutnya saya tidak tahu bagaimana harus bertemu dengannya besok, tidak tahu bagaimana cara saya meredam detak yang masih terketuk kacau tiap kali saya bersisian dengannya.

Hanya membaca namanya di sudut jendela obrolan saja perasaan saya tak karuan, bagaimana jika lagi-lagi kami dipertemukan?

***

Hingga esok yang disebut-sebut itu benar-benar datang, saya melewati ruang yang biasa digunakan sebagai tempat nongkrong para pegawaiㅡdan saya sebenarnya jarang sekali memasuki ruangan ini kecuali jika sedang sepi, omong-omong.

Di sana sudah hadir Malik dan beberapa teman lelakinya yang sebagian saya kenali keseluruhan, hanya nama, atau hanya wajahnya saja.

Tatapan mereka ramah, mereka menyapa saya, bahkan beberapa dari mereka yang tengah mengisap nikotin cepat-cepat mematikannya begitu raga saya ragu-ragu mengambil spasi di dalam ruangan.

Tidak, tidak. Malik termasuk ke dalam kategori lelaki yang tidak merokok, sebab saya tidak pernah melihatnya demikian.

"Kenapa, Ka?" Abanㅡsalah satu yang ada di sanaㅡbertanya perihal datangnya saya.

Belum sempat saya menjawab, mata saya refleks bergeser pada satu-satunya tujuan serta alasan yang membuat saya hadir di tengah-tengah mereka. Malik pun mengerti, dengan sigap dia berdiri lalu meraih tasnya dari sudut ruangan.

Seperti halnya saya, pasang mata lain di ruangan ini juga memperhatikan gerak tanpa kata milik lelaki itu. Sampai akhirnya Malik berjalan mendekati saya dan menyerahkan jaket saya yang dia temukan kemarin.

"Makasih ya, Lik." Saya membalas tatapan tenang di hadapan dengan sekilas.

Lalu selanjutnya bisa saya dengar beberapa seruan mulai pecah di balik punggung Malik, seperti; "Aduh, aduuhhh." "Ini saya ketinggalan apa nih?" "Ciee Malik." "Punya orang lain mah boro-boro disimpenin ya, Lik? Ditinggal biasanya juga."

Yang terakhir milik Aban. Saya yakin.

Namun Malik justru tersenyum lepas dan menggeleng kecil. "Nggak usah didengerin."

"HEI MALIK JANGAN SOMBONG KAU!"

"Hush! Diem!"

Selagi Malik membalas ledekan-ledekan serupa yang diserukan oleh teman-temannya, saya buru-buru melangkah mundur teratur dan segera meninggalkan ruangan tersebut untuk kembali pada meja saya di mana saya nanti tentu akan kembali bertemu dengan Malik.

Yang secara langsung mengingatkan saya lagi pada kalimat milik teman-temannya tadi. Meski itu hanya sebuah candaan, tetapi, setelahnya mereka terus berputar dalam imaji saya dan memaksa saya merasa kacau untuk kesekian kalinya.

Padahal, sejak saya mengetahui segalanya dan sadar saya bukanlah siapa-siapa, saya secara tidak langsung juga memutuskan untuk tidak memperpanjang perasaan saya dan lebih memilih untuk menahan ego saya sendiri.

Apakah saya masih menyukainya dan hal-hal yang dilakukannya? Iya, masih.
Tetapi semangat untuk mempertemukan perasaan saya padanya? Tidak lagi.

Mungkin, setelah ini Malik hanyalah sekadar teman satu kubikel untuk saya. Dan saya, mungkin tidak lebih dari teman biasa baginya.

Mungkin sejak awal, kami memang tidak pernah ditakdirkan menjadi lebih dari apa pun.

Why We HereTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang