11

94 22 41
                                    

Pikiran-pikiran saya tidak berhenti sampai di sana. Mereka terus mengulang semua perkataan dan pernyataan Bian beberapa hari belakangan.

Bian bilang itu tidak penting, semua alibinya tidak perlu saya pedulikan, tetapi itu bagi saya seperti halnya suatu teka-teki yang meminta untuk dipecahkan. Baik sekarang ataupun seiring berjalannya waktu saya menghabiskan sisa kewarasan saya untuk berpikir.

Namun agaknya, rasa penasaran saya bisa terjawab sedikit demi sedikit.

"Hei."

Saya yang tenggelam dalam lamunan segera tersadar atas suara tepat di sebelah saya. Begitu saya menoleh, tentu saja Bian ada di sana dengan kepala terlungkup di atas meja tepat mengarah pada saya.

"Kenapa? Kok bengong?"

Saya menggeleng.

"Nggak pulang?"

Saya menggeleng lagi, lantas menggerakkan ibu jari dan menitiknya pada kaca jendela mati di ruang kantor kami.

"Oh, iya."

Bian mengembuskan napas panjang, disusul milik saya tiga detik kemudian. Sebelum waktu menghabiskan sisa kewarasan saya, sepertinya, deras curahan air di luar sana lebih dulu merenggut penat kami berdua dan menggantinya dengan rasa bosan tak berujung.

"Pengen pulang ...." Saya menggumamㅡmerasa menggumam dengan sangat pelanㅡpadahal nyatanya tidak.

Atau hanya pendengaran Bian yang sedang tajam-tajamnya.

"Masih gede hujannya, nanti aja." Bian bangkit dari duduknya, bisa saya dengar ia tertawa kecil sebelum akhirnya menepuk puncak kepala saya dua kali.

Saya refleks menoleh padanya, ia hanya tersenyum dan langsung berbalik pergi entah ke mana. Laptopnya masih menyala, jasnya masih tersampir pada punggung bangku, meyakinkan saya jika ia bukan beranjak untuk pulang.

Akhir-akhir ini seringkali saya jadi bertanya-tanya, pantaskah saya berteman baik dengan orang seperti Bian? Karena jujur, saya sendiri masih jauh sekali dari kesan baik sepertinya.

"Angka, jangan bengong-bengong pas hujan, nanti kesambet."

Saya mengangkat kepala, menemukan Oliv dengan setumpuk kertas di tangannya. Ia tersenyum. "Hehe, bercanda. Pinjem stempel dong, Ka. Punya aku lagi diisiin Mas Ifa, tapi orangnya nggak balik-balik."

"Sebentar." Segera saya membuka laci peralatan kantor di atas meja.

"Kamu udah selesai ya, Ka?"

"Udah nih, lagi nunggu hujan aja."

"Rajin banget ih, aku mana bisa."

Saya tertawa mendengar gerutuan Oliv. Perempuan itu sekarang tampak sibuk bersama stempel di tangan kirinya dan kertas-kertas di tangan yang lain bertumpu di atas paha.

"Sini, sini, aku bantuin." Dengan sigap saya memindahkan tumpukan kertas tersebut ke atas meja saya sendiri.

Sementara Oliv menarik bangku kosong Bian untuk ditempatkan tepat di sebelah saya. Jadilah kami mengerjakan pekerjaan itu berdua.

"Ini orang ke mana?" Tanyanya, merujuk pada bangku yang sedang ia duduki.

"Nggak tahu, nggak bilang."

Saya dan Oliv tidak banyak bicara selagi mengerjakan sisa pekerjaan tersebut. Sekitar lima menit, barulah Oliv tersenyum lebar seraya menutup lembaran-lembaran kertas tersebut dan tidak lupa mengembalikan stempelnya kepada saya.

Dan waktu yang ada tentu saja tidak akan disia-siakan oleh Oliv untuk membangun konversasi baru dengan saya, yang, saya yakin pula sebenarnya dia sudah mempersiapkan bahan obrolan itu sejak tadi.

Why We HereTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang