07

111 25 36
                                    

Keberadaan acara kemarin bukan membuat setumpuk pekerjaan saya dan teman-teman yang lain akan berkurang, justru setelahnya saya makin pusing menghadapi tugas-tugas di depan mata.

Mengharapkan libur sehari saja? Jangan, jangan pernah berharap.

Maka dengan perasaan was-was karena sudah terlambat sekitar lima menit, saya memasuki ruang meeting setelah melongokkan kepala lewat celah daun pintu dan menilik siapa saja yang sudah hadir di lingkaran meja itu.

Syukurnya, keberuntungan tengah berpihak pada saya karena ruang rapat ternyata baru diisi oleh beberapa orang yang saya yakin pula mereka baru saja datang beberapa menit lalu.

Ruang meeting atau rapat di kantor saya adalah ruang yang cukup menyenangkan bagi beberapa orang karena kenyamanan dan kebebasannya, namun tidak dengan saya yang sejujurnya kurang menyukai jika banyaknya pasang mata di sana tertuju pada saya untuk dimintai pendapat, atau bahkan solusi. Tidak, tidak, saya tidak secerdas itu untuk dimintai jawaban pasti.

"Angka."

Saya tidak mengenal siapa pun penghuni ruang tersebut, kecuali seseorang yang baru saja memanggil nama saya seraya menitik bangku kosong tepat di sebelahnya.

Bukannya saya tidak punya pilihan, tetapi saya sadar saya hanyalah seorang anak baru yang bukanlah siapa-siapa untuk bisa duduk di sembarang tempat. Jadi, saya betulan mengiyakan bangku kosong di sebelahnya untuk menghabiskan waktu berjam-jam lamanya di sini.

"Tuh, kan, anak teladan telat lagi." Ia menembak, padahal saya baru saja meletakkan tas di atas pangkuan.

"Cuma lima menit, ya, Bi. Please."

Bian tertawa singkat, lalu kembali melanjutkan kegiatan mencoret entah apa di atas dokumen menggunakan bolpoin merahnya.

Setelah saya telisik, saya baru menyadari penampilan Bian hari ini tampak sedikit lebih berbeda. Jas formal yang biasa dikenakannya tidak terlihat, dasinya entah tanggal di mana, dan lengan kemeja biru mudanya tergulung sampai sebatas siku, memperlihatkan sebaris huruf yang menyempurnakan kata 'Insomnia' bercetak hitam tebal di sana.

Tunggu,

Jadi, tato yang Bian gunakan sebagai foto profil kontaknya itu nyata sebuah tato miliknya? Kenapa saya baru tahu?

"A nice tattoo."

"Hah?"

Mata saya bergerak jatuh mengarah pada lengan tangannya. "Tatonya bagus."

"Oh, wow. Serius? Tersanjung nih, soalnya biasanya malah pada bilang ini tuh ganggu."

Saya tergelak geli. "Enggak kok, kataku bagus. Eh, tapi emangnya nggak jadi masalah ya kerja di sini pake tato?"

Bian bergumam sebentar, lalu melanjutkan. "Kan, waktu aku ngelamar kerja di sini aku pakenya kemeja rapi terus pake jas, bukan kaos oblong gitu jadi ya nggak kelihatan dan ... diterima-terima aja, kayaknya karena udah terlanjur deh."

Ia tertawa, saya juga turut melakukannya. Karena kamu tidak akan bisa tidak ikut tertawa setiap mendengar suara tawanya yang menular itu.

"Tapi beneran bagus? Kamu suka gitu?" Tanya Bian lagi.

"Iya bagus, beneran kok. Aku suka." Saya menjeda, kemudian memutuskan untuk bertanya lebih jauh. "Tapi, kenapa insomnia?"

Bian menutup map di atas meja, menyandarkan punggungnya pada sandaran bangku dan mengetuk-ngetuk dagunya menggunakan bolpoin tadi. Tetapi tatapannya masih lurus memandang meja di hadapan kami.

"Kenapa, ya?"

"Lah, nggak tahu. Kan, kamu yang punya."

Ia terlihat berpikir keras, saya jadi sedikit menyesal kalau hal itu nantinya akan membuat Bian jadi tersinggung atau semacamnya. Pun saya sudah bersiap jika seandainya Bian menolak untuk menjawab, baiknya saya harus berhenti di sana karena mungkin itu memang privasinya.

Why We HereTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang