Pagi itu saya terbangun dari tidur karena terbatuk-batuk sedikit lebih keras dari biasanya. Begitu mata saya terbuka, lagi-lagi bisa saya rasakan suhu panas kontan menjalari seluruh tubuh saya termasuk wajah yang memanas.
Pandangan saya lantas tertuju diam pada jam yang terpaku manis di dinding, seharusnya saat ini saya sudah bergelut dengan kopi, laptop, dan dokumen kantor jika saja tubuh saya tidak menolak dengan caranya yang paling hebat; gemetar, panas, dingin, menyisakan bulir-bulir keringat yang saya seka hampir setiap sepuluh menit sekali.
Bahkan untuk meraih ponsel di atas nakas pun rasanya saya tidak memiliki tenaga tersisa, padahal saya belum mengabari siapa pun itu relasi saya di kantor bahwa saya akhirnya tumbang untuk pertama kalinya.
Masih mencari kalimat yang bagus sebagai pembuka pesan untuk kepala divisi saya sendiri nanti, pintu kamar saya terbuka setelah dua ketukan berulang terdengar.
Mama berjalan mendekati kasur saya, meletakkan satu buah cangkir tertutup rapat dan meletakkannya di atas nakas bersisian dengan ponsel saya. Kebetulan.
Sontak saya langsung menurunkan selimut sampai sebatas dada, menghiraukan denyut di atas mata begitu retina menangkap cahaya lampu dalam hitungan detik.
"Ma, minta tolong, hape Anka."
"Lho, kirain kamu tidur." Mama memandangi saya sejenak sebelum meraih ponsel itu, dan menyerahkannya pada saya lalu duduk di tepi ranjang. "Udah kabarin kantor belum?"
"Ini baru mau."
"Siapa itu, ya, kepala divisi kamu?" Mama terlihat berusaha mengingat, tangan kanannya pelan-pelan mengusap kepala saya, mungkin berharap panas di tubuh saya bisa lenyap setelahnya.
"Pak Alan."
"Oh, iya." Mama terkekeh. "Baik, orangnya? Bisa ngerti, kan, kalau kamu ijin sakit?"
"Kayaknya sih bisa, Ma. Anka coba, ya."
Sambil mengetikkan pesan izin untuk Pak Alan, saya menilik Mama yang sudah siap dengan pakaian kerjanya, seharusnya, sih, beliau pergi beberapa menit lagi.
"Mama nggak berangkat?"
"Ini mau, tapi kamu gimana? Nggak apa-apa sendirian?"
Iya, usia saya memang hampir menginjak seperempat abad, tetapi di mata Mama, Papa, dan Kakak, saya masihlah Rianka termuda yang mereka miliki, masih Rianka yang selalu dikhawatirkan, dan masih pula Rianka yang harus mereka jaga sampai kapanpun.
Dan saya juga tidak bisa menolak fakta tersebut.
"Nggak apa-apa, Anka juga nggak bakal ke mana-mana kok." Jawab saya pelan, berusaha sedikit membagi senyum agar Mama percaya pada saya.
"Mau nitip apa kamu? Nanti Mama beliin."
"Nggak usah, Ma. Anka lagi nggak pengin makan."
Napas berat Mama terembus berat usai mendengar jawaban tak memuaskan itu. "Ya udah, nanti Mama pulang cepet aja, ya?"
Saya mengangguk, membiarkan Mama mendekat dan mengecup dahi panas saya yang sebagian tertutup helaian rambut.
"Hati-hati, Ma."
"Iya. Kamu kalau ada atau perlu apa-apa, telepon Mbak Widi aja." Mama menyebut nama adik perempuannya yang kebetulan tinggal di belakang rumah saya.
Namun, mana mungkin saya menganggu orang lain hanya untuk meraih cangkir teh di atas nakas? Tidak mungkin. Jadi begitu Mama sudah tidak lagi terlihat, saya bersusah payah menarik tubuh dan merentangkan tangan yang terasa sangat sakit hanya agar dapat meraih cangkir tersebut.
Sebenarnya, kamu ini kenapa?
Bisik saya, entah pada bagian diri saya yang mana setelah saya sedikit mendapati pantulan diri pada layar gelap ponsel.
Sakit karena memang tubuh saya sudah tidak lagi sanggup? Atau hanya karena ekspektasi saya dihancurkan oleh alasan tak berdasar, hingga memaksa diri menghabiskan seluruh tenaga yang tersisa untuk menangis keras?
Apa ada pembelaan yang lebih menyedihkan dari itu? Tidak. Saya rasa tidak.
Mungkin saya terlalu berharap banyak kemarin, sampai saya lupa bagaimana caranya bersiap barangkali sewaktu-waktu realita dapat menampar saya dengan segala bentuk paling nyata yang mereka miliki.
***
Untuk kesekian kali, saya terbangun dengan cara yang sama. Setelah menetralkan batuk sekitar lima menit, membiasakan lagi retina bertemu cahaya sekitar dua menit, barulah saya kembali mendudukkan diri dan meraih cangkir teh yang telah mendingin.
Atas itu, mata saya melirik jam yang sama namun jarumnya kini telah menunjukkan pukul dua belas siang.
Ponsel di sekitar jangkauan tangan saya berbunyi beberapa kali menandakan pesan masuk, ternyata saya lupa mengubahnya menjadi mode diam selama saya meringkuk di bawah lembaran selimut.
Banyak pesan dan beberapa panggilan masuk, sebagian dari keluarga, sebagian lagi berasal dari kantor atas Pak Alan yang memperbolehkan saya beristirahat hingga saya benar-benar pulih, disusul milik Oliv dan teman saya yang lain beserta doa cepat sembuh agar saya bisa kembali berdiri bersama mereka.
Tetapi senyum tipis tak disengaja milik saya terasa luruh sewaktu mata ini menangkap salah satu kolom pesan yang tertumpuk, dari waktu yang ditunjukkan, pesan itu masuk sekitar dua jam lalu yang berarti di saat saya tengah tertidur.
Jari saya mengawang beberapa inci dari kolom tersebut, ragu sebelum benar-benar membukanya, bingung harus menanggapi seperti apa.
Di tengah kabut pikiran dan perkiraan itu pula, mendadak pikiran saya berlari bebas menuju kalimat-kalimat tajam sore kemarin yang entah bagaimana caranya mereka seperti menusuk saya bagai sebuah belati.
Maka karena tidak ingin menambah luka, saya mengurungkan niat untuk membuka dan mencari tahu.
Dan memang, seharusnya, saya tidak boleh mencari tahu.
"Bodoh banget kamu Rianka." Saya refleks mengeluh, mengembuskan napas panas seraya memijat dahi yang kembali terasa berdenyut sebagian.
Berniat bangun hanya untuk mengambil kotak obat dan air mineral di atas meja, manik saya malah tertuju pada amplop putih yang belum saya sentuh lagi sejak kemarin.
Isinya tidak ada yang istimewa, hanya tulisan tangan milik Bian yang berintikan pesan bahwa katanya; saya harus berjanji untuk terus tersenyum dan tertawaㅡapa pun alasannya, saya harus berjanji untuk terus sehat dan menjadi seseorang yang kuatㅡapa pun kondisinya. Karena, katanya juga, saya adalah satu dari ratusan hal yang akan ia rindukan selama ia berada di negara seberang.
Hanya itu. Namun berhasil membuat langkah saya tertarik mundur dan kembali meraih ponsel di tepi ranjang, lantas segera memasuki ruang obrolan saya dengannya yang saya rasa, tidak akan bisa lebih panjang lagi dari itu.
Rianka :
Bian?Tidak ada tanda-tanda pesan saya terkirim hingga beberapa detik kemudian. Menit terlewat. Jam berlalu. Hanya tersisa ruang yang sepi, dan kedua bahu saya terasa jatuh perlahan di atas harapan yang patah.
Maaf, Bian,
Saya telah lebih dulu mengingkari bahkan sebelum saya sempat berjanji.
KAMU SEDANG MEMBACA
Why We Here
FanfictionPernahkah kamu bertanya, mengapa kita ada di sini? (Was) #1 - hajoon #1 - the rose [ Why We Here ; DAY6's ] ©2020, Nyctoscphile (200320ㅡ210828) All Rights Reserved.