Jika orang-orang bertanya, apa sifat buruk seorang Rianka Fabella, mereka yang sudah mengenal saya betul-betul pasti dengan semangat akan menjawab bahwa saya adalah orang yang paling mudah dilanda panik dan ceroboh dalam waktu yang bersamaan.
Sungguhan, tidak apa, saya tidak akan pernah menyangkalnya karena memang kenyataannya saya bersifat demikian.
Contoh nyata saja, seperti beberapa saat lalu saya tengah bergelut di hadapan papan ketik laptop, mendadak ponsel saya dihujani notifikasi berturut-turut dari aplikasi pesan instan tersebut. Yakni berasal dari grup kantor atau tepatnya divisi saya, yang mana pesannya kebanyakan berbunyi,
"Angka, ditungguin Bu Mayang."
"Ka, yang paket kemaren sore jangan lupa, ya."
"Kayaknya selain jam rapat, Bu Mayang bakalan nggak ada deh, Ka."
"Rianka kamu di mana, sih??"Dan tidak lupa tanggung jawab yang dilimpahkan kepada Rianka Rianka yang lainnya.
Rasa panik saya segera menggerakkan spontanitas untuk mengganti mode laptop saya menjadi mode tidur, lantas meraih tumpukan dokumen titipan dari dalam lemari yang bahkan belum sempat saya rapikan berdasarkan warna, tebal, dan jenis.
Bisa-bisanya saya melupakan pekerjaan sebanyak ini ... sebenarnya apa, sih, yang saya pikirkan?
Menyebalkannya, kantor saya terdiri dari beberapa bangunan yang terpisah, bukan mudah bagi saya untuk berjalan tergesa-gesa sambil memikirkan alasan yang bagus untuk membuat perlindungan tipis apabila seluruh pasang mata di ruang rapat nanti menghakimi keterlambatan saya, yang, demi Tuhan, saya masih tidak habis pikir kenapa saya bisa melakukannya.
Nah, kan, belum apa-apa, kecerobohan saya sudah terlihat membuahkan hasil.
Keseluruhan diri saya yang nyaris ditenggelamkan rasa panik serta was-was tak berujung, mengakibatkan saya harus sedikit oleng saat hendak menaiki anak tangga terakhir menuju lantai dua ruang rapat. Beberapa dokumen pada tumpukan teratas tentu saja tergelincir mulus hingga mendarat sempurna pada dataran lantai.
Saya mendengus, sebal dengan tabiat diri sendiri.
Jadi mengandalkan satu-satunya tangan saya yang masih dapat bergerak bebas, saya berusaha meraih dokumen-dokumen yang tercecer di sana satu per satu.
Tadinya, hanya sendiri. Karena tidak lama kemudian, tangan panjang dari lain arah begitu saja datang seraya mengumpulkan sisa-sisa kertas dan map di anak tangga terujung.
"Mau ke mana, sih? Buru-buru gitu." Tanyanya, seraya menaiki anak-anak tangga itu, menghampiri saya di sini.
Oke, saya mulai bingung apakah ini sebuah keberuntungan atau bukan, karena saya bisa merasakan jantung saya kembali berdetak lebih cepat, lebih cepat daripada saya mengejar waktu untuk memasukkan nama ke dalam daftar absensi rapat.
Seperti biasa, seperti tiap kali saya melihat bagaimana wajah serta garisan senyumnya selalu menyapa.
"Laporan sama tanda tangan ke Bu Mayang." Sahut saya sedikit terburu-buru, berharap-harap cemas sepi di ruangan ini tidak akan membuat kekacauan di dalam diri saya terdengar olehnya.
Malik mengangguk, hampir meletakkan beberapa map pada tumpukan di tangan saya.
Namun, suaranya justru menjeda diri sendiri. "Eh, eh, tunggu deh."
Kedua alis saya menjengat sedikit.
"Ke rapatnya Pak Alan, berarti?"
"Iya. Kenapa?"
"Nggak apa-apa, sih." Malik mengangkat separuh dokumen di tangan saya dan menyelipkan map yang diambilnya tadi tepat di tengah. "Nanti duduknya jangan di sebelah Mas Yufa, ya."

KAMU SEDANG MEMBACA
Why We Here
Hayran KurguPernahkah kamu bertanya, mengapa kita ada di sini? (Was) #1 - hajoon #1 - the rose [ Why We Here ; DAY6's ] ©2020, Nyctoscphile (200320ㅡ210828) All Rights Reserved.