05; Your Favourite Song

196 35 36
                                    

"Kira-kira berapa lama, Pak?"

"Wah, lumayan ini mah, Neng. Kena ban dalamnya, tuh si velg-nya juga nggak rata tuh."

Pagi ini, pukul tujuh tiga puluh, seorang Rianka yang sangat menyukai suasana pagi justru sudah menghela napas panjang-panjang di bawah pohon Angsana setinggi enam meter yang menaungi sebuah gubuk tukang tambal ban.

Mulanya, saya tidak menyadari ada yang salah dengan motor saya. Tetapi setelah berusaha melewati beberapa jalanan berlubang sebesar-besar lingkaran sumur, yang juga melewati beberapa gundukan krikil bekas kumpulan aliran air hujan, motor saya mendadak oleng dan terasa berat.

Saya berhenti dan memeriksanya, ternyata dia kempes, atau meledak, atau mungkin tertusuk sesuatu seperti paku, yang pasti, tidak bisa saya atasi seorang diri.

Beberapa orang lelaki melewati saya, sekaligus melihat bagaimana ban depan motor saya tampak begitu mengenaskan. Maka mereka menawarkan bantuan untuk membantu mendorong motor saya sampai pada bengkel atau tukang tambal ban terdekat.

Dan di sinilah saya berakhir, duduk di atas potongan kayu yang telah beralih fungsi menjadi sebuah tempat duduk untuk menunggu, beberapa bagiannya tampak menghitam dan sedikit lengket. Mungkin tercecer bekas oli, minyak, timah, dan kawan-kawannya.

Iya, dan benar, sudah bisa dipastikan. Saya akan terlambat masuk ke kantor.

Lima belas menit sudah saya lewati dengan menunggu, di menit yang sama pula satu pesan masuk yang telah saya duga benar-benar datang. Pasti mereka mencari keberadaan saya.

Bian :
Pagi Rianka
Kamu di mana deh? Ngga masuk?

Selagi saya mengetik balasan, Bian masih mengetik dan melanjutkan,

Bian :
Dicariin pak menejer nih daritadi

Rianka :
Masuuk
Aku lagi di bengkel dulu, ban motorku bocor

Bian :
Kasian huuu
Di bengkel mana!
*?
Mau dijemput?

Rianka :
Dih ngga usah
Masih jauh dari kantor lagian

Sempat saya lihat Bian tengah mengetik beberapa detik sebelum akhirnya benar-benar menghilang dan tidak ada lagi jawaban, mungkin ia telah kembali pada pekerjaannya

Dan di detik itu pula saya bersyukur, karena saya memiliki rekan kerja yang tidak banyak menuntut.

***

Acara reparasi ban motor saya berlangsung selama kurang lebih setengah jam lamanya. Setelah menyelesaikan urusan bayar-membayar, saya pun segera melajukan kendaraan roda dua ini sedikit lebih cepat, kira-kira hampir lima puluh kilometer per jam, di tengah jam sibuk dan padat seperti ini, sama dengan saya cari mati.

Namun, tidak ada yang bisa diubah. Saya tetap terlambat.

Banyak pasang mata yang saya kenal menyapa saya, pun bertanya perihal keterlambatan saya dari balik meja mereka, saya hanya menjawab seadanya karena tidak ingin membuang waktu lebih lama lagi untuk sampai pada meja saya sendiri.

Dahi saya berkerut tipis ketika melihat layar laptop saya menyala, menampilkan deretan pekerjaan yang seharusnya saya kerjakan hari ini.

"Pagi, Bi. Kok laptop aku dinyalain, sih?" Sukses sudah saya lemparkan praduga tersebut pada Bianㅡsi rekan di belakang bangku saya.

Why We HereTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang