04

253 39 40
                                    

Hari itu membuat saya mengenal lebih banyak lagi pegawai-pegawai kantor yang lain, beberapa masih ada dalam satu divisi dengan saya, beberapa lainnya ada di luar divisi saya bahkan sebenarnya ditempatkan di luar kantor dan tengah menjalani masa acak untuk beberapa bulan ke depan.

Terima kasih banyak-banyak tidak luput saya berikan pada Malik, sebab ia yang secara tidak langsung menahan diri saya di teras kantor sampai listrik kembali menyala.

Dan kemarin juga Pak Alan hadir di tengah-tengah kami, mengatakan bahwa terkhusus hari ini atau mungkin sampai dua hari ke depan, saya, Malik, dan beberapa orang lainnya yang akan tampil nanti akan dibebaskan dari tugas-tugas tambahan dengan sedikit tugas reguler.

Separuh merasa bersyukur, separuh lagi merasa terbebani karena pada siang yang luar biasa panas ini, kami telah dipanggil dan berkumpul di ruang penempatan barang yang kini telah disulap menjadi ruangan serbaguna lengkap dengan belasan bangku berjajar rapi.

Saya cepat-cepat mengambil posisi yang strategis (tentu menurut saya), tidak di depan, tidak juga di belakang, saya lebih memilih barisan tengah dengan posisi paling di tepi agar saya mudah untuk keluar saat briefing ini selesai.

"Kamu nanti nyanyi apa, Ka?" Olivㅡsalah satu perempuan yang baru saya kenal kemarinㅡlangsung bertanya ketika ia menitik bangku kosong di sebelah kiri saya dan duduk di sana.

"Apa, ya ... belum kepikiran. Lagian, kan, yang nyanyi bukan aku, mungkin Qiara sama Malik."

"Loh? Qiara mah kan nanti sama Aban?"

"Hah? Emang iya? Enggak kita bareng atau gimana gitu." Nada bicara saya menurun sekian bar di akhir kalimat, membuat dahi Oliv mengerut tak paham.

Padahal saya sama tak pahamnya.

"Seingetku berdua-berdua loh, Ka."

"Iya gitu?? Qiara sama Aban berarti? Aku samaㅡ"

"Malik," Oliv memotong, "iya-iya, berarti kamu sama Malik."

Meski belum sepenuhnya percaya, saya buru-buru menghela napas guna menenangkan diri. Dan jika benar terjadi, ini tidak akan membuat hari-hari saya tenang, pikir saya.

Lalu cepat-cepat saya mengalihkan pembicaraan. "Kalau kamu, sama siapa, Liv?"

"Sama Satya, tadinya disuruh sama Evan tapi aku nggak mau, pasti isinya dicomblangi doang."

Oliv memberengut sebal seraya tangannya menjejalkan ponsel dan dompet ke dalam tasnya. Sedang respon yang saya berikan hanya terkekeh geli, pun saya tidak akan menampik realita, Oliv itu cantik, baik, dan pintar, pasti banyak yang tertarik padanya. Yang juga membuat saya jadi bersyukur memiliki teman menyenangkan seperti dia.

Tidak lama Oliv bangkit, refleks saya mengikuti ke mana perginya ia. "Mau ke toilet dulu sebelum Pak Seda ke sini Tolong jaga tas aku ya, Ka."

"Iya, aman." Saya menjawab singkat, lalu kembali menjatuhkan pandangan pada layar ponsel yang tengah menampilkan sebuah permainan yang gemar memakan memori ponsel sampai ratusan megabyte.

Di tengah-tengah kegiatan saya menahan diri untuk tidak mengumpat pada diri saya sendiri karena banyak melakukan kesalahan fatal, penciuman saya menangkap aroma familier yang datang dari belakang punggung saya.

Oh, ya, percaya tidak bahwa sejak awal saya duduk di sini, saya sama sekali tidak menoleh ke belakang untuk melihat atau memastikan siapa-siapa saja yang telah datang dan membuat ruangan ini menjadi semakin berisik. Mungkin di sana ada beberapa orang yang saya kenal, mungkin juga tidak.

Kembali lagi pada aroma yang saya sebut familier, seraya menunggu permainan saya loading akibat jaringan wifi yang ngadat. Saya berusaha mengingat aroma itu, seperti jeruk lemon bercampur mint yang menjadi salah satu rasa permen yang pernah saya coba dahulu, entah kapan saya pun tidak ingat.

Why We HereTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang