Saya berangkat menuju kantor hari itu lebih pagi dari biasanya. Sebab atasan saya mengatakan bahwa kami para pegawai harus datang sebelum pukul tujuh.
Jarak dari rumah saya menuju kantor memakan waktu kurang lebih satu jam lamanya, jadi, jika saya ingin sampai di sana tepat pukul tujuh, saya sudah harus berangkat tepat pukul enam pula.
Namun kenyataan tidak semenyeramkan yang saya bayangkan (karena tentu saja, saya tetap takut terlambat), jalanan sepi pagi itu mengantarkan saya pada kantor lebih cepat sepuluh menit. Dengan tas gitar yang tengah saya bawa, beberapa pegawai yang berbusana sama seperti sayaㅡbaju-baju putih dan celana atau rok hitamㅡmenyapa saya, beberapa di antaranya bahkan memberi ledekan entah atas dasar apa.
Sayangnya semua yang telah direncanakan tidak terlalu berjalan mulus, ketika saya masuk ke dalam kantor untuk menyimpan tas, sebuah keributan terdengar dari salah satu lorong yang akan saya lewati.
Itu Malik dan Aban, setelah saya hampiri keduanya dan bertanya kenapa mereka malah berdebat, saya mengerti ini bukan masalah kecil.
Seharusnya, Aban dan Qiara dijadwalkan akan tampil pertama yang artinya juga, sebentar lagi. Masalahnya, Qiara belum datang dan Aban meminta Malikㅡotomatis bersama sayaㅡtampil pertama menggantikan mereka berdua.
Tentu Malik tidak terima. Meski saya sudah berlatih semalaman untuk menghafal chord lagu yang akan kami bawakan, saya dan Malik masih belum memiliki latihan yang cukup sebagai seorang partner. Padahal jika Aban dan Qiara tampil lebih dulu, saya dan Malik paling tidak memiliki waktu sedikit untuk berlatih.
"Udah, Lik, nggak apa-apa kita dulu. Siap-siapnya dari sekarang aja." Akhirnya pada percobaan yang kesekian kali, saya berhasil meyakinkan Malik bahwa kami bisa tampil pertama.
Malik menghela napas berat, terlihat ingin membantah tetapi urung.
"Ya udah, ayo." Malik menoleh pada saya. "Gitar kamu mana?"
"Udah di depan."
"Kamu duluan kalau gitu, gitar aku masih di dalam."
Begitulah kami berlalu. Saya lebih dulu pergi ke teras di mana tempat itu sudah diubah sedemikian rupa hingga jadi menyerupai bentuk panggung minimalis. Sangat minimalis.
Saya mengambil posisi duduk tepat di samping amplifier, kemudian pandangan saya lagi-lagi diharuskan jatuh menatap layar ponsel demi mengingat chord lagu yang akan saya bawakan beberapa menit lagi.
My Immortal, saya tidak menyangka kami akan benar-benar membawakan lagu yang belum genap sehari saya hafalkan ini menjadi versi akustik, di hadapan banyak orang.
Sayang, pagi itu posisi duduk saya tidak begitu strategis karena ternyata sinar matahari yang perlahan naik itu lama-kelamaan membuat saya silau.
Dan mungkin membuat dahi saya mengerut pada cahayanya.
"The sun disturb you, eh?"
Atau kemungkinan lain, Malik melihat dan menyadarinya.
"Iya, nih, asli."
Saya belum sempat genap berpikir harus memindahkan bangku ke mana ketika tahu-tahu Malik menyeret bangku lain tepat ke hadapan saya dan begitu saja duduk di sana, otomatis ia berhasil menghalangi banyak sekali cahaya matahari yang awalnya menusuk saya secara terang-terangan.
Saya tidak tahu apakah Malik sengaja melakukan itu atau tidak. Tapi saya harap ia sedang ada dalam kesadaran penuh saat melakukanya.
"Udah siap belum? Dilihat banyak orang, loh."
Bahu saya terangkat singkat. "Siap nggak siap, harus siap."
Lalu dia tergelak ringan. "We can hang it, don't worry."
![](https://img.wattpad.com/cover/217073102-288-k432084.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Why We Here
FanfictionPernahkah kamu bertanya, mengapa kita ada di sini? (Was) #1 - hajoon #1 - the rose [ Why We Here ; DAY6's ] ©2020, Nyctoscphile (200320ㅡ210828) All Rights Reserved.