19

72 18 48
                                    

"Lho, Anka? Berangkat pagi kamu hari ini?"

Pertanyaan keheranan Mama terdengar menyambut tepat setelah saya menginjakkan kaki di luar kamar. Tentu Mama heran, sebab saya tidak pernah ada dalam keadaan rapi secepat dan sepagi ini di hari Minggu.

Saya juga heran, mengapa saya mendadak bisa.

"Enggak, Ma. Temen kantor ada yang ngajak main."

Iya, teman kantor saya. Yang tidak lain dan tidak bukan adalah Olivia, pukul lima tiga puluh tadi, lewat telepon.

"Angkaaaaa."

Saya yang saat itu baru saja selesai merapikan ranjang dan kamar, langsung dibuat mengernyit oleh seruan di ujung panggilan.

"Kenapa, Liv?"

"Main, yuk?"

Dahi saya mengerut, tidak biasanya Oliv mengajak saya pergi keluar. "Main? Ke?"

"Ke rumahnya Jia, semalem dia telepon aku terus ngajak aku ke rumahnya, dia ulang tahun hari ini." Saya terdiam, sedang Oliv masih terdengar antusias. "Kalau nggak datang nggak enak, udah berapa kali dia ngajak aku soalnya."

"Aku aja nggak diajak, masa aku tiba-tiba datang, sih, Liv?" Bukan saya ingin turut diundang, sih, tapi saya sedang berusaha mencari alasan logis.

Dan tiba-tiba, saya merasa kepala saya berdenyut selagi memikirkan jawaban untuk menolak sehalus mungkin permintaan Oliv, tetapi Oliv lebih dulu menginterupsi.

"Ih, nggak apa-apa. Nanti aku yang bilang. Karena aku nggak ada yang antar ... kalau kamu ikut, kan, aku bisa ikut kamu, hehe."

Saya masih terdiam.

"Aku yang bayarin bensin deh!" Tawarnya lebih.

Saya bukannya tidak mau mengantar Oliv, bukannya saya mau menghindar, bukan juga hanya karena masalah berapa bahan bakar yang saya habiskan. Hanya saja, saya tidak tahu harus bagaimana bersikap nanti di hadapan orang-orang sementara saya (mungkin) pernah terlihat buruk di mata orang lain.

Terlebih, ini acara ulang tahun. Saya tidak pernah menghadiri pesta atau apa pun itu yang berhubungan dengan ulang tahun, bahkan saya tidak pernah merayakan hari kelahiran saya sendiri.

Namun mengingat siapa Oliv dan apa peranannya dalam lingkungan kerja serta hidup saya belakangan, saya tidak bisa menolak. Dan setelahnya saya cukup menyesali diri saya sendiri yang sangat sulit untuk mengatakan 'tidak'.

"Jam berapa?"

***

Maka, pada pukul delapan, di sanalah saya sudah berdiri dengan rasa asing paling mutlak.

Berkali-kali Oliv mengajak saya untuk masuk dan menemui Jia beserta teman-temannya yang lain di dalam, namun langkah saya rasanya seperti tertahan di teras besar itu. Terlebih, setelah saya menyadari ada beberapa orang yang begitu saya kenali di lingkungan kantor ada di sana.

Salah satunya Qiara.

Saya tidak tahu apakah saya masih terlihat buruk di matanya atau tidak, yang jelas, semua ekspresi dan kalimat yang waktu itu ditujukan dengan sinis sekali olehnya masih terbayang di setiap kedipan mata saya sendiri.

"Heh."

Mendadak, punggung saya menegak atas telapak tangan yang baru saja menepuk pundak kanan saya sekali.

Saya menoleh, melihat dia berdiri di sisi lengkap dengan senyumnya itu.

"Malah bengong di sini." Lanjutnya. "Masuk sana."

Why We HereTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang