22

81 19 15
                                    

Sungguh saya tidak paham, tentang suasana hati seseorang yang cepat berubah-ubah meski dalam hitungan waktu satu malam. Saya, termasuk ke dalam golongan orang yang tidak bisa menyembunyikan suasana hati, jika hari ini saya sedih, saya akan sedih hingga esok harinya dan membaik pada hari lusa. Demikian pula saya dalam kondisi marah, kecewa, atau perasaan-perasaan lainnya yang dapat mengganjal hati.

Berbeda dengan saya, lelaki ituㅡkamu tahu siapaㅡmemiliki suasana hati yang tidak bisa ditebak, paling tidak untuk saya yang baru mengenalnya selama beberapa bulan terakhir.

Kemarin, dia tampak sendu dan sayu menceritakan perihal sang adik yang saya akui, pasti masih banyak rahasia tentangnya yang belum sempat dia ucap. Lalu, beberapa menit selanjutnya, dia tampak mempertahankan kesabaran yang seharusnya masih dapat disebut layak. Dan hari ini, suasana di sekitarnya tampak berbeda lagi ketika saya menemukan dia di antara deret bangku rapat.

Ruang rapat pagi itu belum terbilang ramai, namun beberapa orang yang saya kenali sudah hadir menempati bangku pilihan mereka masing-masing.

Di saat itulah mata saya menyimpan dua kesimpulan mutlak. Satu; pada baris kiri di mana saya menemukan Yanjia tengah asik bercanda serta membangun obrolan bersama teman-teman lelakinya. Sementara dua; pada baris kanan saya menemukan deret yang lebih sepi, Malik duduk di sana bersebelahan dengan Aban.

Keduanya entah sedang serius membicarakan apa sampai akhirnya Aban menyadari kehadiran saya di pintu masuk, segera ia mengangkat sebelah tangannya lalu tersenyum pada saya.

Bohong kalau saya tidak merasa aneh dengan ekspresinya itu.

"Angka, sini deh."

Saya melangkah ragu, lebih ragu lagi setelah lelaki di sebelah Aban ikut tersenyum bersama ujung-ujung rambut panjangnya yang sedikit mengayun di dekat mata.

Duh, Rianka, jangan diperhatikan.

"Apa?"

"Kamu nanti presentasi?"

Saya menggeleng. "Diganti Oliv sama Anne."

"Oke." Cetus Aban. "Bagus."

Kemudian begitu saja ia bangkit berdiri, menggeser sedikit bangkunya pada saya.

Seakan mengerti pada dahi saya yang mengerut tipis tanda tidak terima, Aban terkekeh. "Duduk aja di sini, nanti aku presentasi nomor dua soalnya."

Di otak saya belum ada terbesit sebuah jawaban untuk kalimat itu, Aban lebih dulu mengambil tas dokumen di atas meja dan menyeretnya hingga bangku terdepan.

Lalu ia jadi duduk di sana, meninggalkan saya bersama barisan tanya serta jarak sempit di sebelah kanan saya.

"Malah bengong, hei." Malik akhirnya bersuara, seraya mengetuk punggung tangan saya dan bangku kosong itu menggunakan bolpoin secara bergantian. "Nggak mau duduk?"

Di dalam ragu dan bingung, saya betulan menempati bangku tersebut tanpa berbicara apa-apa. Beberapa kali Malik mengajak saya membicarakan macam-macam hal, namun saya belum benar-benar bisa menanggapi sebab ada setitik rasa tidak enak yang di menit kesekian, bisa saya ketahui dari mana penyebabnya.

Manik saya terpaku pada pemandangan di seberang meja, di mana ramai tawa beriringan dengan konversasi seru yang nyaris tidak pernah putus di sekitar bangku milik Jia.

Sementara di sebelah saya, suasana lebih banyak didominasi oleh hening dan obrolan sesekali yang Malik tunjukkan tanpa suara keras sedikitpun.

Sampai entah di detik keberapa lamunan saya tentang keraguan itu pecah, buyar karena saya merasakan pipi kanan saya disentuh oleh sesuatu yang dingin.

Cepat-cepat saya menoleh, mendapati Malik masih tersenyum jail sambil memegang bolpoin yang saya yakin benda itulah yang tadi dia gunakan untuk menarik distraksi saya.

"Jangan bengong, Rianka." Ujarnya, halus sekali. "Apalagi lihat-lihat yang nggak penting."

"Emang kamu tahu aku lagi lihat apa?" Balas saya tak mau kalah, meski sedikit makin merasa tidak enak hati karena saya takut Malik akan tersinggung sebab saya memperhatikan Jia di seberang.

Tetapi Malik tidak berekspresi banyak, senyum itu tetap tergantung di garis bibir, maniknya ikut memandang gambaran di ujung matanya yang seolah menertawakan.

"Hal yang dianggap penting, harusnya bakal selalu diutamakan. Iya, nggak?" Tanyanya, yang lebih terdengar seperti pernyataan sepihak. "Enggak diutamakan nggak apa-apa, sih. Tapi paling enggak, dihargai lah sedikit."

"Kamu ngomong apa ...." Saya balik bertanya pelan, setelah menyadari betapa kontrasnya ekspresi wajah senang di seberang sana dengan ekspresi tenang di hadapan saya.

Namun Malik, masih bertahan pada seutas kurva tipis.

"Kalau aku bilang makasih lagi sama kamu, kamu bakal sebel kayaknya ya, Ka?"

"If you say it without any reason."

Malik malah tertawa kecil. "You got my joke?"

"Enggak, sebenernya." Sahut saya, seraya mengangkat kedua bahu acuh tak acuh. "Tebak-tebak aja."

"Tebak-tebak berhadiah mau nggak?"

Saya berpura-pura memasang raut wajah menimbang, entah kenapa rasanya begitu mengalir, saya tidak lagi kaku untuk menjawab seluruh pertanyaannya yang cukup random.

"Tergantung, hadiahnya apa dulu."

"Bukan uang tapi, ya, karena aku gajian masih Minggu depan. But, you will find the gift soon, very very soon."

Kan, Malik Damian memang se-random itu.

"Kalau syaratnya kayak gitu, berarti pertanyaannya bakal susah nih." Keluh saya.

"Tapi kamu udah tahu jawabannya."

"Hah?"

"Heh."

Saya sungguhan tidak mengerti apa maksud pembicaraan itu, namun melihat air wajah Malik yang tampak sedikit lebih cerah membuat saya perlahan melepas rasa tidak enak tadi.

Menggantinya dengan sebuah usaha untuk bertahan dan menemani sebentar, sampai senyumnya ragu untuk memudar, sampai suara tawa beratnya menggelitik rungu saya sebagai salah satu intonasi yang saya sukai.

Masih banyak pertanyaan yang ingin saya ajukan padanya sebelum saya benar-benar menarik diri ke belakang, sebelum saya benar-benar mundur dari segala apa yang sebenarnya belum sempat saya mulai sama sekali.

Saya akan mencoba berhenti di sini, sebagaimana tawanya terhenti sewaktu pandangan kami bertemu dalam hitungan sekon.

"Perasaan kamu sekarang. Itu jawabannya, Rianka."

Why We HereTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang