Percaya tidak, semenjak rapat hari itu, saya merasa diperhatikan oleh Malik lebih jauh lagi.
Saya tidak yakin kalian mau mengetahuinya atau tidak, tetapi saya sebagai manusia biasa yang juga menyembunyikan rasa darinya, saya merasa semua sikap yang Malik tunjukan pada saya belakangan ini cukup berlebihan mengingat kami tidak pernah menjadi lebih dari sekadar teman.
Karena apa yang Malik lakukan pada saya itu, dimulai dari hal-hal kecil yang sebelumnya tidak pernah saya perhatikan sama sekali. Contoh tersering adalah, dia selalu menunggu saya menyelesaikan pekerjaan hingga saya benar-benar selesai, jika saya belum mematikan laptop atau merapikan meja, Malik tetap akan duduk di bangkunya, menolak pulang lebih dulu bahkan menolak ajakan pulang dari teman-temannya.
Contoh lain, Malik selalu memaksa ingin membantu saya tiap kali saya tengah dijatuhi tugas-tugas berat. Malik pernah membelikan saya obat sewaktu dia tahu saya sedang sakit. Malik seringkali datang lebih awal dari saya agar pekerjaan saya terhitung lebih sedikit. Malik selalu menunggu saya meninggalkan selasar parkir lebih dulu sebelum dirinya.
Atau pada setiap Minggu evaluasi, Malik berkali-kali lebih memilih menemani saya yang duduk seorang diri daripada memilih teman-temannya, bahkan, dia lebih memilih menarik bangkunya ke sebelah saya alih-alih mendekati Jia yang selalu duduk bersama teman-temannya.
Dengan itu bisa saya dengar napas berat Malik terembus di dekat saya sewaktu mata kami sama-sama tidak sengaja bertumbuk di satu titik, bedanya dia tersenyum tipis-tipis. Sedang saya hanya diam, tidak bisa berbuat banyak selain menjadi seorang saksi serta bisu yang memang tidak semestinya mencampuri urusan mereka.
Sejujurnya saya tidak suka, tetapi, saya tidak bisa menghindar.
Dan klimaksnya, terjadi waktu itu, saat kantor saya ternyata tengah memperingati hari ulang tahunnya yang keempat. Para pegawai di kantor saya diajak untuk berlibur bersama, dan saya adalah salah satu yang mau tidak mau harus ikut sebab di sana ada Oliv, teman dekat saya yang terus-menerus membujuk sampai saya tidak sempat menjawab tidak.
Belum genap jarum jam menjejak angka sepuluh malam, saya sudah berdiri di tengah-tengah lorong bus dengan mata yang menelisik bangku-bangku di dalamnya. Sayang, semua bangku dengan fasilitas tepat di sebelah jendela sudah semuanya terisi.
Oliv memanggil saya untuk segera duduk di sebelahnya di bangku terbelakang, namun saya hanya tersenyum ragu, karena Oliv tidak tahu seberapa gawatnya jika saya menaiki kendaraan beroda empat tanpa mendapat fasilitas jendela.
Dan di saat-saat seperti itulah, semesta senang sekali melibatkan saya pada hal yang kembali membuat detak di dalam sana berdegup untuknya.
"Jangan halangi jalan, Rianka. Tuh, sana, duduk sama Oliv di belakang."
Saya menoleh sedikit, mendapati Malik ada di belakang saya dengan jarak yang sedikit sekali, langsung saja saya tarik refleks saya untuk kembali menghadap ke depan.
Bisa tidak, sih, dia tidak melupakan soal hukum spasi?
"Kamu kenapa?"
Saya menggeleng.
"Ngomong, Rianka. Kenapa?"
"Aku nggak bisa duduk kalau nggak di dekat jendela." Jawab saya pelan, mengalah. "Aku gampang mabuk."
"Kan, udah aku tebak kamu kenapa-kenapa." Ujar Malik, lalu terkekeh sambil berjalan mundur dan menghampiri salah satu bangku tersedia.
Saya pikir Malik akan membantu saya mendapatkan bangku dengan jendela sebab dia telah tahu kelemahan saya, tetapi mungkin saya hanya punya harapan yang tidak pernah bisa menjadi pasti, karena yang saya lihat, Malik malah duduk di salah satu bangku dan melupakan saya di sini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Why We Here
FanfictionPernahkah kamu bertanya, mengapa kita ada di sini? (Was) #1 - hajoon #1 - the rose [ Why We Here ; DAY6's ] ©2020, Nyctoscphile (200320ㅡ210828) All Rights Reserved.