Apakah kamu mengira, cerita saya hari itu akan berhenti sampai di mana saya dan Malik mendadak bersebelahan dalam satu bingkai foto? Tidak. Masih ada yang perlu kamu ketahui tentang saya, Malik, dan bentangan langit abu-abu di sekitar kami.
Pukul sepuluh tiga puluh, kami diajak berkeliling ke tempat yang ... entahlah, seperti sebuah taman namun bagi saya itu lebih mirip dengan sebuah bukit karena terlalu luas untuk dijelajahi dalam waktu singkat.
Awalnya saya berjalan bersama Oliv, tetapi, lama-kelamaan seiring banyaknya lalu-lalang orang-orang di sekitar yang hampir kebanyakan tidak saya kenali, saya pada akhirnya kehilangan Oliv begitu saja. Tidak tahu saya tertinggal, atau saya yang berjalan terlalu cepat.
Sepertinya, sih, opsi pertama lebih tepat.
Karena rombongan di depan saya masih terdiri dari beberapa orang yang saya kenal meski hanya sekilas seperti Qiara dan teman-temannya, saya bersyukur dan mencoba tidak apa-apa menyusuri selasar sempit ini di tengah kerumunan.
Omong-omong mengenai Qiara dan teman-temannya, saya tidak tahu apakah saya masihlah salah di mata mereka atau tidak, tetapi perlakuan Qiara sudah sedikit lebih ramah pada saya meski di beberapa kesempatan saya masih sering mendapati ia memalingkan wajah setiap saya hendak menyapanya.
Tidak apa-apa, mungkin kemarin memang salah saya. Jika saya tidak bisa mengucapkan frasa maaf, maka saya akan mencoba berhenti dan menjauh seperti yang mereka inginkan.
"Kamu tuh, jangan suka melamun. Apalagi di hutan begini."
Percaya tidak, jika hari itu, Malik benar-benar seperti selalu ada di dekat saya dan selalu bisa menemukan di manapun saya berada, padahal saya yakin tubuh saya yang pendek dan kecil ini sudah tenggelam di antara ramainya orang-orang sekitar.
"Oliv mana?" Lanjutnya.
"Enggak tahu, daritadi aku udah nggak sama Oliv."
Saya bisa mendengar gumaman pelan Malik tepat di belakang punggung saya. Sayang, saya tidak menurut pada perkataan Malik beberapa detik lalu yang mengatakan saya tidak boleh termenung.
Nyatanya, saya malah termenung di antara langkah demi langkah, memikirkan hal yang tidak seharusnya saya bawa dalam pikiran.
Sampai saya tidak memperhatikan jalan saya sendiri. Sampai saya tidak sadar ke mana kaki saya bergerak.
Tahu-tahu bisa saya rasakan uluran tangan menyentuh pinggang saya perlahan. Tentu, itu Malik yang sedikit menarik tubuh saya dengan hati-hati agar saya tetap berjalan di atas selasar bebatuan dan tidak tergelincir di tepi jalannya yang memang sedikit licin.
Lalu saya kira tangan panjang itu akan kembali pada tempatnya, tetapi tidak, saya memang tidak sempat menghitung sampai kapan, otak saya lebih dulu dibekukan oleh fakta bahwa Malik melakukan itu. Sampai perjalanan berakhir di sebuah rumah untuk kami beristirahat, di situlah saya sadar bahwa Malik baru saja melepas tangannya dari pinggang saya.
Kemudian dia berdeham pelan.
"Sumpah, aku cuma takut kamu kenapa-kenapa aja." Ujarnya, lantas pergi berlalu menghampiri teman-teman lelakinya yang telah memanggil-manggil di depan sana.
Saya jadi memandang punggung lebar itu nanar, antara merasa berterima kasih dan merasa ini tidak seharusnya terjadi.
Mungkin Malik lebih tahu banyak tentang keadaan dirinya sendiri dibandingkan dengan saya, tetapi juga saya merasa masih membutuhkan nyali untuk menetapkan sebuah jarak di antara masing-masing kami.
Entah sejak kapan tepatnya, kini saya butuh jawaban mengapa Malik selalu memperlakukan saya demikian. Saya butuh jawaban atas setiap lengkungan senyumnya yang terlihat mudah sekali tercipta untuk saya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Why We Here
FanfictionPernahkah kamu bertanya, mengapa kita ada di sini? (Was) #1 - hajoon #1 - the rose [ Why We Here ; DAY6's ] ©2020, Nyctoscphile (200320ㅡ210828) All Rights Reserved.