12

83 20 32
                                    

Malik :
Ka
Rianka

Itulah pemandangan pertama pada notifikasi ponsel saya pagi ini. Belum genap pukul enam, belum juga saya menentukan baju mana yang akan saya kenakan, senyum saya sudah lebih dulu mengembang penuh membaca pesan-pesan masuk itu.

Malik memanggil saya dengan sebutan yang juga orang lain gunakan, tetapi jika memang dia Malik, saya suka.

Saya selalu ingat bagaimana caranya memanggil saya.

Rianka :
Hai Lik
Kenapa?

Malik :
Gapapa
Kamu berangkat?

Rianka :
Berangkat dong

Malik :
Udah ada siapa aja di kantor?
Pak Alan ada?

Rianka :
Lah nggak tahu
Kan aku belum berangkat
Baru juga jam enam....?

Malik :
Oh iya sih
Tapi kirain udah
Ya udah ayo

Cukup lama saya menunggu Malik menyelesaikan pesannya yang terasa menggantung. Tetapi dia tidak kunjung melanjutkan.

Saya jadi gemas sendiri.

Rianka :
Ayo apa?

Malik :
Berangkat bareng

Rianka :
Hehe
Ayo

Buru-buru saya lemparkan ponsel saya ke atas kasur sesaat setelah muncul tanda bahwa pesan saya telah dibaca oleh Malik dalam waktu kurang dari satu detik. Sedikit malu, tetapi senang.

Dan pagi itulah kali pertama saya bingung harus mengenakan setelan baju yang mana. Kali pertama saya lebih bersemangat bekerja. Kali pertama saya tak sabar menemuinya.

Sekaligus kali pertama dari kurun waktu beberapa tahun terakhir, saya akhirnya kembali disadarkan oleh realita bahwa memang saya sedang jatuh cinta.

***

Rasa senang saya tidak terlalu bertahan lama, agaknya.

Beberapa menit setelah kaki saya berpijak pada teras kantor, saya bertemu dengan Qiara di sana. Sebagai pegawai yang baik juga masih ingat asas kesopanan, saya tidak lupa menyapa Qiara karena saya merasa cukup dekat dengannya.

Namun saya tidak menyangka, pun tidak mengerti mengapa. Qiara hanya membalas sapaan ramah saya dengan seutas senyum tipis. Tipis sekali. Bahkan hampir tak terlihat karena saya ragu, itu bukanlah senyum yang bersahabat.

Saya jadi termangu di sana sekian detik setelah menatap tubuh Qiara yang hilang di balik dinding kantor. Pikiran saya seketika berantakan, berkecamuk dan mencari sekiranya apa hal yang telah saya perbuat padanya kemarin? Kemarinnya lagi? Atau kapan?

Tetapi saya bersumpah, saya sama sekali tidak mengingat kiranya kapan saya pernah berbuat salah atau melakukan hal tidak mengenakkan pada Qiara.

Saya akhirnya memutuskan untuk mencoba berpikir positif. Mungkin Qiara hanya sedang lelah, atau sedang dalam suasana bulan yang tidak baik seperti layaknya perempuan kebanyakan.

Saya berjanji untuk tetap berpikir jernih hari ini.

"Loh, kok kamu di sini?"

Malik langsung memalingkan wajahnya dari hadapan laptop, kemudian bukannya menjawab, dia justru tersenyum atas kehadiran saya.

"Pagi, Angka." Sapanya.

"Iya, pagi juga." Saya berusaha menahan diri agar tidak terlalu tampak salah tingkah. "Kenapa kamu di sini? Kantor kamu kebanjiran?"

Why We HereTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang