Terkadang saya bertanya, apakah usaha saya untuk menahan diri untuk berhenti menjatuhkan rasa pada lelaki itu sudah benar?
Maksudnya, saya telah sadar saya siapa dan saya bukan siapa-siapa. Saya telah berusaha keras meminimalisir terjadinya kontak antara saya dengannya (meski yang satu ini terdengar tidak mungkin, mengingat kami duduk bersebelahan hampir sepanjang hari). Saya telah menolak semua tawaran-tawaran ringan yang dia berikan. Dan usaha-usaha lain yang telah saya lakukan tanpa pernah saya pikir bagaimana resikonya.
Yang penting, saya telah mencoba membangun dinding transparan di antara kami dengan sangat hati-hati.
Namun, bukan sekali dua kali pula saya merasa semua usaha keras saya ini sia-sia. Meski masih kerap kali mengabaikan bagaimana kacaunya detak jantung saya setiap ada di sisinya, saya tetap tidak bisa berbohong bahwa saya tidak serta-merta dapat menghentikan degup yang tertuju untuknya.
Saya jadi sedikit benci akan keadaan itu, keadaan di mana saya seperti berjuang sendiri untuk keluar dari jalan berliku yang padahal tidak pernah saya buat langkah di dalam sana sama sekali.
Saya tidak pernah menyangka, hidup saya bisa menjadi sedemikian rumit hanya karena seorang lelaki.
"Malik."
Yang dipanggil tetap bergeming, menelungkupkan wajahnya di atas meja kerja sejak sepuluh menit lalu.
"Lik, udah mau jam sembilan."
Akhir-akhir ini divisi saya tengah mendapat banyak himpunan tugas yang tidak bisa dibilang sedikit, dan hampir setiap hari kami memiliki target untuk dapat menyelesaikannya sebelum hari esok tiba. Itulah yang menyebabkan kami terpaksa harus menambah porsi jam kerja secara mandiri.
Dan lelaki di belakang bangku saya, sudah beberapa hari terakhir ini selalu tidur di mejanya, entah pukul berapa dia pulang, saya selalu meninggalkannya duluan dalam keadaan terlungkup.
Kali ini masih sama, Malik tertidur di sana. Biasanya saya tidak akan membangunkan, tetapi menilik sudut mejanya yang dipenuhi dengan setumpuk dokumen dan peralatan kantor lainnya, saya menghela napas karena menyadari ponsel miliknya masih mengisi daya menggunakan charger milik saya.
Iya, milik saya. Sekitar setengah jam lalu Malik meminjam charger milik saya karena dia lupa meninggalkan miliknya di mana, atau sebenarnya hanya dia memang tidak membawanya.
Pikiran saya, membuka atau sekadar menyalakan ponsel orang lain tanpa izin adalah tidak sopan. Malik bukan orang lain bagi saya, dia adalah teman kerja saya, namun tetap saja saya tidak memiliki hak lebih.
Lantas saya ganti menilik sudut ponsel saya, lalu berharap daya baterai empat puluh dua persen cukup untuk keperluan saya hingga esok pagi.
Jadi tanpa mengganggu acara tidur Malik, saya segera merapikan meja dan diri sendiri sebelum benar-benar bangkit berdiri meninggalkan kubikel. Tidak lupa juga saya mematikan laptop kerja Malik dan mencabut semua flashdisk yang tertancap di sana.
Sedang berjalan menyusuri koridor seraya memikirkan saya harus mampir ke mana untuk mencari makan malam, derap langkah cepat-cepat dari arah berlawanan mendekati saya dengan tergesa.
"Eh, Rianka." Sapanya. "Mau pulang?"
"Iya."
"Malik mana? Masih di kantor, kan?"
"Masih kok." Saya mengangkat ibu jari ke arah belakang. "Lagi tidur."
Tanpa membalas apa-apa lagi, Jia kembali melanjutkan langkahnya meninggalkan saya bersama tanya.
Bukan tanya mengapa perempuan itu tampak sangat tergesa-gesa, tetapi tanya yang muncul setelah suara berat khas Malik terdengar beberapa detik kemudian, bersisian dengan suara manis Jia yang menjadikan vokal keduanya seperti beradu argumen.
KAMU SEDANG MEMBACA
Why We Here
FanficPernahkah kamu bertanya, mengapa kita ada di sini? (Was) #1 - hajoon #1 - the rose [ Why We Here ; DAY6's ] ©2020, Nyctoscphile (200320ㅡ210828) All Rights Reserved.