25. Penghianatan (1)

189 11 0
                                    

"Hikss ... p-pada kenyataannya hikss ..., orang terdekat gue yang lebih berpengaruh buat ngerebut orang yang gue sayang."

"Lo jahat, Zi. Lo juga, Ghe. Gue kira hiks ... lo orang yang paling dukung gue buat terus perjuangin Zilo, t-tapi ... nyatanya ...."

"GUE BENCI KALIAN SEMUA!! GUE BENCI hikss ...!!!!" Air mata yang terus mengalir, dengan perasaan yang sangat campur aduk, Reva mencoba untuk menetralkan kemarahannya dengan duduk di pinggiran jembatan yang dibawanya terdapat sungai yang airnya mengalir dengan cukup dera,.

Dia duduk di atas pagar pembatas jembatan tersebut dengan kepala yang menunduk. Tangisan masih menyertainya sekarang, pakaian rumah sakit yang masih dipakainya kini terlihat sudah tak terpasang beraturan, dan rambut yang lurus terurai itu kini sudah tak tertata dengan rapih lagi.

Reva menggenggam erat ujung bajunya, mencoba untuk melampiaskan kemarahannya. "Hikss ...." Isakan kembali terdengar dari mulutnya, dengan tubuh yang mencoba untuk berdiri Reva pun memegang besi pembatas jembatan dengan kepala yang masih menunduk, menatap derasnya air yang mengalir di bawahnya saat ini.

Setelah itu, ia mencoba mendongak, menatap teriknya cahaya matahari yang saat ini tepat berada di atasnya. Reva memejamkan kedua matanya, kedua tangannya pun terulur untuk menghapus sisa-sisa air mata yang dari tadi terus mengalir, dan sekarang, hanya kakinya saja yang masih menopang tubuh kurusnya.

Sedikit saja Reva menggerakkan tubuhnya, maka saat itu juga ia akan langsung terjatuh ke dalam air sungai dalam yang ada di bawahnya itu.  Tetapi, apakah itu yang Reva mau? Terjun bebas, tenggelam, lalu, meninggalkan semua orang yang sudah menyakitinya? Namun, apa kabar dengan orang-orang yang masih sayang kepadanya? Apakah dia sanggup untuk meninggalkan Mamahnya? Terlebih, dia sendiri saja belum membalas perbuatan Papanya.

Dengan mata yang masih terpejam, Reva pun mencoba untuk menenangkan batinnya. Mengungkit lagi kenangan-kenangan indah bersama Mamahnya dan juga ...

... sahabatnya.

"Nggak hikss ..., gua nggak punya sahabat!!" gumamnya dengan mata yang masih terpejam seraya menggeleng pelan.

Flashback on.

Drrtt ... Drrtt ... Drrtt

Belum selesai Reya mengucapkan permintaan maafnya lagi, tiba-tiba saja handphone yang ada di sakunya berbunyi. Sontak saja itu membuat Reva dan Dera langsung menoleh ke arahnya.

"Siapa, Rey?" tanya Reva seraya menaikkan sebelah alisnya.

Reya menatap Reva dan Dera bergantian, lalu mengangguk sebagai jawaban dari pertanyaan yang Reva lontarkan tadi. Reya menatap kembali handphone-nya, terlihat di layar benda pipih persegi panjang itu tak ada nama si penelpon. Itupun membuat Reya semakin bingung. Karena tak ingin membuat si penelpon lama menunggu, Reya pun memutuskan untuk mengangkat panggilan tersebut.

"Hallo," sapa Reya sopan seraya menatap Reva dan Dera.

"...."

Namun, karena tak dapat sautan dari si penelpon Reya pun semakin bingung saja, sebenarnya ada tujuan apa orang ini menelpon? Mengapa ia tak mau berbicara?

"Hallo," sapa Reya sekali lagi, membuat Reva dan Dera yang ada di sebelahnya menjadi penasaran.

"Ha—"

"Datang ke Jl. Sentosa sekarang juga!"

"Hah?" pekik Reya tak mengerti. "Ini siapa sih!" sambungnya mulai kesal.

"Datang ke Jl. Sentosa sekarang juga!"

Mendengar jawaban yang sama dari si penelpon, Reya pun menatap handphone-nya dengan kening berkerut. "Jangan maen-maen ya! Lo siapa? Ngapain nelpon gue! Dan apa tadi Jl. Sentosa? Ngapain juga gue harus ke sana!!"

Reva dan Dera yang mendengar nada Reya yang mulai meninggi pun menjadi saling pandang. "Jl. Sentosa? Bukannya itu jalan rumahnya Zilo ya?" celetuk Reva membuat Reya langsung menatapnya cepat.

Ah, iya, Reya baru ingat. Rumah Zilo memang berada di Jalan Sentosa, tapi, yang Reya pikirkan sekarang siapakah orang ini? Mengapa ia harus pergi ke jalan tempat rumah Zilo berada? Karena, tak mau lama berpikir Reya pun memutuskan untuk menanyakan kembali kepada si penelpon.

"Tapi, ngapa—"

Tut!

Panggilan tertutup di saat Reya belum menyelesaikan ucapannya. "Ihh, ni orang maunya apa sih! Masa tiba-tiba nelpon cuman buat nyuruh gue ke Jl. Sentosa doang!" ujar Reya kesal.

"Emang tadi siapa?" tanya Dera penasaran, saking penasarannya sampai lupa bahwa dia sedang marah kepada Reya.

Reya menggeleng. "Gue juga nggak tau, nomornya nggak dikenal." Reya menatap Reva yang kini tengah diam seraya menatap lurus ke depan.

"Re, lo kenapa? Kepala lo pusing lagi?" tanya Reya khawatir.

Reva menoleh, "Bawa gue ke rumah Zilo sekarang, Rey," pintanya tiba-tiba membuat Reya dan Dera menatap bingung.

Dera menimpali, "Ngapain, Re. Lo mau ngikutin kata orang yang nelpon Reya tadi?" katanya.

"Gue juga nggak tau! Tiba-tiba aja hati gue kayak nyuruh ke sana gitu. Pokoknya kalian harus nganterin gue ke sana ya," bujuk Reva seraya merapatkan kedua tangannya membentuk permohonan.

Reya dan Dera lagi-lagi hanya bisa saling pandang. "Tapi Re, lo kan lagi—"

"Sakit?" timpal Reva cepat, ia menghela nafasnya sebentar lalu, "Kalian nganggep gue selemah itu ya? Emang dengan gue keluar dari ruangan ini beberapa menit doang itu bisa bikin gue mati? Nggak kan? Jadi, gue mohon, bawa gue ke sana ya. Gue janji deh ini permintaan gue yang terakhir," lirih Reva menjelaskan.

Reya menimbang-nimbang permintaan Reva, ya memang yang Reva ucapkan itu ada benarnya, tetapi, kalau selepas dari rumah Zilo keadaan Reva semakin melemah bagaimana? Reya tak mau apabila sahabatnya ini terus-terusan berada di ruangan ini, apalagi dengan selang infus yang selalu terpasang di tangannya.

"Iya deh gue anter, tapi janji cuman sebentar," putus Dera, sedangkan Reya ia hanya mendelik tajam ke arah Dera.

"Lo gimana sih, kalau kondisi Reva makin melemah gimana?" bisik Reya pelan.

"Tenang, cuman kita bawa lima belas menit doang kok, setelah itu pasti Reva bakalan senang, walaupun cuman kita ajak liat Zilo sebentar," balas Dera dengan berbisik juga.

Reya menatap wajah Dera yang terlihat meyakinkan. Lalu, dirinya pun langsung mengangguk. "Iya deh, tapi kayak yang Dera ucapin tadi, sebentar aja ya, Re."

Mendengar jawaban dari Reya, senyuman Reva pun merekah seraya menyuruh kedua sahabatnya mendekat. Reva memeluk erat keduanya. "Makasih ya kalian. Maafin sifat gue yang akhir-akhir ini ngeselin dan bikin nggak enak di hati kalian," ucap Reva tulus.

Reya dan Dera yang melihat senyuman tercipta di bibir Reva ikut senang, akhirnya sahabat mereka yang dulu kembali lagi.

"You're welcome, Rere,"

"Sama-sama, Rere," ucap mereka bersamaan, tetapi, dengan bahasa yang berbeda.

Dan sekarang, gue baru ngerti arti dari sebuah persahabatan. Maafin gue ya, yang selama ini nggak terlalu mentingin kalian, pasti yang selalu gue duluin Zilo. Nyatanya, orang yang selalu gue duluin itu adalah orang pertama yang udah bikin gue jatuh sejatuh-jatuhnya, batin Reva miris.

Bersambung....

****

Ini baru happy flashback nya ya gesss, belum tau setelahnya bakal terjadi apa:)
Next?
Voment Yuuu^^
See you in the next part 🍁

ZiloVaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang