21. Bertemu Zilo

183 11 20
                                    

Cuaca hari ini sangatlah buruk, sosok sinar matahari yang biasa menyinari bumi di siang hari ini, kini, telah tertutup oleh awan hitam yang mendominasi langit. Dengan suara petir yang sesekali terdengar memekakkan telinga. Padahal, hari ini adalah hari weekend, hari yang sangat cocok untuk semua orang berjalan-jalan dengan seluruh keluarganya, melepaskan semua kepenatan yang sudah dijalani di hari-hari sebelumnya, entah itu melakukan pekerjaan maupun belajar.

Namun, karena cuaca hari ini yang tidak mendukung, pupuslah sudah harapan-harapan yang diharapkan oleh semua orang. Kini, mereka harus tetap mengurung diri di rumah masing-masing, dan mengubah rencana liburan mereka. Akan tetapi, walaupun weekend kali ini tidak bisa berpergian keluar rumah, setidaknya mereka masih bisa berkumpul dengan keluarga di rumah, dan liburan di rumah juga bukanlah suatu hal yang buruk bukan? Justru, itu akan membuat hubungan sebuah keluarga lebih dekat lagi. Walaupun bosan, tetapi, bisa menciptakan kenangan yang indah di sebuah tempat tinggal yang saat ini mereka tempati.

Sayangnya, itu semua hanya untuk orang yang memiliki orang tua yang sibuknya tak berlebihan. Berbeda dengan Reva, yang saat ini hanya bisa berbaring di brankar rumah sakit, dengan selang infus yang terpasang di tangannya dan sendiri pula. Reya, sahabatnya itu sudah pulang sejak satu jam yang lalu, itupun Reva yang menyuruhnya. Sedangkan, Mamahnya, tentu saja dia masih sibuk dengan pekerjaan di kantornya. Jangan kalian pikir walaupun hari weekend mamahnya itu akan libur! Tentu saja tidak. Bahkan, itupun tidak pernah sama sekali. Untuk alasan? Reva pun tak tahu akan itu dan tidak ingin tahu juga.

Papahnya? Entahlah, Reva pun tidak tahu orang itu ke mana. Dan untuk soal ini Reva pun sangat malas untuk menjelaskannya!

"Huh ... Bosen!!!!" keluh Reva kesal, dia sangat-sangat bosan, tidak ada yang bisa ia ajak ngobrol sekarang. Dia rindu sekolah, dia rindu dengan sahabatnya, dan dia juga rindu ... Zilo.

Bodoh? memang, Reva ini sangat bodoh! Sudah tau sudah tidak dianggap, tetapi, masih saja memikirkan dan merindukannya.

"Coba gue stalk WhatsApp nya ah, siapa tau dia lagi on," gumam Reva seraya mengambil handphone yang ada di laci sebelahnya.

Setelah itu, dinyalakan lah handphone yang ada di genggamannya, lalu dia mencari aplikasi yang menjadi tujuannya saat ini. "Yah, kok nggak on sih, dan apa ini kok terakhir dilihatnya lama banget," ucap Reva dengan tatapan kesalnya yang menatap ke layar handphone.

"Bahkan, dia nggak ngirim satu pesan pun ke gue. Secepat itu Zi lo lupain gue." Suara Reva sudah terdengar lirih, matanya berlinang sekarang, dengan dada yang sangat sesak. Sesakit ini rasanya? Padahal sudah sering sekali Reva disakiti lebih dari ini oleh Zilo, tapi, entah kenapa kali ini rasanya lebih sakit.

Reva menghirup udara sebentar, sebelum akhirnya tersadar. "Ishh ... Apaan sih, Re. Cengeng banget lo, sejak kapan lo jadi lemah gini. Lo bilang kemaren mau lupain Zilo, tapi sekarang? Ahhh!!!" ucap Reva bermonolog dan berusaha meyakinkan dirinya akan keputusan yang ia buat sendiri kemarin.

Reva menghapus jejak air mata yang tadi sedikit keluar dari matanya, lalu, "Huh, ayo, Re. Lo bisa. Kalau Zilo aja bisa, kenapa lo nggak bisa!" ujar Reva seraya menyemangati dirinya sendiri.

"Oke, Fiks. Mulai sekarang gue bakal belajar buat nggak peduli sama Zilo. Gue yakin, kok—













—gue yakin, kalau gue bakalan nggak bisa ngelakuin apa yang pikiran gue suruh."

****

Tok ... Tok ... Tok

"Ghea, ayo dong, Dek. Tante Lissa sama Om Varo udah undang kita loh. Masa nanti kita nggak datang, kan nggak enak, Dek."

Ucap seseorang di luar kamar, membuat Ghea yang daritadi mendengarnya mendesah kesal. Kenapa sih, kenapa, disaat dia sedang ada masalah dengan Zilo sekarang, Tante dan Maminya itu harus mengadakan pertemuan. Daripada harus melihat muka Zilo yang juteknya nauzubillah, mending Ghea sekalian melihat tukang parkir sekolah. Walaupun wajahnya tak enak untuk di pandang, tetapi, itu masih mending daripada harus melihat muka jutek Zilo.

"Dek, kamu dengar Mami kan?"

Lagi-lagi suaranya Mami-nya terdengar, Ghea menghela napas kesal. Harus apa dirinya sekarang? Bila menolak, pasti nanti Maminya akan bertanya-tanya. Tetapi, Bila dirinya mengiyakan, dia akan bertemu dengan si brengsek Zilo. Kalau ketemu Tante Lissa dan Om Varo nya mah sih Ghea fine. Tapi, masalahnya itu ada di Zilo-nya loh.

Ghea berjalan ke arah pintu, lalu, dibukakan lah pintu kamarnya. Saat sudah terbuka, terlihat wajah kesal Maminya yang menyorot tajam ke arahnya. "Mamiii," ucap Ghea manja seraya memeluk lengan kanan Mami-nya.

"Ghea nggak usah ikut yah, tugas Ghea masih numpuk, Mi. Yah, yah, boleh yah, Mi?" bujuk Ghea dengan menunjukkan puppy eyes nya ke arah Maminya yang saat ini tengah menatapnya juga.

Karina—Mami Ghea melepaskan lengan Ghea, lalu kedua tangannya pun ia taruh di atas pinggang. Karina pura-pura berpikir, seolah sedang mempertimbangkan permintaan Ghea tadi.

"Mii, yah?" mohon Ghea seraya tersenyum.

Karina masih berkacak pinggang, dia membalas senyuman manis anaknya, lalu, "Bo—"

"WAH SERIUS, MI?! WAH MAMII BAIK DEH, GHEA SAYANG MAMII!"

Belum sempat Karina menyelesaikan ucapannya, Ghea, anaknya itu sudah lebih dulu memotongnya dengan teriakan cemprengnya. "Mami belum selesai ngomong loh, Dek!" timpal Karina kesal.

"Hehe ... Maaf Mami, tapi, walaupun ngomongnya belum selesai jawabannya tetap sama kan? Pasti boleh kan?"

"Kata siapa? Nggak."

Ghea yang tadi tersenyum, seketika senyumannya pudar dikala mendengar pernyataan Mami-nya. "Mamiiiii."

"Hahaha ... Ya ampun, Dek, Mami bercanda kali," ucap Karina tertawa, jujur, muka melas Ghea saat ini sangatlah lucu, sehingga dirinya tak bisa menahan tawanya.

Setelah Karina mengucapkan kata itu, seketika mata Ghea kembali berbinar lagi. "Jadi, boleh dong?" tanya Ghea memastikan.

Karina mengangguk mengiyakan. "Mami sih boleh-boleh aja, toh, itu juga urusannya dengan nilai-nilai kamu. Tapi, nggak tau dengan Papi kamu." Aishh apa ini, Ghea sudah senang dengan ucapan Maminya di awal, tetapi, di akhirnya, tetap saja dia harus berurusan lagi dengan Papi-nya.

Bila begini, Ghea terpaksa harus menuruti ajakan Maminya tadi, daripada harus kena marah Papi-nya. Bisa-bisa uang saku sekolah Ghea di potong selama seminggu. Ghea tak mau bila itu terjadi, bisa-bisa dia tak bisa hangout bareng teman-temannya lagi. Udah mah duit pelunasan album Ghea belum di bayar, kalau uang sakunya di potong, bayar pakai apa Ghea nanti?

Ghea menghela nafasnya kasar, setelah itu kembali mempertimbangkan keputusannya. "E-umm ... Yaudah deh, Ghea ikut," pasrah Ghea pada akhirnya, ia berharap, semoga saja hari ini Zilo tidak ada di rumahnya.

Bersambung....

****

Next?
Jangan lupa Voment^^
See you in the next part 🍁

ZiloVaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang