Sore harinya di kamar inap Reva, suara riuh tawa mendominasi di kamar bercat putih itu. Dua teman Reva—Reya dan Dera—tengah berkunjung, berniat untuk menghibur Reva. Untuk Ghea? Mereka berdua memang sengaja untuk tidak memberitahu Ghea, karena mereka pikir, mungkin nantinya akan semakin memperkeruh keadaan.
Dimana kondisi Reva yang sekarang sangat jauh dari kata baik-baik saja. Mungkin, bila mereka nekad membawa Ghea mengunjungi Reva, pasti itu akan membuat keadaan Reva semakin down. Kini, mereka, ah ralat mungkin hanya —Dera dan Reya— tengah tertawa bahagia melihat album foto masa kecil Reva. Dimana di album itu berisi foto-foto Reva yang masih duduk di bangku sekolah dasar.
Rambutnya yang lurus itu selalu di kuncir dua dengan poni yang sedikit menutupi mata. Dimana pada masa itu gigi depan Reva banyak yang ompong. Membuat Dera dan Reya tak berhenti tertawa melihatnya. Sedangkan Reva? Tentu saja dia merasa malu. Ini semua pun ulah Mamahnya yang entah untuk apa membawa album-album foto tersebut. Di pipinya kini terdapat semburat merah, menahan malu di depan kedua sahabatnya, sembari menunduk memainkan jari-jarinya.
Reya tergelak, seraya memegangi perutnya yang sedikit sakit akibat banyak tertawa. "Hahaha .... anjir, Re, demi apasih gue ngakak liat beginian," ledek Reya, lagi. Kapan lagi bisa meledeki Reva yang notabenenya cewek yang bila berfoto aib nya saja susah didapat. Terlebih wajah Reva yang sekarang berubah drastis, semakin cantik dan glowing. Bahkan mau pose bagaimanapun Reva di mata semua orang akan terlihat cantik.
"Gila, gila, capek ketawa gue. Jadi kebelet pipis huaa ...," Dera buru-buru berdiri, kemudian berlari menuju toilet. Membuat Reya menggelengkan kepalanya, tak heran dengan sifat beser Dera.
"Merusak suasana sumpah," Reva yang merasa fokus Reya tergantikan ke arah Dera pun langsung buru-buru mengambil album yang berada di tangan Reya.
"Udah, ya, ngeledeknya. Mending lo balik, deh. Kasian Bunda, sendirian di rumah," usir Reva secara halus.
"Ihhh, Reva!! Kan gue masih mau liat album fotonya," kesal Reya karena album foto yang sedang dilihatnya diambil begitu saja oleh Reva.
"Nggak, ya. pokoknya lo harus pu—"
Cklekk
"Zi-lo...."
Nada bicara Reva seketika berubah disaat melihat orang yang baru saja membuka pintu kamar rawatnya. Reya yang melihat perubahan wajah serta gumaman pelan Reva langsung menoleh cepat ke arah yang dipandang Reva.
Bangsat, batinnya mengumpat.
Reya memandang Reva yang hanya mematung dengan tangan yang mengepal, sebelum akhirnya dia berdiri dan berjalan mendekat menghalangkan langkah Zilo yang ingin mendekat ke arah sahabatnya.
"Ngapain lo kesini? Belom cukup ya nyakitin sahabat gue?" Sambil berkacak pinggang Reya memandang sinis Zilo.
Zilo melangkah mendekati brankar Reva tanpa memperdulikan ucapan sinis Reya. "Re, gimana keadaan kamu? Kamu nggak papa kan? Mana yang sakit, maafin aku ya." Ia mengecek seluruh badan Reva dengan wajah yang penuh khawatir.
Reya berdecih, "Nggak usah sok khawatir deh lo, Reva jadi begini juga kan karena ulah lo," timpalnya.
Zilo masih tidak peduli dengan ucapan Reya, dia terus menatap sosok pujaan hatinya yang kini masih terdiam. "Re, aku minta maaf. Aku–"
"shut up, Zi. Lebih baik kamu pergi dari sini," usir Reva seraya menahan sesak di dadanya.
"Sayang jangan gini, aku ke sini mau—"
"Pergi, Zi!!"
Sayang satu kata yang jarang Zilo ucapkan selama mereka pacaran, hati Reva rasanya berdesir hangat setelah mendengar panggilan itu. Namun, di lain sisi juga ia tak boleh goyah dengan keputusannya, ia masih kecewa kepada Zilo.
KAMU SEDANG MEMBACA
ZiloVa
Novela Juvenil"Zilo, gue nggak suka ya kalau lo deket-deket sama dia!" "Zilo, ngapain lo jalan bareng dia?" "Zilo, pacaran aja sana sama dia. Lo lebih sering luangin waktu buat dia daripada sama gue, pacar lo sendiri." -Revalia Francessia Franz ...