18. Levin, Lyssa?

224 19 43
                                    

"Gimana, Le? Lo udah berhasil kan buat dia lebih menderita?" tanya gadis yang kini tengah terduduk di sofa ruang tamu dengan segelas wine yang ia pegang di tangan kanannya.

Sedangkan, gadis yang di tanya hanya diam, seraya menatap layar laptop yang berada di depannya. "Ishh, Levin gue nanya loh, masa dikacangin," gerutu gadis tadi seraya menghentakan kedua kakinya, dengan wajah yang terlihat sangat kesal.

Mendengar gerutuan sang kembaran, gadis yang bernama Levin pun langsung menutup laptopnya dan menoleh menatap kembarannya yang saat ini terlihat sangat kesal, dengan bibir yang ia manyunkan ke depan.

"Lo udah berapa lama kenal sama gue? Satu tahun? Dua tahun? Lebih dari itu, kan? So, simpan aja pertanyaan lo yang nggak bermanfaat itu!" cetus Levin.

Sang kembaran hanya merotasikan bola matanya malas, sungguh sok sekali kembarannya yang satu ini. Masih dengan bantuan dirinya saja omongannya sudah selangit. "Gila sih, sombong banget! Lagipula lo belum sepenuhnya menang, Le. Gue denger dia udah punya pacar baru lagi, dan yang gue tau pacarnya yang sekarang lebih possesive dari target lo yang dulu," jelasnya.

"So, I'm not sure if you can get rid of the girlfriend he is now!!" Levin tersenyum miring, apakah kembarannya saat ini tengah meragukannya?

"Kita liat nanti, Lys! Nggak ada yang gue nggak bisa, bahkan, buat pacar Zilo lebih menderita dari si Veya aja gue bisa," yakin Levin kepada sang kembaran, Lyssa.

Lyssa meneguk wine yang dipegangnya, sebelum akhirnya mengangguk. "okay, you know what can make me believe your words?" tanya Lyssa seraya menatap wajah jutek Levin.

"Bukti? Fine, lo tinggal tunggu kabar baiknya aja. Jangan kaget, kalau gue bener-bener bisa ngelakuin apa yang gue bilang tadi," Lyssa mengangkat kedua bahunya dengan bola mata yang memutar.

Ya, kita tunggu saja. Kalau lo bener-bener bisa. Fixs, lo emang keturunan keluarga Clardine, yang terkenal dengan kelicikan dan ...






... Penuh kekejaman.

****

Suasana ruang BK saat ini menjadi menegangkan, tak ada satu pun dari mereka—Ghea, Dera, Zilo dan Keysa yang berani melirik sang guru yang sekarang ada di depannya, sedari tadi mereka hanya diam seraya melirik satu sama lain, ah, kecuali Zilo. Yang sedari tadi tak peduli dengan orang di sekitarnya, dia hanya diam, dengan wajah datarnya yang fokus terhadap jari-jari sang guru BK yang sedang lihai menuliskan sesuatu di atas kertas putih.

Brakk

"Anji*g!" Gebrakan pintu yang di buka kasar membuat semua orang yang di ruang BK terkejut. "Katakan sekali lagi, Dera!" ujar seseorang yang baru masuk langsung menatap tajam Dera.

Latahnya kali ini sangat tidak tepat, mengapa dia bisa keceplosan menyebut hewan menggemaskan itu, ah, Dera takut sekarang. Guru BK memang menakutkan, tetapi, guru yang baru saja memasuki ruangan bernuansa putih ini, jauh lebih menakutkan.

"Jaga tutur kata kamu! Di depan guru kok tutur katanya begitu! Saya nggak suka ya, bila ada salah satu murid saya yang tidak sopan seperti kamu!" tegas seorang pria yang diketahui guru mata pelajaran olahraga, yang terkenal dengan kegalakannya.

Dera kikuk. "I-iya, Pak, Maaf. Tadi saya keceplosan," kata Dera gugup.

Sedangkan Ghea, saat ini dia sedang menggeleng-gelengkan kepalanya menatap Dera heran. "Always keceplosan, udah mah keceplosannya sama orang yang salah lagi," gumam Ghea pelan, sangat pelan.

Zilo yang tak peduli dengan sekitarnya pun hanya diam, seraya mengeluarkan handphone yang ada di sakunya. Keysa yang berada di sampingnya pun langsung melirik Zilo, memandang wajah Zilo yang sedang menunduk fokus terhadap handphone yang ia mainkan. Sungguh Keysa tak habis pikir, sedang keadaan seperti sekarang saja kakak kelasnya yang satu itu masih sangat santai, apakah dia tidak takut apabila akan turun jabatan nanti?

Pak Broto, sang guru BK yang sedari tadi fokus terhadap kertas-kertas putih di depannya langsung angkat bicara. Dia memandang keempat muridnya dengan sinis, "Kalian tau kan kenapa bapak panggil kalian ke sini?" tanya pak Broto dengan tegas.

Zilo memasukkan handphone-nya setelah mendengar pertanyaan pak Broto, mereka berempat mengangguk bersamaan. "Dera,  Ghea kenapa pagi-pagi sudah membuat kegaduhan? Apa kalian tidak malu di lihat oleh adik-adik angkatan kalian? Seharusnya bila kalian punya masalah itu selesaikan baik-baik, dan selesaikan di luar sekolah. Jangan di lingkungan sekolah seperti tadi!" kata pak Broto.

Pak Broto melirik Zilo. "Kamu juga Zilo, ketua osis masa tak bisa memberi contoh yang baik. Mengapa tadi hanya diam, tak melerai. Bapak bisa saja menurunkan jabatan kamu atas konsekuensi dari masalah ini!" sambung pak Broto seraya menatap Zilo yang saat ini sedang menatapnya juga.

"Maafkan atas kesalahan yang saya perbuat, Pak. Mungkin bapak benar, masih ada yang lebih baik lagi untuk menggantikan jabatan saya. Jadi, mulai hari ini, saya mau mengundurkan diri menjadi ketua osis, Pak. Semoga orang yang menggantikan saya nanti bisa lebih baik dan tegas dari saya. Permisi, saya duluan, Pak," jelas Zilo kemudian beranjak dari kursinya, membuat tiga gadis yang berada di sekitarnya, yakni Ghea, Dera, dan Keysa langsung melongo tak percaya dengan apa yang barusan Zilo ucapkan tadi.

"Tidak semudah itu Azilo Elvano Renand!" sentak Pak Sing—guru olahraga yang sedari tadi menatap tajam Zilo. "Di mana tanggung jawab kamu! Apa itu cara pengunduran diri yang baik? Setelah masalah yang kamu lakuin di lapangan tadi, dan kamu dengan seenaknya mengucapkan kata-kata pengunduran diri itu tanpa adanya surat persetujuan kami!"

Dera menyenggol lengan Ghea pelan, membuat Ghea langsung menolehkan kepalanya cepat. "Boleh ngatain Zilo nggak sih," bisik Dera pelan seraya tersenyum senang. Rencananya berhasil sekarang, entah sesenang apa dirinya sekarang, ingin rasanya memberi tahu Reva akan semua ini, namun, sayangnya sahabatnya itu sampai saat ini belum juga sampai di sekolah.

"Nggak. Lo mau hukuman lo ditambahin pak Broto," balas Ghea hati-hati, ya, jujur, sebenarnya Ghea pun ingin sekali mengatai Zilo, namun, dia sadar, suasana saat ini masih belum tepat. So, kita tunggu saja waktu yang tepatnya!

Zilo menghentikan langkahnya, membalikan badannya dan menatap kedua mata tajam pak Sing. Terlihat dari wajahnya pak Sing sangat marah sekarang. Akan tetapi, Zilo tetaplah Zilo, mau semarah apapun seseorang terhadapnya, percuma saja, Zilo tak akan pernah mempedulikannya.

Zilo membungkuk setengah badannya ke arah pak Sing dan pak Broto. Setelah itu, dia kembali melanjutkan langkahnya, lalu, keluar, meninggalkan ruangan bernuansa putih itu.

Gue nggak yakin, kalau Zilo itu beneran anak kandung lo, Ro. Bahkan, dari sikap dan sifatnya aja udah membuktikan betapa bedanya lo dengan dia, batin pak Sing seraya menatap pintu tempat Zilo keluar tadi.

To be continued...

****

Next?
Jangan lupa Voment^^
See you in the next part🍁

ZiloVaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang