29. Dia pergi

345 11 26
                                    

Semua orang berjalan riuh meninggalkan area pemakaman, tak terkecuali sesosok pemuda dengan pakaian serba hitam, lengkap dengan kacamata hitam yang bertengger di hidung mancungnya, masih setia menatap gundukan tanah yang ada di depannya.

Sorot matanya sekarang sangat sendu, berkat kacamata hitam yang sedang dipakainya, mata merah dan bengkak di kantung matanya tak terlihat oleh siapapun. Tangannya perlahan bergerak menggapai nisan yang di sana sudah tertulis nama orang yang sempat dia sayang, bahkan, hingga kini pun rasa sayang itu masih ada.

Dia mengusap nisan itu secara perlahan, "Hei, pasti di dalam sana gelap banget kan? Apa lo tidur dengan tenang? Dan ... rasa sakit itu, apakah masih ada?" ucapnya dengan suara yang parau dan setetes air mata yang lolos begitu saja.

Dia mencoba menggigit bibirnya untuk menahan isakan yang akan keluar dari mulutnya. Ia pun tak mau gadis yang sedang beristirahat di depannya merasakan sakit lagi karena dirinya yang terus saja menangisinya.

"Maaf." Hanya kata itu yang mampu terlontar dari mulutnya. Karena sekarang ia merasa semua yang terjadi pada gadis di depannya ini memang salahnya.

Andai dia bisa lebih cepat bertindak, mungkin semua ini tak akan terjadi. Dan 'Dia' pun masih ada bersamanya.

"Maaf, karena perlakuan gua yang selama ini selalu bikin lo sakit. Lo nya juga sih selalu bikin gue jengkel. Lo tau kan kalau sekarang ini gua udah punya cewek yang harus gua jaga," katanya seraya terkekeh seolah sedang memberi pengertian kepada gadis di depannya ini. Tetapi, percayalah matanya bertindak lain.

"Dulu, emang lo satu-satunya prioritas gue, tapi keadaan sekarang udah beda, Vey. Udah ada Reva yang singgah di hati gue. Dulu kan lo juga yang mutusin buat ninggalin gue ..." Rasa sesak menjalar di hatinya dikala kejadian masa kelam kembali memenuhi pikirannya.

Merasa tak ingin lebih lama lagi berdiam diri di sana, pemuda itu pun memilih bangkit. "Intinya gue mau bilang maaf dan terima kasih sama lo, Vey. 'Maaf' karena gue lo yang jadi kayak gini dan 'terima kasih' karena lo yang udah nyelamatin nyawa Reva. Mungkin, kalau nggak ada lo gue nggak tau harus gimana karena di tinggal sama dua orang sekaligus," ungkap pemuda itu panjang lebar.

Sebelum memutuskan untuk pergi dari tempat peristirahatan mantan kekasihnya itu, dia pun mengelus pelan nisan gadis bernama 'Veya Clarissa' itu seraya tersenyum tulus.

Yang tenang di sana, jangan khawatir soal Keysa. Gue janji bakal jaga dia buat lo, batinnya.

Setelah itu dia benar-benar pergi meninggalkan area pemakaman dan berniat untuk ke Rumah sakit, lagi. Karena ada seorang gadis yang saat ini sedang membutuhkannya juga. Ya, siapa lagi kalau bukan, Reva, kekasihnya.

Dan kalian pun bisa menebak siapa pemuda ini. Ya, dia Zilo.

****

"Satu orang udah tersingkir, selanjutnya mau gimana? Apa kita harus nyingkirin cewek penyakitan itu juga?" celetuk seseorang dengan mata yang tak berhenti memandang handphone miliknya.

Sedangkan, seseorang lain yang diajak bicara pun hanya berdeham, "hm, gue mau siapapun yang ngehalangin jalan gue buat dapetin Zilo hilang gitu aja!" pintanya serius.

"Okey, lo tinggal nikmatin aja jalan mainnya. Biar semua gue yang urus!" ujar orang itu dengan wajah angkuhnya.

"Hm, up to you!"

****

Di lain sisi, ada seorang gadis yang kini sedang berjuang mempertahankan hidupnya. Dia tengah terkapar lemas di atas brankar rumah sakit, dengan selang oksigen yang terpasang di hidung dan mulutnya. Dan jangan lupakan selang infus yang kini terpasang di lengannya juga.

Seorang wanita paruh baya yang setia menjaga gadis itu, kini tengah tertidur pulas di kursi kayu samping brankar. Dengan telapak tangan yang selalu bertaut ke jari-jari panjang gadis yang kini tengah terbaring dengan wajahnya yang tampak pucat itu.

Namun perlahan, mata yang selalu menutup itu kini bergerak dengan lenguhan rasa sakit yang keluar dari mulutnya. Sayup matanya melirik ke setiap sudut ruangan dan berhenti ke satu wanita paruh baya yang tertidur di sampingnya.

"Ma-mah ...," panggilnya lemah dan sangat pelan. Matanya yang sayup tak pernah berhenti memandang wajah mamahnya yang saat ini terlihat lelah. Kantung matanya yang hitam dan terlihat membengkak.

Apa mamahnya akhir-akhir ini sering menangis? Itulah yang ada dipikirannya sekarang. Apakah ini semua karenanya?  Dia tau dia anak yang selalu pembangkang, keras kepala, dan jarang menunjukkan kepeduliannya kepada mamahnya.

Tapi untuk melihat mamahnya menangis? Tentu saja itu bukan keinginannya. Jauh di lubuk hatinya, dia sangat-sangat menyanyagi mamahnya lebih dari apapun.

Bahkan, dia pun sangat benci terhadap dirinya sendiri. Satu yang menjadi pertanyaannya, mengapa dirinya harus penyakitan?. Sudah cukup dia membebani mamahnya dengan penyakit yang dialaminya ini. Dia pikir dengan dirinya lompat dari tepi jembatan saat itu, semua penyakit serta nyawanya akan hilang.  Tetapi sekarang? Lagi-lagi dia harus berakhir di Rumah sakit.

Merasa getaran pada telapak tangannya, wanita paruh baya itu menjadi terusik dari tidurnya. Perlahan, kelopak matanya pun terbuka, walau belum sepenuhnya sadar tetapi dia merasa jari-jari tangan yang sedang digenggamnya kini bergetar. Dan tentu saja dia sangat mengetahui tangan siapa itu.

"Adek." Badan yang tadinya tersender di atas brankar, kini menjadi tegak dengan senyum yang sumringah.

Dengan lengan yang mengelus dahi putrinya, wanita paruh baya itu tersenyum dengan mata yang berkaca. "Hiks ... akhirnya adek sadar juga, ada yang sakit ngga sayang? Kepalanya pusing ngga? Terus nafas adek masih sesak? Mau minum ya? Mamah ambilin minum du—"

"Mah ...," Selanya sebelum Mamahnya mengucapkan kata yang lebih panjang lagi.

Tangannya yang lemas perlahan terangkat menggenggam tangan mamahnya yang sedang ada di dahinya. Dia bersyukur, setidaknya sekarang ada mamahnya yang selalu peduli terhadapnya.

Bibir pucatnya tersenyum, "Aku udah ngga papa, Mah. Mamah tenang aja ya, mamah kan selalu bilang kalau Reva itu anak yang kuat," ucap gadis bernama Reva itu, ya, Reva dengan bicara yang lancar namun dengan nada yang lemah.

Wanita paruh baya itu kini tersenyum bangga, tak menyangka anak yang bersamanya kini sudah dewasa. Tapi satu yang dia tak suka. Dia sangat tak suka apabila anaknya itu selalu menyembunyikan rasa sakit yang sedang dia rasakan. Apalagi saat berpura-pura tersenyum seakan dirinya sedang baik-baik saja.

Tetapi, yang paling penting sekarang dia harus membuat putrinya bahagia. Benar atau tidak ucapan yang keluar dari mulut putrinya dia harus mempercayainya.

"Iya sayang mamah percaya, kamu anak yang kuat, maka dari itu mamah percaya kamu akan segera sembuh. Asal kamu selalu rajin buat konsultasi ke dokter, dan janji sama mamah kalau kamu ngga bakal ngelakuin hal-hal yang bahayain diri kamu lagi," jelas Mamahnya berusaha memberi pengertian.

Reva yang tak yakin akan menepati janjinya pun hanya tersenyum. Pasalnya dia tak ingin menyusahkan mamahnya lebih lama lagi.

Bersambung...

****

Nahlooo siapa yang ngira Reva nya bakalan meninggal?
Xixi... Seneng ngga? Seneng ngga? Wait, gabole seneng dulu dong, kita gatau kedepannya bakalan gimana:)

Berhubung banyak yang bilang 'Next', nih dengan terniat aku pun update. Ya maapin kalo part nya ga sesuai ekspektasi😭. Ketikannya juga agak nganu kan?

Okey, see you in the next chapter guys!! Always jaga kesehatan, janlup pake masker😉.

Janlup Vote+Comment juga><

ZiloVaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang