Sejak makan malam di mana Adi meminta restu kepada kedua orang tua Airin, kedua belah pihak keluarga mereka belum juga dipertemukan untuk membicarakan mengenai pernikahan mereka lebih lanjut. Mendekati akhir tahun seperti ini, Adi tentu disibukkan dengan pekerjaannya di kantor. Airin yang baru kembali ke Indonesia juga kembali meniti karirnya dari awal. Intinya, mereka belum menemukan waktu yang tepat dan senggang untuk membicarakan hal yang satu itu dengan keluarga mereka.
Pagi itu, Adi mengantar Airin ke studio seperti pagi-pagi sebelumnya. Sudah satu minggu sejak Airin bekerja di Magenta sebagai art director untuk beberapa serial yang kini sedang digarap. Airin ingat betul jika dirinya sedang memeriksa email yang masuk sembari menikmati tehnya saat Adi mulai membicarakan tentang kehidupan setelah pernikahan dengannya. Mengenali sisi Adi yang kini lebih terbuka, Airin selalu dibuat terkejut dengan segala hal dalam hidup lelaki itu yang sangat terencana. Dibanding dengan dirinya yang hanya memikirkan apa yang akan ia kerjakan saat ini, Adi jauh memikirkan ke masa depan.
"Mama kamu, kan, tinggal sendirian. Setelah menikah, apa kamu berpikiran untuk tetap tinggal dengan Mama kamu dengan suami kamu ikut tinggal di sana atau kamu bakal milih ikut tinggal sama suami kamu nanti?" tanya Adi.
Lagi-lagi, Airin harus menanggapi pertanyaan Adi yang terkesan sedang menggali dirinya, "Keluarga aku, termasuk Mama, menganut kalo perempuan udah menikah, ya, harus ikut sama suaminya. Aku juga enggak perlu khawatir sama Mama karena Mama udah terbiasa tinggal sendiran."
"Itu artinya, setelah menikah nanti, kamu mau ikut di mana pun saya tinggal?" tanya Adi.
Airin mengangguk dengan senyum, "Iya, Adi. Kamu kenapa, sih? Mau tinggal bareng Tante Dania sama Dita juga enggak masalah."
"Airin, saya punya rumah untuk saya tinggali setelah berkeluarga nanti." balas Adi dengan kedua bola matanya yang masih menatap lurus jalanan di depannya.
Airin yang mendengar kalimat itu terucap dengan begitu tenang pun langsung menoleh menatap Adi, "Kamu apa?"
"Saya udah nyicil beli tanah dari lama karena saya emang mau berkeluarga, tapi saya baru mulai bangun rumah awal tahun ini. Sekarang udah tahap finishing. Kamu mau ke sana?" jelas Adi dengan tenang.
Satu bulan berlalu, kedua belah pihak keluarga bahkan sudah dipertemukan. Ditemukan kesepakatan bahwa Adi dan Airin akan menikah di awal tahun depan. Dan hari ini, di tengah-tengah kesibukan pekerjaan dan persiapan pernikahan yang sudah dimulai, Airin menepati janjinya dengan Adi untuk mengunjungi rumah yang akan mereka tinggali setelah menikah nanti. Lokasinya tidak terlalu jauh dari rumah Adi sebelumnya, di mana Tante Dania dan Dita juga ikut tinggal. Airin cukup memahami yang satu ini, mengingat Tante Dania yang kondisi kesehatannya juga tidak bisa diprediksi. Selain itu, Airin juga masih bisa bekunjung ke rumah kakeknya dan ibunya dengan jarak yang tidak begitu jauh dari sana.
Sampai di sebuah bangunan minimalis yang sudah hampir selesai dikerjakan itu, Airin langsung turun dari mobil. Adi yang berada di sisi lain mobil pun menyusul berdiri di samping Airin yang sedang meneliti bangunan di hadapan mereka. Kemudian, perempuan yang siang ini memilih sweatshirt hitam dan jins biru muda sebagai outfit-nya itu pun melangkah terlebih dahulu memasuki bangunan rumah di hadapannya. Adi pun langsung mengikuti langkah perempuan itu.
Rumah yang masih digarap itu memiliki dua lantai dengan area rooftop di lantai ketiga. Halaman depan rumah itu pun cukup luas untuk menampung dua mobil dan satu sepeda motor. Saat Airin memasuki area lantai satu yang masih sangat kosong itu, masih ada beberapa tukang yang bekerja di sana. Perempuan dengan sneakers putihnya itu meneliti satu per satu ruangan tanpa sekat itu sembari menunggu arsitek yang Adi percaya untuk mengerjakan rumah mereka itu datang.
"Rin," panggil Adi, "Kenalin, ini Mas Tirto yang bantu saya desain rumah ini. Kamu bisa omongin interiornya sama Mas Tirto."
Secara keseluruhan, Airin sangat menyukai konsep minimalis yang ditekankan dalam bangunan ini. Walaupun Adi menyerahkan interior rumah pada dirinya, Airin tetap mendiskusikannya dengan Adi karena bagaimanapun rumah ini akan ditinggali oleh mereka berdua. Mengingat penjelasan Adi pekan lalu, Airin langsung paham apa yang lelaki itu inginkan begitu melihat langsung bangunan rumah ini. Perempuan itu kini sedang membayangkan tembok seluruh ruangan yang dicat dengan warna putih. Furnitur berwarna coklat, putih, abu-abu, dan hitam pun dirasa cocok untuk melengkapi ruangan.
Mas Tirto yang sudah mulai mengerjakan desain interior rumah ini pun menunjukkan sketsanya dari tablet yang ia bawa. Airin takjub begitu melihat penataan ruangan yang benar-benar sesuai dengan penjelasan Adi. Untuk lantai pertama, akan ada ruang tamu yang sekaligus dijadikan ruang keluarga, satu kamar tamu, satu kamar mandi, dan dapur. Ada juga ruang cuci di balik tembok dapur. Beralih ke lantai dua, akan ada satu kamar utama yang di dalamnya tersedia walk in closet dan kamar mandi, dua kamar tidur, satu kamar mandi, dan musala. Di antara ruangan-ruangan tersebut, terdapat ruang kosong yang mungkin nantinya bisa dijadikan ruang untuk berkumpul juga. Di lantai tiga, hanya ada taman yang dibatasi oleh kaca sebagai pagar pembatas.
"Saya suka sama desainnya Mas Tirto. Kita buat gitu aja, Mas, buat interiornya." ujar Airin, "Untuk furniturnya kita cicil aja."
Mas Tirto mengangguk, "Kalo begitu saya ke bawa dulu. Kalo ada yang perlu diubah, tinggal bilang ke saya aja."
Airin tersenyum, "Iya, Mas. Makasih banyak."
"Mari." Mas Tirto pun meninggalkan area taman di lantai tiga menuju lantai satu untuk memeriksa pengerjaan kitchen set hari ini.
Airin berjalan mendekati pembatas kaca sembari mengedarkan pandangannya ke sekitar. Angin menerpa anak rambutnya yang tidak ikut terkuncir. Di tengah-tengah gedung-gedung tinggi ibu kota, ternyata masih ada lokasi perumahan yang cukup nyaman untuk dihuni. Membayangkan dirinya pindah tinggal di sini bersama Adi, Airin merasa tenang. Lelaki itu selalu tahu bagaimana cara untuk membuat dirinya merasa aman dan nyaman. Adi menyusul berdiri di sampingnya, mengikuti geraknya mengedarkan padangan ke sekitar. Hanya dengan kaus hitam, celana jins hitam, dan topi yang entah sejak kapan lelaki itu menjadi sering memakainya, Adi selalu bisa menarik perhatiannya.
"Tiga bulan lagi, ya, Di?" tanya Airin.
Adi menoleh menatap Airin dari samping kemudian mengangguk, "Tiga bulan lagi."
Semakin dekat hari pernikahan mereka, semakin banyak pula hal-hal yang baru diketahui tentang satu sama lain. Keduanya sering terlibat pembicaraan yang cukup dalam mengenai satu sama lain. Namun, masih ada satu hal yang Airin simpan dari Adi. Entah sampai kapan dirinya akan menyimpan itu. Untuk saat ini, Airin belum siap mengutarakannya pada Adi. Ia masih menunggu waktu yang tepat.
Jadi buku ini akan selesai 2-3 chapter lagi. Minggu ini sampai minggu depan semoga bisa aku selesaikan, ya. Setelahnya, aku mau istirahat beberapa minggu sebelum nulis buku baru. See ya!
Enjoy!
Love, Sha.
KAMU SEDANG MEMBACA
Into Your Soul
ChickLitGunadi Series #2 [COMPLETED] Selama ini, yang Airin lakukan hanyalah menghindar. Kepulangan yang diawali dengan keterpaksaan itu membuat Airin harus menghadapi kembali luka lamanya. Sikap arogan yang ia bangun sebagai pertahanan diri nyatanya tidak...