Dengan baseball hat di kepalanya, Airin mengedarkan matanya ke segala penjuru lobi yang memiliki beberapa restoran itu begitu keluar dari lift. Di sampingnya, Pras melambaikan tangan pada seseorang yang sepertinya lelaki itu kenali dan Airin memilih untuk tidak peduli. Namun saat bola matanya tak sengaja bertemu dengan lelaki yang keberadaannya sama sekali tidak diduga itu, Airin langsung bersembunyi di balik punggung Pras. Adi yang siang ini mengenakan kaus biru dongker dengan jins hitamnya itu baru saja keluar dari sebuah restoran yang tak jauh dari mereka. Walaupun lelaki itu tak menghampiri mereka, Airin tetap merasa tidak aman. Adi belum boleh mengetahui sisinya yang satu ini.
Airin menarik ujung kaus Pras, "Kenapa Adi bisa di sini?" lirihnya.
"Dia tinggal di tower sebelah." jelas Pras santai.
Airin membulatkan matanya, "Kenapa lo enggak bilang?!"
Pras yang lebih dulu melanjutkan langkahnya hanya mengangkat kedua bahunya, "Gue kira lo udah tau."
"Gue enggak segila itu. Ngapain harus susah payah cari informasi kalo nyatanya dia masih bisa ditemui di Huis sama urusan pekerjaan di Reverie? Less effort, more opportunities." balas Airin cuek.
"Tunggu, lo ada kerjaan apa sama Adi di Reverie?" Pras menahan pundak Airin yang sudah akan melangkah masuk ke dalam restoran.
Bukannya menjawab pertanyaan dari Pras, Airin malah menanggapi seorang pelayan wanita yang menyambut kedatangannya dan Pras. Duduk berhadapan, Airin malah mengabaikan Pras yang masih menuntut jawabannya. Selesai memesan, Airin kembali menghindari tatapan Pras dengan memainkan ponselnya.
"Lo enggak jawab, gue habis ini pulang." ancam Pras.
Airin menghela napas, ia masih membutuhkan bantuan Pras sampai besok, "Mehana mau Reverie jadi tempat nginep talent mereka buat konser bulan depan."
Pras tampak terkejut, "Really? Bukan karena lo yang maksa, kan?"
"Enak aja. Ini, tuh, proyek udah jalan waktu Faisal masih di Reverie. Kali ini gue harus terima kasih sama Faisal." jelas Airin diakhiri dengan senyum di wajahnya.
Pras mendadak merasa ngeri dengan kegilaan sahabatnya itu. Walaupun sudah terbiasa dengan tindakan Airin yang sering di luar dugaannya, Pras masih belum bisa membaca isi kepala sahabatnya itu. Tak lama, seorang pelayan mengantarkan pesanan mereka menyelamatkan Pras yang sudah tidak tahu harus berkomentar apa. Keduanya menikmati makan siang dengan tenang tanpa obrolan sedikit pun sampai sesuatu melintas dalam benak Pras.
"Ulang tahun lo minggu depan, kan?" tanya Pras yang langsung mendapat tatapan membunuh dari Airin.
Sejak dulu, Pras memang ingin merayakan hari spesial itu atau sekadar memberi hadiah kecil pada sahabatnya itu. Namun Airin selalu menolak dan mencegahnya untuk melakukan sesuatu yang spesial di hari kelahirannya itu. Bagi Airin, hari ulang tahunnya adalah yang terburuk di antara hari-hari lainnya. Setahun setelah tinggal berpisah dengan orang tuanya, Airin menjadi saksi tunggal sidang perceraian kedua orang tuanya yang juga bertepatan dengan hari ulang tahunnya yang ke-17.
Mengetahui alasan itu, Pras tidak ingin Airin selalu melarikan diri seperti tahun-tahun sebelumnya, "Udah sepuluh tahun lebih, Rin. Lo masih enggak mau berdamai? Gue yakin, enggak cuma lo yang terluka. Tapi orang tua lo juga."
Sendok dan garpu yang Airin pegang ditaruh kembali di atas piring menyebabkan suara dentingan pelan. Dalam sekejap, Airin kehilangan selera makannya dan langsung beranjak dari duduknya, "Lo lanjut makan, gue balik duluan ke atas."
Sejak hari itu, Airin menjalani harinya dengan perasaan tidak tenang. Ketakutannya itu pun terjawab ketika menemukan buket bunga berukuran sedang di atas meja kerjanya. Hendak mengambil kartu ucapan yang terselip di antara bunga-bunga, ponsel dalam genggamannya berbunyi menampilkan nama yang tak pernah muncul sepuluh tahun terakhir ini. Airin menggser tombol hijau pada layar ponselnya kemudian mendekatkan ponselnya itu ke telinga.
"Selamat ulang tahun, Sayang. Udah terima buket bunga dari Papa, kan?" tanya Rifqi pada putri satu-satunya itu.
Mendengar suara sang ayah dari sambungan telepon, Airin langsung membuka kartu ucapan yang masih terlipat itu. Benar saja, pengirim buket bunga di atas mejanya itu adalah sang ayah. Sepuluh tahun terakhir ini, Airin tidak pernah mendapatkan sekadar ucapan selamat hari ulang tahun dari kedua orangnya. Hari ini, tepat di ulang tahunnya yang ke-28, secara tiba-tiba, sang ayah menelepon untuk memberinya ucapan.
"Airin?" Rifqi memanggil putrinya karena tak mendapat balasan apapun.
"Kenapa sekarang? Papa selama ini ke mana aja?" suara Airin tercekat.
"Airin, Papa..." Rifqi tak mampu menjelaskan apapun pada pertanyaan tiba-tiba dari putrinya itu.
Tidak ingin mendengar kalimat-kalimat menyakitkan yang mungkin akan ayahnya ucapkan, Airin memutus sambungan teleponnya dengaan sang ayah. Perasaan Airin yang sudah tidak baik sejak pagi itu menyebabkan beberapa pekerjaan menjadi kacau. Haikal yang seharian berhadapan langsung dengan Airin mencoba tidak menyinggung atasannya itu ketika ada kesalahan yang harus diperbaiki hari itu juga. Terbiasa bekerja dengan Airin, Haikal menjadi sedikit tahu mengenai suasana hati Airin yang mudah berubah sewaktu-waktu. Airin juga tak segan memarahi siapapun yang membuat suasana hatinya memburuk.
Sore itu, Haikal mengetuk pintu ruangan Airin, "Bu, sudah jam pulang kerja. Apa saya masih perlu tinggal di sini?"
Lamunan Airin terpecah kemudian mengecek jam di pergelangan tangan kirinya, "Kamu bisa pulang sekarang. Saya juga sebentar lagi pulang."
"Baik, Bu. Kalau gitu saya duluan." pamit Haikal sebelum meninggalkan ruangan Airin.
Waktu yang ditunggu-tunggu pun tiba. Seharian berada di Reverie, yang ingin Airin lakukan adalah pulang ke apartemennya dengan segera. Airin tidak akan merayakan apapun bersama teman-teman ataupun keluarganya di hari ulang tahunnya ini. Tidak menjadi hal yang spesial, hari ulang tahunnya itu justru membuatnya kembali teringat pada kejadian buruk sepuluh tahun yang lalu itu.
"Udah pulang? Mama buatin serabi kesukaan kamu." suara Wati membuat Airin yang baru saja memasuki apartemen membeku di tempatnya, "Selamat ulang tahun, ya, Sayang."
Airin menatap ibunya nanar, "Kenapa Mama sama Papa jadi berlomba-lomba ngasih kejutan gini?"
"Mama..." sama seperti Rifqi, Wati tidak bisa menjelaskan apapun di hadapan putrinya.
"Mama yang pergi atau Airin yang pergi?" tanya Airin menggenggam tali shoulder bag-nya dengan erat. Ia sudah lelah dengan panggung yang sedang dimainkan kedua orang tuanya itu.
Perempuan paruh baya yang masih mengenakan setelan kerjanya itu hanya diam tak mampu berkata.
"Oke. Airin yang pergi." Airin meninggalkan apartemennya tanpa memedulikan wajah terluka sang ibu. Selama ini, ia bertahan sendirian tanpa seorang pun menolongnya dengan luka yang entah sampai akan kapan membekas di dalam benaknya.
Enjoy!
Love, Sha.
KAMU SEDANG MEMBACA
Into Your Soul
ChickLitGunadi Series #2 [COMPLETED] Selama ini, yang Airin lakukan hanyalah menghindar. Kepulangan yang diawali dengan keterpaksaan itu membuat Airin harus menghadapi kembali luka lamanya. Sikap arogan yang ia bangun sebagai pertahanan diri nyatanya tidak...