Keluar dari Reverie, Airin langsung menghampiri mobil SUV milik Adi yang berhenti tepat di depan pintu masuk Reverie. Masuk ke dalam mobil Adi dan duduk di samping lelaki itu, Airin langsung memasang sabuk pengamannya. Rutinitas seperti ini sudah dijalani keduanya selama tiga bulan terakhir ini. Walaupun Airin juga masih membawa mobilnya sendiri ke Reverie, Adi jauh lebih sering menjemputnya. Sepulang jam kerja seperti ini, sebelum Adi mengantarnya pulang ke apartemen, biasanya keduanya pergi makan malam bersama terlebih dahulu. Sore ini, keduanya sudah memiliki janji dengan Aldy yang terus menagih keduanya untuk datang ke Huis. Mendekati akhir tahun, baik Airin maupun Adi, keduanya disibukkan dengan pekerjaannya masing-masing sehingga keduanya pun jarang terlihat datang ke Huis.
Sejak meninggalkan Reverie, Adi belum juga mengeluarkan suara. Menyadari hal ini, membuat Airin merasa bahwa ada sesuatu yang janggal. Lelaki yang duduk di sampingnya itu memang pendiam, tapi mendiamkan dirinya selama hampir separuh perjalanan sangatlah bukan Adi yang biasanya ia temui setiap hari belakangan ini. Sesuatu pasti sedang menganggu pikiran Adi. Ketika Adi menhentikan mobilnya di lampu merah, Airin langsung menurunkan ponsel di hadapannya dan menyampingkan tubuhnya menghadap Adi. Adi ikut menoleh menatap Airin tepat di kedua bola mata perempuan itu.
"Ada yang ganggu pikiran kamu?" tanya Airin.
Kedua alis Adi terangkat.
"Kamu keliatan lebih diam. Lagi mikirin sesuatu?" tanya Airin lagi.
Adi menggelengkan kepalanya, "Saya lagi enggak mikirin apa-apa."
"Beneran?" Airin jelas menangkap jika Adi sedang menutupi sesuatu dari dirinya.
Adi mengangguk dengan senyum kecil di wajahnya.
Begitu lampu merah berubah menjadi lampu hijau, Adi langsung melajukan kembali mobilnya. Suasana dalam mobil kembali hening. Adi kembali tak bersuara, sementara Airin yang merasa bahwa Adi tidak ingin membuka obrolan dengan dirinya pun ikut diam. Sampai di gedung perkantoran di mana Huis berada, Adi langsung menarahkan mobilnya ke basement untuk memarkirkan mobilnya. Adi masih tak mengucapkan satu patah kata pun saat dirinya turun dari mobil. Airin pun hanya mengikuti langkah Adi dari belakang karena lelaki itu sudah melangkah duluan meninggalkan mobil tanpa menunggunya. Airin merasa Adi semakin memberi jarak di antara mereka setelah percakapan singkat tadi.
Airin berjalan menuju lift dengan kepala tertunduk dan kedua tangan menggenggam tali tas. Menemukan suara langkah mendekat ke arahnya, Airin mengangkat wajahnya sedikit dan menemukan Adi berdiri di hadapannya. Adi yang tadinya sudah beberapa langkah di depannya itu ternyata memutar balik untuk menghampiri dirinya. Lelaki dengan kemeja hitam yang dua kancing teratas sudah dilepas itu mengulurkan tangan kirinya meraih lengan kanan Airin. Melihat Adi yang menarik lengannya, Airin kembali mengangkat wajahnya menatap kedua mata Adi yang teduh.
"Maaf. Saya jalannya kecepetan, ya? Jangan jalan di belakang saya lagi. Yuk." Adi menarik tangan Airin yang kini sudah ada di dalam genggamannya.
Airin mengangguk pelan. Hatinya menghangat ketika merasakan genggaman Adi menyelimuti tanngannya. Berjalan berdampingan dengan Adi yang menggenggam tangannya memang bukan yang pertama bagi Airin, namun dengan perasaan yang membaik seperti ini tentu memberi kesan berbeda. Airin kira, Adi akan melepaskan genggaman mereka begitu masuk ke dalam lift yang sudah diisi oleh dua orang itu. Namun nyatanya, Adi tetap menggenggam tangan Airin dan merapatkan jarak di antara mereka. Bahkan Adi juga tak melepaskannya ketika keduanya memasuki Huis dan mendapatkan tatapan ingin tahu dari Pras dan Aldy yang berada di meja bar.
"Kamu di sini dulu, ya. Saya ada perlu sama Aldy." Adi melepaskan genggamannya pada Airin begitu sampai di meja bar.
Airin mengangguk pelan.
Aldy melambaikan tangan pada Airin, "Rin."
Airin membalas sapaan Aldy dengan senyum kecil.
Begitu Adi dan Aldy meninggalkan meja bar, Airin memilih duduk di salah satu stool dan memesan minumannya pada Pras. Kedua matanya kembali tertuju pada Adi dan Aldy yang memilih duduk di sebuah meja yang terletak di dekat dinding kaca. Pras yang sedang membuatkan minuman pesanan Airin pun menangkap gerak Airin yang perlu ia pertanyakan. Jarang betemu bahkan bertukar pesan dengan Airin karena sama-sama sibuk dengan pekerjaan masing-masing, Pras seperti kehilangan kabar terbaru sehabatnya itu akhir-akhir. Yang dirinya tahu hanya sampai Airin yang sudah mengakhiri perjodohannya dengan Heru.
Pras menyodorkan minuman pesanan Airin di atas meja, "Lo sama Adi udah sejauh apa?"
Airin menoleh menatap Pras lurus-lurus. Pertanyaan sederhana dari Pras seperti menyadarkannya bahwa apa yang ia jalani dengan Adi ini memang tidak diresmikan dalam sebuah label pacaran. Adi juga tak pernah membawa topik mengenai hubungan keduanya di tengah obrolan mereka.
"Rin?" tegur Pras yang mendapati Airin yang malah terdiam.
Menatap Pras, Airin masih tidak bisa menjawab pertanyaan Pras sebelumnya.
"Lo sama Adi pacaran?" tanya Pras yang mendapati kebingungan di wajah Airin.
Airin menggeleng, "Adi enggak pernah bahas itu, tapi apa yang lo liat, gue sama Adi emang enggak bisa disebut enggak pacaran."
Setelah obrolan singkatnya dengan Pras, Airin menjadi lebih diam. Bahkan terkesan tidak ada dalam obrolan di antara Adi, Aldy, dan Pras. Perempuan yang malam ini mengenakan ruffle blouse berwarna krem itu hanya mengaduk minumannya dengan sedotan. Sesekali Airin menghela napas berat dengan tatapan kosongnya itu. Menyadari Airin yang tampak diam di sampingnya, Adi pun memutar tubuhnya menghadap perempuan itu.
"Kamu mau pulang aja?" lirih Adi di samping Airin.
Airin menoleh sesaat sebelum akhirnya mengangguk.
Berpamitan dengan Pras dan Aldy yang tampak khawatir, Airin dan Adi pun meninggalkan Huis. Tak berminat membangun percakapan dengan Adi, Airin membuang muka dan memilih menatap jalanan ibu kota dari kaca pintu mobil. Adi menahan diri untuk tidak bertanya mengenai Airin yang sepertinya menghindari percakapan dengan dirinya padahal sebelumnya mereka baik-baik saja.
"Rin, kita udah sampe." ucap Adi menghentikan mobilnya di depan lobi apatemen Airin.
Airin tak membalas kalimat Adi dan bersiap untuk turun dari mobil.
"Kamu kenapa?" tanya Adi menahan lengan Airin.
Airin menghela napas kemudian menoleh menatap Adi di sampingnya, "Kita ini sebenernya lagi jalanin apa, sih, Di?"
Adi terdiam dengan tatapan terkejut. Ia melepaskan tangannya yang menahan lengan Airin. Berbagai pemikiran muncul dalam benaknya. Beban yang dipikulnya seakan baru saja bertambah satu. Adi berharap jika pertanyaan yang keluar dari bibir Airin tidak pernah ditanyakan sebelum dirinya yang menyatakannya secara langsung. Tidak secepat ini tentunya. Masih ada yang harus Adi selesaikan sebelum ini.
Airin tersenyum masam dengan tatapan kecewa, "Makasih udah nganter. Hati-hati di jalan, Di."
Turun dari mobil Adi, Airin langsung merasakan sesak di dadanya. Ia memilih langsung masuk ke dalam gedung apartemen tanpa menoleh lagi ke belakang di mana Adi juga belum melajukan mobilnya meninggalkan apartemen. Sepertinya, mereka memang membutuhkan jarak untuk beberapa waktu ke depan.
Just let it be like this, okay.
Enjoy!
Love, Sha.
KAMU SEDANG MEMBACA
Into Your Soul
ChickLitGunadi Series #2 [COMPLETED] Selama ini, yang Airin lakukan hanyalah menghindar. Kepulangan yang diawali dengan keterpaksaan itu membuat Airin harus menghadapi kembali luka lamanya. Sikap arogan yang ia bangun sebagai pertahanan diri nyatanya tidak...