42

2.3K 283 2
                                    

Airin ikut beranjak dari kursinya ketika Pak Agung, mananjer Reverie Bali, beranjak dari kursinya. Menyambut uluran tangan Pak Agung, Airin kemudian membungkukkan tubuhnya sedikit saat Pak Agung meninggalkan meja. Tidak seperti hari-hari sebelumnya, pertemuan antara Airin dan Pak Agung kali ini jauh lebih santai karena disambi dengan makan siang di restoran hotel. Reverie Bali memang baru dibuka tiga tahun setelah Reverie Jakarta dibuka, namun jelas Reverie Bali jauh lebih maju daripada Reverie Jakarta karena ditangani oleh orang-orang yang sudah jauh lebih berpengalaman dan sangat strategis sebagai penyedia akomodasi hotel di tengah-tengah lokasi wisata. Jika Reverie Jakarta lebih menekankan pasar di kalangan pebisnis, target pasar Reverie Bali adalah para wisatawan mancanegara. Dan pertemuan antara manajer hotel Reverie ini dilakukan untuk mengembangkan fasilitas dan meningkatkan pelayanan hotel.

Setelah Pak Agung meninggalkan meja, Airin kembali duduk di kursinya. Setelah melewati hari-hari yang melelahkan, akhirnya Airin dan Pak Agung memiliki kesepakatan. Haikal yang juga ikut dalam perjalanan bisnis ini, sedang membereskan laptop dan beberapa berkas penting di sampingnya. Menghela napas lega, perempuan yang kini mengenakan belted puff sleeve dress berwarna ungu tua itu memeriksa notifikasi di ponselnya yang tak sempat ia lihat saat pertemuan berlangsung. Membuka aplikasi pesan, mata Airin langsung tertuju pada nama pengirim pesan yang berada di paling atas, Heru.

"Bu?" Haikal yang berdiri di samping Airin menegur perempuan itu.

Airin menoleh dan mendongakkan wajahnya pada Haikal, "Kamu duluan aja. Saya masih ada perlu."

"Baik, Bu. Kalau begitu, saya duluan." pamit Haikal yang kemudian meninggalkan restoran.

Membaca kembali pesan dari Heru yang berisi bahwa lelaki itu perlu bicara padanya, Airin teringat Adi yang terus mendorongnya untuk menghadapi semuanya satu per satu. Adi juga sudah sangat mempengaruhi hidupnya belakangan ini. Sering mengambil keputusan berdasarkan hasil diskusi berdua, jelas Airin merasa kosong di saat keduanya sedang berjarak seperti ini. Perempuan yang baru saja menghela napasnya berat itu merasa bahwa jarak yang diambil dirinya dan Adi sudah semakin jauh. Sejak menjemput Dita di apartemennya minggu lalu, Airin juga belum memiliki kesempatan untuk bertemu dengan lelaki yang sama sibuknya seperti dirinya itu. Bertukar pesan singkat pun rasanya tidak sempat.

Airin kemudian beranjak dari kursinya sembari membalas pesan Heru. Ia menyandarkan kedua sikunya pada pagar pembatas balkon yang terletak di samping mejanya. Jika dirinya sudah bisa berdamai dengan kedua orang tuanya, rasanya berdamai dengan Heru pun memungkinkan. Walaupun Heru memperlakukannya dengan kasar saat terakhir kali bertemu dengan lelaki itu, rasa takut yang selama ini menghantui dirinya pun perlahan hilang. Entah dari mana ia jadi memiliki keberanian untuk menghadapi semuanya, mungkin Adi. Sedang menikmati pemandangan pantai di hadapannnya, ponsel di genggamannya tiba-tiba bergetar. Nama Heru tertera di layar ponselnya. Menarik napas dalam, Airin kembali meyakinkan diri untuk mengakhiri semuanya dengan baik-baik. Untuk menjalani kehidupan baru dengan baik, sepertinya berdamai dengan masa lalu adalah salah satu jawabannya.

Menggeser tombol hijau pada layar ponsel, Airin kemudian mendekatkan benda pipih itu ke telinganya, "Halo?"

Tak ada jawaban dari Heru.

"Heru? Kamu di sana, kan?" tanya Airin kemudian.

Heru berdehem sebelum bicara, "Airin, saya mau menikah."

Airin terdiam. Ia tidak tahu harus bereaksi seperti apa atas kabar baik yang baru saja Heru katakan.

Karena Airin tak memberi tanggapan, Heru pun melanjutkan kalimatnya, "Tapi rasanya masih ada yang mengganjal karena saya masih berhutang maaf sama kamu. Maaf saya selalu bersikap kasar sama kamu, bahkan di saat pertemuan terakhir kita. Maaf karena saya paksa kamu waktu itu padahal saya tahu kamu enggak mau."

Into Your SoulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang