06

4K 416 4
                                    

Airin turun dari atas panggung dengan satu buket bunga berukuran cukup besar di tangan kirinya. Wajah dengan riasan natural itu tampak lebih berdefinisi di bawah pencahayaan panggung. Selain karena perawatan yang tidak murah, wajah manis Airin juga didapatkan dari darah orang tua yang mengalir di dalam tubuhnya. Di permukaan, keluarga Gunadi memang tampak sempurna tanpa kekurangan sedikit pun. Tentu Yusuf tidak akan membiarkan citra keluarga Gunadi dan perusahaannya tercoreng di hadapan media dan masyarakat umum.

"Rin, selamat, ya." Syanin menyambut Airin yang baru saja turun dari panggung.

"Thanks." Airin mencoba terlihat bahwa dirinya juga bahagia dengan jabatan barunya di Reverie.

"Oh, iya. Kenalin suami gue." Syanin merangkul lengan kiri Rafka supaya suaminya itu berdiri sejajar dengannya.

Airin mengulurkan lengannya pada Rafka, "Airin."

"Rafka. Selamat bergabung di Gunadi Group." balas Rafka menyambut uluran tangan Airin

"Thank you. Also, congrats buat calon anak pertamanya. Maaf, ya, gue enggak sempat dateng ke nikahan lo sama Syanin waktu itu." sudah memberi selamat pada Syanin tempo hari, juga memberi selamat pada Rafka.

"No, it's fine. Thank you, by the way." balas Rafka.

"Airin!" sebuah suara dari arah samping membuat Airin, Syanin, dan Rafka menoleh.

Bara, paman Airin, berjalan menghampirinya dari arah berlawanan dengan tepukan tangan.

"Rin, kami duluan, ya." pamit Syanin yang langsung menarik lengan suaminya untuk pergi.

Airin paham. Pamannya yang kini menghampirinya dengan wajah berseri-seri itu memang tidak memiliki hubungan yang baik dengan cucu-cucu dari Sarah Gunadi. Kabar terakhir yang ia dengar, bahkan Bara sempat menggantikan posisi Syanin di Magenta Production untuk sementara waktu. Bisa dikatakan, jika Bara adalah sosok yang sangat dihindari di dalam keluarga Gunadi.

"Akhirnya kamu pulang juga. Lebih enak di sini, kan, daripada jauh-jauh ke Korea tapi cuma kerja kasar di studio." ucap Bara ketika sudah berhadapan dengan keponakannya itu.

Selain kedua orang tuanya, Bara juga menentang keras pilihan hidupnya untuk berkecimpung di bidang seni. Airin teringat saat dirinya hendak memilih bidang pendidikan yang ia sukai untuk melanjutkan gelar sarjananya. Ia bahkan tidak dibiarkan memilih pilihan untuk hidupnya sendiri. Bahkan ketika ia merasa sudah tidak mampu melanjutkan pendidikan di bidang bisnis dan perhotelan, Bara tetap memaksa dirinya untuk bertahan. Walaupun pada akhirnya Airin diizinkan sang kakek pindah, tetap saja Bara serta kedua orang tuanya menatapnya sebelah mata. Airin dianggap tidak peduli dengan keberlangsungan bisnis keluarganya.

"Lihat, kan? Kamu akan tetap kembali ke dunia perhotelan ini. Menghindar bukan pilihan yang tepat, Airin." lanjut Bara.

Memegang buket bunga di lengan kirinya dengan erat, Airin berusah bersikap sesopan mungkin pada pamannya itu dengan memaksakan senyum di wajahnya, "Di sini, saya enggak merasa lebih baik, tuh, Om. Rasanya, saya seperti kembali ke neraka."

Bara hanya membalasnya dengan seringaian dan tatapan meremehkan.

Airin maju satu langkah menatap Bara tajam, "Tapi kayaknya saya bisa bikin neraka ini jauh lebih menyenangkan. Om mau tau?" kemudian ia kembali melangkah menyejajarkan tubuhnya dengan pamannya itu dan membisikkan sesuatu, "Saya enggak akan tinggal diam kali ini."

Airin kemudian melanjutkan langkahnya di antara tamu-tamu meninggalkan Bara yang terdiam di tempatnya. Pria paruh baya itu menahan geram dengan kedua tangannya terkepal kuat hingga buku jarinya memutih. Disapa oleh beberapa tamu yang hadir, Airin membalasnya dengan anggukan dan senyum di wajanya. Tak sedikit pula anggota keluarga besarnya yang turut hadir menyambutnya dengan hangat untuk pertama kali sepanjang hidupnya. Seakan karirnya selama ini di negeri ginseng tidak ada artinya.

Berjalan menuju area tengah hall, matanya bertemu dengan Aldy yang melambaikan tangan ke arahnya. Airin tersenyum ketika mendapati keberadaan Adi di samping Aldy. Airin pun menghampiri dua bujang dari keluarga Tedja itu. Ia menghentikan langkahnya di antara Aldy dan Adi. Perasaannya juga menjadi lebih baik ketika Adi meliriknya sekilas.

"Ternyata, lo bagian dari Gunadi juga?" tanya Aldy begitu Airin berhenti di samping kanannya.

Airin hanya tersenyum pada Aldy kemudian beralih menatap Adi samping kanannya, "Pertanyaan lo udah kejawab, kan?"

Adi hanya menatap Airin datar sebagai balasan. Sepertinya lelaki bernama lengkap Naradika Tedja itu memang tipe yang pendiam. Dibanding dengan lelaki lain yang pernah Airin temui, Adi adalah lelaki pertama yang tampak tak tertarik padanya. Bagi Airin, lelaki seperti Adi sangat jarang ditemui sepanjang hidupnya.

"Kenapa lo enggak langsung jujur aja kalo lo itu dari keluarga Gunadi?" tanya Aldy lagi.

"Well, gue enggak mau dianggap spesial karena gue nyandang nama Gunadi." balas Airin pada Aldy.

"Lo ngetes gue, ya?" Aldy bertanya lagi dengan menyipitkan matanya.

Airin tertawa pelan, "Kinda like that."

Aldy nampak takjub dengan Airin yang tidak mudah ditaklukan, "Woah, cucu-cucu perempuan di Gunadi emang punya power-nya sendiri. Berarti, lo juga bohong soal lo yang pengangguran?"

"No. Technically, gue belum kerja di Reverie waktu itu." balas Airin.

Aldy memang tipe yang asyik untuk diajak mengobrol banyak hal dibanding Adi yang tampak tidak tertarik membangun topik apapun dengan orang di sekitarnya. Merasa Aldy tak lagi membutuhkannya, Adi akhirnya memilih untuk memisahkan diri. Ditepuknya pundak sepupunya itu sebelum berlalu meninggalkan Aldy dengan Airin.

"I want him." ucap Airin melihat punggung Adi yang menjauh dari pandangannya.

"You what?" tanya Aldy memastikan pendengarannya tidak salah kali ini.

"I want him to be mine." ulang Airin yang matanya belum terlepas dari punggung Adi.

"Lo serius tertarik sama cowok modelan Adi?" tanya Aldy yang masih tidak percaya bahwa Airin ternyata menaruh hati pada sepupunya yang sepertinya tidak memiliki ketertarikan menjalin hubungan dengan siapapun itu.

Airin mengangguk kemudian menoleh pada Aldy yang kini berada di samping kanannya, "Why? You underestimate me?"

Sesaat Aldy merasa gugup dengan kepercayaan diri Airin di sampingnya, "Bukan."

"Then what?" Airin menuntut Aldy memberi penjelasan padanya.

Aldy menarik napas kemudian membuangnya pelan, "Then, you must have courage. Adi punya jalan hidup yang rumit. You have to deal with it kalo lo emang mau masuk ke dalam hidupnya."

Enjoy!

Love, Sha.

Into Your SoulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang