Untuk malam ini, hanya tamu undangan yang bisa masuk ke Huis untuk merayakan tahun baru. Memasuki Huis, Airin menangkap banyak wajah yang tidak asing. Beberapa teman seangkatannya di akademi pariwisata dan perhotelan yang juga merupakan teman Aldy ternyata juga diundang. Beberapa yang mengenalnya juga tak segan menyapanya. Perempuan yang malam ini mengenakan ruffle dress selutut berwarna hitam dengan motif bunga berwarna pink itu langsung menuju spot favoritnya, yaitu meja bar. Ia bergabung dengan Jeanny dan Pras yang sedang asyik mengobrol. Menaruh tasnya di atas meja bar, Airin pun memilih duduk di samping kiri Jeanny yang langsung menyambutnya.
"Lo dateng sendiri?" tanya Pras yang langsung menyibukkan diri membuat minuman yang pasti akan sahabatnya itu pesan.
Airin mengangkat kedua alisnya bertanya, "Emang harusnya gue dateng sama siapa?"
"Adi?" tanya Pras tidak yakin sembari melirik Airin dan Jeanny bergantian.
Airin hanya tersenyum dengan kekehan setelahnya.
"Airin, you come? Sendirian?" Aldy bergabung ke meja bar.
Airin memutar kursinya menghadap Aldy yang berdiri di balik punggungnya, "You see."
Memahami gerak Airin yang merasa tidak nyaman, Aldy pun mengajak Airin bergabung ke meja yang berada tepat di tengah-tengah ruangan. Walaupun Airin tidak terlalu dekat dengan teman-teman seangkatannya saat di akademi, kali ini ia bisa mengikuti obrolan yang sedang berlangsung. Dengan segelas wine di tangannya, Airin membalas satu per satu pertanyaan mengenai Reverie dan pekerjaannya. Menambah relasi dengan cara seperti ini tentu bukan hal yang buruk. Airin mahir dalam memulai percakapan yang pastinya akan berujung dengan bertukar kartu nama.
"Setelah kontrak lo selesai sama Reverie, lo udah ada rencana belom mau lanjut di mana? Kalo belom ada, lo bisa kontak gue nanti." tawar Andika, salah satu teman satu kelas Airin di akademi yang kini sama-sama menjabat sebagai manajer hotel berbintang di Jakarta.
"I'm not really sure, tapi kayaknya gue mau lanjutin karir gue di dunia desain." balas Airin.
Ketika meja di sekitarnya semakin ramai oleh tamu-tamu yang baru datang, Airin memilih undur diri untuk mencari tempat yang lebih lega. Perempuan yang mengenakan pointed heels berwarna emas itu pun melangkahkan kakinya menuju balkon yang lantainya dilapisi oleh kayu. Dengan gelas wine yang baru ia teguk sekali, Airin menatap jalanan ibu kota yang terhalang oleh gedung-gedung tinggi di sekitarnya. Gemerlap cahaya lampu dari gedung-gedung tinggi itu mampu membuat Airin merasa tenang. Menutup matanya, Airin bisa mendengar suara klakson mobil yang dibunyikan di tengah padatnya jalanan ibu kota malam ini di bawah sana. Airin suka dengan kota. Ia bahkan berpikir sepertinya ia tidak akan bisa bertahan hidup di desa dalam waktu yang panjang.
"Airin?"
Airin membuka matanya perlahan ketika mendengar suara yang ia kenal terdengar sangat dekat di samping kanannya. Menolehkan kepalanya ke kanan, Airin langsung menemukan Heru yang entah kenapa terlihat jauh lebih manusiawi. Biasa menemukan Heru dengan penampilan arogan dan cukup berantakan, Airin lumayan terkejut ketika mendapati tak ada kemeja yang mencuat keluar dari celana lelaki itu. Senyum terbit di wajah Airin.
"Hi! How are you?" tanya Airin.
"Better than before. Belakangan ini, hidup gue jauh lebih teratur, Rin." jelas Heru.
"So, jadi siapa perempuan yang berhasil bikin lo jadi kayak gini?" tanya Airin yang merasa jauh lebih santai dengan gaya bicara gue-lo yang kini ia gunakan dengan Heru.
"You already know her." balas Heru.
Airin mengerutkan dahinya, "Who?"
Heru memberikan ponselnya yang kini menampilkan sebuah foto, "Mita."
Melihat foto yang Heru tunjukkan, jelas Airin langsung bisa mengenali perempuan berambut sebahu ini. Mita Andarani. Bisa dibilang, Airin cukup dekat dengan perempuan lugu itu saat awal perkuliahan. Memerhatikan wajah Mita yang seakan tidak berubah, mata Airin beralih pada anak laki-laki yang berada di pangkuan Mita. Anak laki-laki itu mungkin berusia sekitar lima tahun jika Airin tidak salah. Dan entah kenapa, anak laki-laki itu sangat mirip dengan Mita maupun Heru. Sontak, Airin menolehkan wajahnya menatap Heru dengan mata terbelalak.
"Namanya Aaron. Gue baru ketemu lagi sama Mita dan Aaron empat bulan yang lalu, enggak sengaja. Dan sama seperti lo, gue juga ngerasa kalo Aaron emang mirip banget sama gue." jelas Heru yang menyandarkan kedua sikunya pada pembatas kaca balkon.
Airin memutar tubuhnya menghadap Heru dan mengembalikan ponsel lelaki itu, "Gue enggak tau harus komentar apa, Ru. Yang jelas, I'm so happy for you and Mita, and also Aaron."
"Thank you. I'm also happy for you and Adi." balas Heru setelah meneguk isi gelas wine-nya.
Airin menghela napas berat kemudian terkekeh pelan, "No, gue sama Adi belum sejauh itu."
"Why? You two look good together." Heru menoleh menatap Airin dengan wajah bingung.
Airin hanya tersenyum sembari menatap pemandangan gedung-gedung tinggi di hadapannya, "Should I take that as a compliment?"
Menikmati angin malam yang menghembus melewati wajahnya, Airin ikut menyandarkan kedua sikunya pada pagar pembatas balkon. Gelas wine di tangannya digoyangkan sembari menikmati malam pergantian tahun yang rasanya jauh lebih menenangkan. Banyak hal yang terjadi dalam satu tahun ini, sampai Airin merasa semuanya terjadi dalam satu waktu. Berdamai dengan masa lalu adalah satu hal yang sangat Airin syukuri karena ia tidak perlu lagi hidup dalam rasa takut. Menatap Heru di sampingnya, Airin sama sekali tidak mengira bahwa dirinya bisa berdiri di samping lelaki itu tampa rasa takut.
"Airin?"
Airin langsung memutar tubuhnya pada seseorang yang baru saja memanggil namanya di balik punggungnya. Heru yang berada di samping Airin pun ikut memutar tubuhnya. Kini, Airin dan Heru berdiri menghadap Adi berdiri tiga meter di hadapan mereka dengan pakaian serba hitamnya, kaus hitam yang kemudian dibalut leather jacket hitam dan celana jins hitam. Detik selanjutnya, Adi langsung mengambil langkah mendekati Airin dan hendak meraih lengan perempuan itu supaya segera menjauh dari Heru. Namun gerakan Adi sudah lebih dulu terbaca oleh Heru sehingga pergerakan Adi terhalang. Heru melangkah maju satu langkah dan merentangkan tangan kanannya di depan tubuh Airin. Lelaki dengan setelan jas coklat muda itu jelas tahu jika Adi sedang mencoba menunjukkan sisi dominannya atas kepemilikan Airin.
Merasa pergerakannya dihalangi, Adi pun langsung meraih kerah kemeja Heru dengan tatapan mengancam. Airin yang melihat jika Adi langsung menyingkirkan Heru dengan mudah pun terkejut. Perempuan yang masih terdiam di tempatnya itu mencoba membaca Adi, namun yang ia dapati ketika Adi menoleh adalah tatapan kecewa dan marah dari lelaki itu. Kini, Adi berada di atas Heru yang sepertinya memang membiarkan Adi menghajarnya. Menyadari bahwa orang-orang mulai memusatkan perhatian ke arahnya, Airin bergerak mencegah Adi untuk melakukan hal yang dapat mengundang perhatian lebih banyak lagi. Airin merasa Heru juga tidak bersalah. Lelaki itu juga tidak melakukan apa-apa yang dapat membahayakan dirinya. Saat hendak meraih lengan Adi, sepertinya Airin terlambat karena nyatanya Adi berhasil melayangkan satu tonjokkan di pipi Heru.
"Adi, berhenti!" Airin juga tidak berani mendekat karena Adi sepertinya benar-benar hilang kontrol atas dirinya sendiri.
"Adi, lihat saya." Airin menekankan setiap katanya dan akhirnya berhasil mengambil alih perhatian Adi, "Liat, kan? Saya enggak kenapa-napa."
Beranjak dari tubuh Heru, Adi langsung meraih lengan Airin keluar dari Huis tanpa satu patah kata pun.
Promise to solve them one by one. Lanjut di chapter selanjutnya.
Enjoy!
Love, Sha.
KAMU SEDANG MEMBACA
Into Your Soul
ChickLitGunadi Series #2 [COMPLETED] Selama ini, yang Airin lakukan hanyalah menghindar. Kepulangan yang diawali dengan keterpaksaan itu membuat Airin harus menghadapi kembali luka lamanya. Sikap arogan yang ia bangun sebagai pertahanan diri nyatanya tidak...