16

2.7K 297 0
                                    

"How is Reverie?" suara Faisal terdengar dari ponselnya yang sedang dalam mode loud speaker.

Airin yang sedang mengenakan anting di telinganya menyahut, "I'm glad that I can meet him. Thank you."

"Him? Who?" tanya Faisal lagi.

"Adi." balas Airin.

"Adi who?" jelas Faisal tak mengenali sosok yang namanya baru saja disebutkan adik sepupunya itu.

"Naradika Tedja. Masa lo enggak tau?" Airin meraih ponselnya dari atas meja kemudian menonaktifkan mode loud speaker dan mendekatkan ponselnya ke telinga.

"Aah... Gue tau. Mehana Entertainment? Lo ada apaan sama dia?" tanya Faisal curiga.

Airin tertawa pelan, "I just found something in him that I never saw in a man."

Faisal terbahak, "Seriously, Rin? Setau gue, lo enggak punya pengalaman sama cowok kecuali Heru."

"Don't ever again mention his name." Airin memperingati Faisal dengan nada dingin.

"Oops, sorry." Faisal tertegun.

Keluar dari kamarnya, Airin melirik sekilas kotak makan berisi surabi buatan ibunya yang masih tak tersentuh di atas meja makan sejak kemarin. Ia kemudian melanjutkan langkahnya menuju pintu apartemen. Pagi ini, Airin sudah berpakaian rapih untuk mengunjungi kakeknya. Untuk melengkapi dress lengan panjang berwarna putih selutut yang dibalut dengan vest rajut berwarna coklat, Airin meraih knee high boots berwarna hitam dari rak sepatu kemudian memakainya. Memastikan kembali penampilannya di depan cermin yang ada di hallway apartemennya, Airin kemudian keluar dari unit apartemennya.

"Udah dulu, ya, Sal. Gue mau sarapan dulu di bawah." Airin memutus panggilannya dengan Faisal.

Airin melirik jam di pergelangan tangan kirinya yang menunjukkan tepat pukul sepuluh saat pintu lift berdenting menandakan bahwa dirinya sudah sampai di lobi. Keluar dari unit apartemennya tanpa sarapan pagi, akhirnya Airin memutuskan untuk mendatangi salah satu coffee shop langganannya yang menyediakan menu brunch untuk mengganjal perutnya. Melepaskan kacamata hitam yang menutupi wajahnya, Airin menajamkan indra penglihatannya ke dalam coffee shop. Seorang lelaki yang sedang menikmati kopinya itu jelas Adi. Senyum terbit di wajah Airin karena keberuntungan memihaknya pagi ini. Lelaki itu masih bisa terlihat menarik walaupun hanya dengan pakaian santai serba hitamnya itu.

Tanpa suara, Airin menarik kursi yang tepat bersebrangan dengan Adi dan duduk di sana. Jelas lelaki yang sibuk dengan ponselnya itu tampak terkejut dengan kedatangannya yang tiba-tiba itu. Ketika seorang pelayan memberikan Airin buku menu, Adi mencoba mengabaikan perempuan yang kini duduk di hadapannya itu. Sementara Airin merasa sedikit lega karena Adi tak langsung mengusirnya.

"Kamu udah sarapan?" tanya Airin dalam mode formalnya sebelum pelayan yang mencatat pesanannya beranjak pergi.

Adi hanya diam dengan kedua lengannya yang terlipat di depan dada.

Diabaikan, Airin kembali menoleh pada pelayan di sampingnya, "Udah, itu aja."

"Baik, ditunggu pesanannya." balas sang pelayan.

Airin mengangguk, "Makasih."

Selepas kepergian sang pelayan, keduanya diselimuti keheningan. Airin menunggu Adi buka suara sementara Adi tampak malas memulai obrolan dengan perempuan di hadapannya itu. Airin memanfaatkan kesempatan ini untuk menatap wajah Adi sepuasnya.

"Kamu enggak ada niatan buat pindah tempat?" tanya Adi yang lama-lama merasa risih ditatap intens oleh Airin.

Airin menegakkan tubuhnya, "Akhirnya kamu ngomong juga." kemudian tersenyum.

"Kamu enggak akan pindah tempat?" tanya Adi sekali lagi.

"Buat apa saya pindah? Kita, kan, saling kenal." balas Airin tak ingin kalah.

Meraih cangkir kopinya, Adi beranjak dari duduknya untuk pindah. Namun Airin yang ikut beranjak dari duduknya itu sudah lebih dulu menahan lengan kirinya.

"Kamu kayaknya enggak suka banget, ya, sama saya? Ngobrol sama saya aja enggak pernah, dan kamu udah bisa bikin penilaian seperti itu? Kenapa kamu enggak duduk lagi dan coba ngobrol sama saya? Setelah itu, kamu bisa menilai saya." Airin menatap kedua manik mata Adi dengan tajam.

Adi menyentak tangan Airin dari lengannya kemudian kembali duduk di kursinya. Mendapati Adi yang tak lagi membantahnya, Airin tersenyum miring. Kali ini ia menang. Beberapa lama kemudian, seorang pelayan mengantarkan waffle dan mochacinno milik Airin.

"Udah dapet informasi apa aja dari Aldy?" tanya Adi yang sudah merasa cukup risih dengan keberadaan Airin.

Airin yang sedang memotong waffle-nya mendongak menatap Adi kemudian tersenyum, "Not much."

"Termasuk di mana saya tinggal?" tanya Adi lagi.

Airin yang sedang mengunyah satu potong waffle pertamanya menggeleng, "Saya baru tau kamu tinggal di tower sebelah waktu saya pindahan. Dan bukan Aldy yang kasih tau, tapi Pras."

Di mata Adi, perempuan seperti Airin sepertinya hanya ingin bermain-main saja dengannya. Jelas, cara Airin untuk mendapatkan perhatiannya sama seperti ketika sepupunya, Aldy, menemukan incarannya. Adi teringat pembicaraannya tentang Aldy semalam ketika Airin sudah meninggalkan Huis. Bahkan Aldy yang sepak terjangnya dengan wanita sudah tidak diragukan lagi itu mengaku sudah ditolak mentah-mentah oleh Airin.

"Lo beneran enggak tertarik sama perempuan macem Airin?" tanya Aldy.

"Jelas lo yang tertarik sama dia. Lo bisa deketin dia kalo mau, kan?" balas Adi yang sangat enggan membahas perempuan bernama Airin itu.

"Dia maunya lo. Gue bisa apa?" Aldy menatap sepupunya itu jengah, "Satu lagi, Airin itu bagian dari Gunadi. Apa yang enggak bisa ia dapetin?"

Adi menghabiskan kopi di dalam cangkirnya supaya segera bisa pergi dari sana. Selain untuk menghindari Airin, ada tempat yang harus ia kunjungi di setiap akhir pekan seperti ini.

"Saya duluan." pamit Adi beranjak dari duduknya.

"Tunggu." cegah Airin yang sedang menghabiskan waffle di piringnya yang hanya tersisa sedikit lagi.

Tak memedulikan Airin, Adi melanjutkan langkahnya menuju kasir untuk membayar. Melihat Adi yang sudah meninggalkan coffee shop, Airin menyudahi sarapannya kemudian membayarnya ke kasir. Dengan langkah jenjangnya, ia mencoba menyusul Adi yang berjalan keluar dari gedung apartemen. Perempuan yang rambutnya dicepol rapih itu tidak ingin lagi kehilangan kesempatan untuk sekadar mengobrol dengan Adi. Namun sepertinya keberuntungan sudah tak berpihak padanya. Ponsel di genggamannya berbunyi menampilkan nama kakeknya ketika Adi sudah berhasil menyebrang ke gedung apartemen di samping gedung apartemennya.

Enjoy!

Love, Sha.

Into Your SoulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang