29

2.5K 290 1
                                    

Airin tidak bisa lagi melarikan diri kali ini. Tak membiarkan Airin ingkar janji lagi, Wati dan Rifqi mendatangi kediaman Yusuf untuk menjemput putri mereka. Sesuai dengan janji yang direncanakan kedua orang tuanya jauh-jauh hari, malam ini, Airin akan mendatangi acara malam bersama kedua orang tuanya. Tentu tujuan utama dari acara makan malam ini adalah untuk mempertemukan Airin dengan seseorang yang merupakan anak dari rekan kerja orang tuanya. Airin melihat pantulan dirinya yang sudah siap dengan off shoulder dress berwarna hitam sepanjang betis pada cermin di hadapannya. Ia masih tidak bisa percaya bahwa dirinya akan benar-benar ada di titik ini. Kedua tangannya masih bergerak memasangkan teardrop earrings berwarna emas di telinganya dengan berat hati.

Selesai dengan kegiatan berdandannya, Airin meraih tali rantai shoulder bag berwarna hitam miliknya dari atas kasur kemudian meninggalkan kamarnya. Suara stiletto berwarna hitam yang Airin kenakan menggema ke seluruh penjuru rumah ketika menyentuh lantai marmer pada anak tangga. Wati dan Rifqi yang berada di ruang tengah bersama Yusuf pun beranjak dari duduknya, menatap Airin yang sedang menruni anak tangga. Kedua orang tuanya itu tampak serasi dengan pakaian yang didominasi warna biru dongker. Yusuf yang juga menyadari kedatangan Airin pun beranjak dan menatap cucunya itu dengan senyum lebar.

Sampai di ruang tengah, Airin langsung menghampiri kakeknya dan berpamitan, "Eyang, Airin berangkat dulu."

Yusuf merasa senang karena akhirnya Airin tidak lagi menghindar dari kedua orang tuanya. Ketika mendapati Airin yang tampak enggan, Yusuf hanya bisa menepuk pelan punggung tangan cucunya. Airin membalas perlakuan kakeknya itu dengan senyum kecil.

Berangkat bersama kedua orang tuanya, Airin duduk di kursi belakang dalam diam. Kedua orang tuanya pun yang duduk berdampingan di depan tampak tak berminat untuk membuka topik apapun dengannya. Sang ayah fokus menyetir dan sang ibu yang sibuk dengan ponselnya. Airin tidak pernah mengira bahwa berada dalam satu mobil dengan orang tuanya dalam keheningan seperti ini akan terasa semenyesakkan ini.

Sejak kecil, Airin memang seperti tidak pernah mengenal kedua orang tuanya yang selalu disibukkan dengan pekerjaan. Ia bahkan lebih banyak menghabiskan waktu dengan pengasuhnya dan sang kakek. Airin ingat betul pertengkaran besar pertama kedua orang tuanya itu disebabkan oleh sang ibu yang enggan berhenti dari pekerjaannya dan sang ayah yang terus memaksa sang ibu untuk berhenti bekerja. Alasan Rifqi meminta Wati untuk berhenti dari pekerjaannya supaya Airin bisa lebih diperhatikan saat usia remajanya. Wati yang menganggap jika dirinya mampu menjalankan dua peran sebagai wanita karir dan seorang ibu pun menentang permintaan suaminya. Airin yang mendengar pertengkaran kedua orang tuanya dari kamar hanya bisa menyadari bahwa kedua orang tuanya seperti enggan mengurusnya. Maka ketika kedua orang tuanya bercerai dan hak asuh jatuh pada sang ayah, Airin tidak mau jika harus kembali tinggal satu atap dengan salah satu orang tuanya dan memilih tinggal bersama kakeknya.

"Jangan permalukan kami." Wati memperingati putrinya yang memang suka bertindak seenaknya sebelum turun dari mobil.

Tak memedulikan peringatan sang ibu, Airin langsung membuka pintu mobil dan turun dari mobil. Airin mengikuti langkah kedua orang tuanya memasuki restoran mewah bergaya Eropa itu. Sang ayah menyebutkan nama pada seorang pelayan perempuan yang berjaga di pintu masuk. Kemudian sang pelayan itupun mengantar mereka ke sebuah meja yang masih belum diisi satu orang pun. Airin memilih duduk di kursi terluar di sebelah ibunya. Kedua orang tuanya langsung sibuk memilih menu untuk mereka nikmati malam ini bersama rekan kerja kedua orang tuanya itu. Kepergian pelayan yang sudah mencatat pesanan mereka digantikan oleh kedatangan sepasang suami istri yang sudah dipastikan adalah rekan bisnis kedua orang tuanya.

Baru saja beranjak dari duduknya mengikuti kedua orang tuanya yang menyambut kedatangan suami istri itu, Airin dikejutkan dengan lelaki yang baru ditemuinya kembali tempo hari ikut bergabung. Heru yang malam ini mengenakan setelan jas berwarna abu-abu dengan kemeja yang dua kancing teratasnya sudah dibuka itu tersenyum penuh kemenangan pada Airin. Sementara Airin yang wajahnya mulai memucat mencoba tetap tenang supaya tak mengundang perhatian orang-orang di sekitarnya seperti tempo hari.

Setelah berjabat tangan dengan kedua orang tua Heru, Tante Kristi dan Om Darma, Airin kemudian dihadapkan dengan Heru. Menarik napas dalam, Airin memberanikan diri menatap Heru kemudian mengulurkan tangannya pada lelaki itu. Tampak jelas jika Heru tersenyum miring padanya. Bagi lelaki itu, Airin tetaplah seorang perempuan lemah, berbanding terbalik dengan penampilannya malam ini. Dengan pakaian serba hitam dan lipstik merah gelap di bibir Airin tak mampu memberi kesan mengintimidasi.

Heru mengangkat alis dengan senyum miring di wajahnya ketika perempuan sok kuat di hadapannya itu menyambut uluran tangannya, "It's really nice to meet you again, Airin."

Airin mengangguk pelan dan tersenyum kecil, "Nice to meet you, too, Heru."

"Loh, kamu udah kenal sama Heru, Airin?" tanya Wati ketika Airin kembali duduk di kursinya.

Airin tak akan membiarkan Heru menjawab, "Heru teman Airin waktu di akademi."

"Oh, iya. Tante denger, kamu sempet kuliah setahun di akademi pariwisata, ya? Kenapa pindah? Kan, udah enak. Keluarga kamu punya bisnis di bidang perhotelan." tanya Tante Kristi dengan tatapan yang membuat Airin sedikit tersinggung.

"Enggak apa-apa, Tante. Saya emang memilih pindah untuk menekuni bidang yang saya suka." balas Airin sesopan mungkin.

"Loh, bukannya sekarang juga kerjanya di perhotelan, ya?" tanya Tante Kristi lagi.

"Saya cuma menggantikan sepupu saya, Faisal." balas Airin yang mulai merasa tak nyaman dengan suasana di meja ini.

"Lebih baik kita makan malam dulu. Bagaimana?" tanya Om Darma.

Airin bernapas lega ketika makan malam dimulai dalam hening. Hanya ada suara alunan musik klasik yang diputar. Ia merasa bahwa hidupnya seperti lelucon, sumber rasa sakit dari masa lalunya bisa berkumpul di satu meja seperti ini. Kehilangan nafsu makannya, Airin dengan berat hati menyendokkan makanan utama yang kini sudah dihidangkan di atas meja. Sangat berbeda dengan dirinya, Heru yang duduk di hadapannya tampak menikmati makan malam kali ini. Dalam benaknya, Airin memikirkan berbagai cara supaya perjodohan ini dibatalkan. Ketika hidangan digantikan dengan hidangan penutup, obrolan ringan antara kedua orang tuanya dan kedua orang tua Heru pun dimulai. Perasaan Airin semakin tidak enak. Ia hanya ingin segera pergi dari tempat penuh rasa sesak ini.

"Gimana Heru?" tanya Wati membuat Airin kebingungan dengan topik apa yang sebelumnya dibicarakan.

"Hmm... Saya mau melanjutkan perjodohan dengan Airin. Menurut kamu gimana?" tanya Heru pada Airin yang sudah memasang wajah kaku.

Airin menaruh sendok hidangan penutupnya kembali ke piringnya, "Maaf, tapi saya enggak bisa."

"Loh, kenapa Airin?" tanya Tante Wati.

Wati mengelus pundak putrinya, "Sayang, gimana kalo dicoba dulu jalan sama Heru? Satu bulan?"

Airin menatap ke sekelilingnya. Kedua orang tuanya dan kedua orang tua Heru menatapnya dengan penuh harap. Jujur, Airin lelah jika harus ikut bermain peran seperti kedua orang tuanya.

"Satu bulan dan kamu bisa tolak saya kalo kamu memang masih enggak bisa terima saya." tambah Heru menantang Airin.

Baik. Airin akan membuatnya menjadi serealistis mungkin. Anggap saja di sini, dirinya dan Heru sedang bermain peran karena yang kedua orang tuanya tahu, dirinya dan Heru hanyalah teman biasa. Satu bulan tidak akan lama. Secepat mungkin, ia akan mendorong Heru menjauh dari kehidupannya. Airin harap begitu.

Thank you for your support.

Enjoy!

Love, Sha.

Into Your SoulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang