44

2.4K 286 5
                                    

Dengan heels setinggi 7 cm, tentu Airin kesulitan mengikuti langkah lebar Adi yang terkesan terburu-buru itu. Genggaman Adi di lengannya pun terasa semakin mengencang. Bahkan saat keduanya sudah berada di dalam lift yang membawa mereka menuju basement, Adi masih tak melepaskan lengan Airin dari genggamannya. Jelas Airin menyadari bahwa Heru mencoba melindunginya dari Adi yang tampak dikuasai oleh emosi. Berada dalam keheningan yang mencekam, Airin mencoba menenangkan diri. Ia harus bisa menghadapi Adi yang seperti ini. Ia tidak akan lagi kalah dengan rasa takut yang akhirnya bisa dirinya atasi. Begitu lift sampai di basement, Adi menariknya keluar dari lift menuju mobil lelaki itu.

"Masuk." perintah Adi pada Airin yang masih terdiam di samping pintu mobil.

"Saya bawa mobil sendiri, Di." tolak Airin yang tidak ingin Adi bertindak seenaknya lagi.

"Tolong, Rin. Masuk." pinta Adi sekali lagi.

Menahan kesal, Airin akhirnya membuka pintu mobil dan duduk di sana. Adi menyusul duduk di balik kemudi setelahnya. Menangkap gerak Adi yang hendak menyalakan mesin mobil, Airin langsung mencegah Adi dengan menahan lengan kiri lelaki itu.

"Di, saya bawa mobil sendiri. Kamu kenapa, sih?" Airin menatap Adi nanar.

"Kamu yang kenapa? Jelas-jelas, Heru pernah bikin kamu celaka. Kenapa kamu masih dekat-dekat sama dia?" bentak Adi.

Airin tidak terima Adi membentaknya seperti ini, "Apa kamu tadi liat saya ada dalam bahaya, Di? Di tempat rame kayak tadi, Heru enggak akan berani berbuat macem-macem sama saya. Kami juga ngobrol baik-baik, Di. Kamu juga bilang kalo saya harus hadepin semuanya satu per satu."

Adi membuang napas berat, "Seriously, Airin? Kamu belain dia? Saya kira, kamu enggak seperti dugaan saya sebelumnya. Ternyata, kamu sama aja."

Airin menatap Adi tak percaya, "Maksud kamu apa, Di? Saya enggak belain Heru."

"Kamu jelas tau." balas Adi dingin, mencoba menutupi bahwa dirinya juga takut kehilangan Airin.

Menyandarkan punggungnya, Airin menyisir rambutnya ke belakang. Tubuhnya lemas. Adi jelas tak menginginkannya. Ia mencoba menahan tangis dengan menggulum bibirnya, "Saya juga capek, Di."

"Kayaknya kalo saya tanya kamu satu kali lagi, 'Kamu kenapa?', kayaknya kamu juga tetep enggak akan jawab. Apapun yang lagi coba kamu tutupin itu jelas yang bikin kita kayak gini sekarang, Di." Airin mengambil napas sebelum melanjutkan kalimatnya, "Saya enggak masalah kamu enggak kasih kejelasan sama apa yang lagi kita jalanin, tapi bukan berarti kamu bisa bertindak seenaknya sama saya. Walaupun kamu coba kasih banyak hal ke saya, ada satu hal yang saya belum dapetin dari kamu, Di. Saya enggak kenal kamu sedalam itu. Tapi saya bisa sepercaya itu sama kamu. Atau emang di sini cuma saya, Di? Kalo kamu emang enggak bisa, tolong bilang. Jangan diem aja kayak gini."

Sepertinya Airin yang benar-benar akan kehilangan Adi setelah ini. Jauh di dalam hatinya, Airin ingin bertahan. Namun tidak adanya titik cerah atau bahkan kemajuan di antara keduanya, Airin juga lelah. Belum lagi Adi yang terasa semakin jauh karena lelaki itu tiba-tiba membuat jarak di antara mereka.

"Kamu tau, Di, seberapa percayanya Tante Dania sama Dita ke saya, kalau saya bisa dampingin kamu. Tapi kamu sendiri enggak bisa percaya sama saya. Kamu enggak pernah coba ngeyakinin saya kalau saya bisa, Di." Airin meyakinkan diri bahwa kalimat selanjutnya adalah keputusan terbaik untuk situasi mereka saat ini, "Kayaknya, kita lebih baik enggak lanjutin ini, Di. Sampaikan maaf saya ke Tante Dania sama Dita karena saya memilih berhenti di sini."

"Enggak, Rin." Adi menggeleng. Tangannya langsung bergerak menahan lengan Airin. Ia tidak ingin melepaskan Airin dengan cara seperti ini.

Airin tersenyum getir, meraih wajah Adi kemudian mencium lembut pipi lelaki itu, "Take care, ya, Di."

Airin berani bersumpah jika kalimat yang baru saja ia lontarkan juga menghancurkan hatinya. Air matanya yang sedari tadi ia tahan pun akhirnya mengalir di pipinya. Mempertahankan dan mengakhiri akan sama saja rasanya. Menundukkan wajah supaya rambut panjangnya dapat menutupi wajahnya, Airin turun dari mobil Adi sembari menyeka air matanya. Semua yang belum dimulai pun berakhir sampai di sini. Airin mencoba menguatkan diri untuk melanjutkan langkah menuju mobilnya yang terparkir tepat berseberangan dengan mobil Adi. Karena demi apapun rasanya sakit.

Berhasil duduk di balik kemudi, Airin mendapati Adi yang masih terdiam di balik kaca mobil. Menundukkan kepala di balik roda setir, air mata yang Airin tahan sejak tadi pun luruh. Ia menangis sejadi-jadinya. Mengingat jelas Adi yang seperti tidak bisa menahannya untuk tidak pergi, membuat rasa sakit itu kembali datang. Hati kecilnya terus berkata jika Adi yang tampak tak memiliki keberanian untuk menahannya itu bukanlah Adi. Sesuatu menahan gerak lelaki itu.

Setelah berhasil mengendalikan diri, Airin langsung meraih kacamata hitamnya untuk menutupi mata sembapnya. Menyalakan mesin mobil, Airin lah yang lebih dulu meninggalkan parkiran basement. Airin tersesat. Ia tidak tahu harus kembali pada siapa di situasi seperti ini. Berhasil bertahan sendirian selama ini, untuk pertama kalinya, Airin merasa jika kali ini ia tidak bisa menahannya sendirian.

Membanting setir ke kanan, Airin tidak kembali ke apartemennya. Entah kenapa, nama sang ibu langsung terlintas dalam benaknya. Airin memang banyak bercerita tentang Adi pada ibunya. Wajah sang ibu selalu senang ketika mendengar ceritanya tentang Adi. Airin ingat jelas jika sang ibu sangat ingin bertemu lelaki itu. Namun sepertinya, hal itu tidak akan terjadi. Airin menunggu di depan pintu apartemen ibunya dengan perasaan cemas. Ia harap, sang ibu bisa berada di sampingnya kali ini. Begitu pintu apartemen terbuka, Airin langsung memeluk sang ibu yang sepertinya sudah siap untuk tidur itu.

"Ma..." air mata Airin kembali luruh di pundak Wati.

Wati yang terkejut dengan keadaan Airin yang sangat berantakan itu pun hanya bisa membalas pelukan putrinya itu, "Kamu kenapa, Sayang? Kita masuk dulu, yuk."

Duduk di atas sofa, Airin menunggu sang ibu kembali dengan tangis yang juga belum bisa berhenti. Kepalanya tertunduk. Perempuan yang sedang menggaruk kulit jarinya itu tidak mengira bahwa kehilangan Adi akan terasa sesakit ini. Merasa sang ibu sudah kembali di sampingnya, Airin menemukan cangkir berisi teh hangat disodorkan padanya. Airin penyuka teh dan itu ia dapatkan dari sang ibu. Menerima cangkir teh dari tangan sang ibu, Airin kemudian menyeruputnya pelan. Wati mengusap pelan pundaknya. Perasaannya jauh lebih tenang.

"Mau cerita kamu kenapa?" tanya Wati lembut sembari menaruh cangkir teh milik putrinya di atas meja.

Airin menoleh dengan mata sembapnya, "Ma, Airin bahkan belum mulai apapun sama Adi. Tapi kenapa rasanya sakit banget?"

"Kamu sama Adi kenapa, Sayang?" tanya Wati mulai khawatir.

Air mata Airin kembali luruh, "Airin sama Adi udah selesai, Ma. Enggak ada yang akan dilanjutin."

Wati membeku di tempatnya. Pasalnya, dirinya tahu apa penyebab Adi tak bergerak maju dalam hubungan dengan putrinya itu. Wati kira, semuanya akan berjalan baik-baik saja karena dirinya yakin Adi akan memperjuangkan putrinya apapun yang terjadi. Namun sepertinya Adi pun tak bisa berbuat banyak untuk membuat Airin bertahan karena putrinya sendiri sudah menyerah. Melihat Airin menangis seperti ini, Wati juga bisa merasakan kehilangan yang Airin rasakan.

I was really afraid writing this chapter. See you on the next chapter!

Enjoy!

Love, Sha.

Into Your SoulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang