50

2.9K 298 3
                                    

Airin sedang dalam perjalanan pulang ke rumah ketika ponselnya berdenting, menandakan sebuah pesan masuk. Menghentikan mobilnya di antara mobil-mobil yang terjebak kemacetan ibu kota sore hari ini, Airin kemudian meraih ponselnya. Ternyata, sebuah pesan masuk dari Faisal yang memintanya untuk mampir ke rumah kakek mereka. Kakak sepupunya itu memang baru tiba di Indonesia pagi tadi, bersama Pakde Rian dan Bude Erna. Airin ingat betul jika dua hari yang lalu, Faisal mengirim foto perayaan kelulusannya. Artinya, Airin tak akan lama lagi meninggalkan Reverie. Dua tahun ternyata berlalu begitu cepat. Airin tidak tahu apakah dirinya harus merasa sedih atau senang karena akhirnya sebentar lagi bisa terbebas dari urusan perhotelan yang sangat tidak dirinya sukai.

Mendengar suara klason dari mobil yang tepat berada di belakangnya, Airin mengembalikan kesadarannya. Lampu merah sudah berganti menjadi lampu hijau dan mobil di depannya juga sudah melaju cukup jauh darinya. Airin pun menaruh ponselnya di atas pangkuannya kemudian segera melajukan kembali mobilnya. Setelah 20 menit perjalanan, Airin membelokkan mobilnya memasuki komplek perumahan. Ia tidak langsung pulang ke rumahnya, melainkan mampir ke rumah sang kakek. Sepertinya, semua sedang berkumpul di sana karena Airin menemukan mobil lain terparkir di halaman rumah sang kakek.

Airin langsung turun dari mobilnya setelah berhasil memarkirkannya. Memasuki kediaman Yusuf Gunadi, perempuan dengan turtleneck putih yang kemudian dibalut dress sepanjang betis bermotif polkadot hitam putih itu pun langsung menjadi pusat perhatian. Pakde Rian, Bude Erna, dan Kintan juga ada di ruang tengah bersama Faisal dan sang kakek. Begitu kedua matanya menangkap sosok sang ayah, Airin yang hendak menyambut Faisal hangat pun mengurungkan niatnya itu. Perempuan yang masih mengenakan heels oranyenya itu ikut bergabung ke ruang tengah dalam diam. Sosok Airin yang dingin pun kini mengambil alih.

"Karena Airin udah di sini, kita langsung pindah ke ruang makan aja, yuk. Pasti udah pada laper." Pakde Rian angkat bicara saat Airin baru saja bergabung.

Ketika sang kakek, Pakde Rian, Bude Erna, dan ayahnya beranjak menuju ruang makan, Airin masih enggan beranjak di tempatnya. Faisal yang menyadari kejanggalan dari sikap adik sepupunya itu pun meminta Kintan untuk meninggalkan ruang tengah duluan. Kemudian, lelaki yang mengenakan kaus hitam dan celana jins biru itu pun menghampiri Airin.

"Enggak mau peluk kakak sepupu lo yang akhirnya pulang setelah dua tahun ini?" tanya Faisal berhenti di hadapan Airin.

Airin mendengus pelan kemudian beranjak memeluk kakak sepupunya itu, "Gue enggak tau harus senang atau sedih lo pulang."

Faisal yang ikut membalas pelukan Airin pun mengernyitkan dahinya, "Bilang aja kalo lo kangen sama gue."

"Dih, percaya diri banget, ya, Bapak Faisal ini." Airin mencubit perut sepupunya itu kemudian menyadari sesuatu, "Eh, tunggu. Kok, keras? Lo rajin work out, ya, di sana?"

Faisal mencoba menjauhkan tangan Airin dari perutnya, "Apaan, sih, lo, Rin."

Airin melipat kedua tangannya di depan dada, "Lo lagi rencanain sesuatu, ya?"

"Lebih baik sekarang kita nyusul ke ruang makan. Lo bakal tau nanti." Faisal pun bergerak meraih kedua pundak sepupunya dari belakang dan membawanya ke ruang makan.

Selama makan malam berlangsung, Airin sama sekali tidak tertarik untuk sekadar bergabung ke dalam obrolan yang didominasi topik tentang bisnis. Ia hanya tidak ingin membunuh suasana. Dan semua orang di meja makan sepertinya memahami situasi dengan baik sehingga tak memaksanya untuk berbicara. Duduk di samping sang ayah, Airin ingin makan malam ini segera berakhir.

"Oh, iya. Jadi kelupaan. Kami ke sini juga mau kasih tau ke Papa kalo hari Sabtu nanti, Faisal akan melamar Arum." jelas Bude Erna.

Mendengar kalimat Bude Erna, Airin langsung menatap tajam Faisal. Hari Sabtu kurang dari seminggu lagi. Rasanya sangat tidak mungkin jika Faisal mampu menyiapkan semuanya dalam kurun waktu yang begitu cepat ini. Ditambah, perempuan yang akan dilamar sepupunya itu adalah Arum. Airin menatap Faisal curiga karena lelaki itu jelas tidak pernah menceritakan hubungannya dengan Arum. Dari gerak lelaki itu, Airin menangkap jelas jika Faisal memang sengaja menutupi hal yang satu ini darinya.

"Kok, lo enggak cerita apa-apa ke gue?" tanya Airin pada Faisal yang duduk di seberangnya.

"Gue kira, lo udah tau kalo gue sama Arum balikan. Lagian semuanya baru jelas satu bulan belakangan ini. Masa gue cerita-cerita sama hal yang belum pasti?" jelas Faisal santai.

Airin membalas Faisal dengan tatapan sinis.

"Udah-udah. Eyang nanti datang ke acara lamaran kamu, Faisal. Masih ada satu hal lagi yang perlu dibahas juga." Yusuf kini angkat bicara, "Ini soal kamu Airin."

Mendengar nada bicara sang kakek yang cukup serius, Airin langsung memasang telinga memerhatikan sang kakek.

"Kurang dari dua minggu lagi, Faisal akan kembali ke Reverie. Eyang serahkan semuanya ke kamu, mau lanjut kerja di Reverie atau kembali bekerja di bidang yang kamu sukai." jelas Yusuf.

Airin terdiam sejenak sebelum akhirnya buka suara, "Airin mau berhenti dari Reverie."

"Lalu, apa rencana kamu setelahnya?" kini sang ayah yang bertanya.

"Airin mau jadi pekerja freelance. Selama ini, Airin juga ngerjain beberapa proyek di luar pekerjaan di Reverie. Airin lebih suka pekerjaan seperti itu. Jadi, Eyang enggak perlu khawatir." jelas Airin.

Selepas makan malam, Airin tidak langsung pulang ke rumah. Perempuan itu memilih bersantai di teras belakang dengan teh hangat yang baru saja dirinya seduh. Ditaruhnya cangkir teh miliknya di atas meja di hadapannya. Tak lama kemudian, seseorang bergabung duduk di sampingnya, Faisal. Lelaki itu terdiam cukup lama dengan mata tertuju pada kolam renang di hadapan mereka.

"Congrats, Sal. I'm happy for you and Arum." ucap Airin yang kemudian meraih cangkir tehnya dan menyeruputnya.

Faisal akhirnya menoleh pada Airin, "Thanks."

Kemudian, keduanya kembali diselimuti keheningan. Mereka sibuk dengan pikirannya masing-masing. Airin dengan karir dan urusan percintaannya yang semakin tidak jelas. Faisal dengan rutinitas yang akan ia jalani kembali.

"What's your plan, Rin?" tanya Faisal.

Airin menatap Faisal di sampingnya bingung, "Maksudnya?"

"Your life plans?" tanya Faisal lebih spesifik.

"Kalo gue bilang, gue pengen balik ke Korea gimana, Sal?" tanya Airin tiba-tiba.

"Are you serious?" tanya Faisal.

Airin mengangguk, "Kalo gue masih dikasih kesempatan buat kerja di sana, why not? Karir gue lebih terjamin di sana. Dan satu lagi, enggak ada lagi yang bakal menahan kepergian gue."

"Cuma dalam waktu dua tahun, ternyata banyak yang terjadi, ya, Rin." Faisal menumpukan kedua sikunya di atas kedua lututnya.

Airin mengangguk setuju, "Ada hal baik, ada juga yang buruk. Gue harus berterima kasih sama lo, Sal. Kalo lo enggak bikin gue pulang ke Indonesia, kayaknya gue enggak akan bisa berdamai sama orang tua gue."

"And how about your love life? Lo udah 30, Rin." tanya Faisal lagi.

Airin terkekeh pelan, "What is so wrong kalo gue belum nikah di usia 30? Lo berharap gue punya kisah happily ever after kayak lo dan Arum? Sayangnya, itu enggak bakal terjadi, Sal."

"Sorry." Faisal menggulum bibirnya yang berbicara seenaknya kemudian bertanya pada Airin dengan lebih hati-hati, "You regret meeting it?"

"No. Kenapa gue harus menyesal ketemu Adi ketika dia adalah orang yang bantu gue buat berdamai sama orang-orang di masa lalu gue, Sal?" tanya Airin sembari menyilangkan kakinya, "Bagian terburuknya adalah ketika kami udah sama-sama enggak bisa bertahan."

I make sure this story will end this year. There is only a few chapters left.

Enjoy!

Love, Sha.

Into Your SoulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang