36

2.5K 271 0
                                    

Tak ingin membuat sang kakek khawatir dengan kondisinya, Airin memilih menghabiskan akhir pekannya di apartemennya. Ia memberitahu sang kakek jika dirinya tidak bisa pulang ke rumah karena sudah memiliki acara di akhir pekan. Airin tidak sepenuhnya membohongi sang kakek karena nyatanya Airin memang menghabiskan akhir pekan bersama Adi, Dita, dan Tante Dania yang datang menjenguknya. Dita yang mengetahui jika sesuatu terjadi pada Airin jelas mendesak Adi untuk menjelaskan kronologis mengapa sang kakak meneleponnya untuk meminta password apartemen Airin. Airin bernapas lega karena Adi tak menceritakan yang sebenarnya pada Dita dan Tante Dania. Lelaki itu hanya menjelaskan bahwa dirinya terlibat kecelakaan kecil di dapur yang mengakibatkan kedua kakinya terluka.

Namun sepertinya, cara Airin untuk membuat sang kakek tidak khawatir gagal karena sang kakek baru saja menghubunginya menayakan alasan mengapa dirinya tidak datang ke Reverie hari ini. Tentu Yusuf Gunadi akan mendapatkan informasi dengan mudah dari para pegawai Reverie jika cucunya tidak datang. Airin menjelaskan pada sang kakek bahwa dirinya sedang tidak enak badan dan membutuhkan istirahat sampai beberapa hari ke depan. Ia juga berkata supaya kakeknya tidak perlu terlalu mengkhawatirkannya. Mengakhiri panggilan dengan nasihat dari sang kakek supaya dirinya lebih menjaga kesehatan, Airin pun melanjutkan kegiatan memeriksa kotak masuk e-mail-nya.

Mendengar suara jika seseorang sedang mengetikan password pintu apartemennya, Airin menegakkan punggungnya dari sandaran sofa. Ia belum sempat mengganti password apartemennya dan pemikiran bahwa Heru kembali mendatangi apartemennya pun tidak bisa ia hindari. Airin menajamkan pendengarannya ketika mendengar suara pintu terbuka dan suara langkah kaki yang semakin mendekat. Menaruh tablet di genggamannya ke atas meja, kedua bola matanya beralih tertuju pada ujung hallway. Dengan kondisi kaki seperti ini, Airin tentu tidak bisa mudah beranjak dari duduknya. Entah Airin harus bernapas lega atau malah merasa enggan ketika menemukan seseorang yang masuk ke dalam apartemennya adalah sang ibu.

Dengan tas bermerek dan paper bag di tangan kanannya, Wati menatap Airin kaku karena yang dirinya tahu, putrinya tidak datang ke Reverie karena tidak enak badan. Tentu melihat kondisi Airin yang terduduk di atas sofa dengan kedua kaki dibalut perban membuat perasaannya tidak karuan. Perasaan semacam ini sudah lama sekali tidak ia rasakan. Wati bahkan tak ingat kapan terakhir kali dirinya melihat Airin terluka seperti ini karena yang selama ini dirinya tahu, putrinya menjalani hidup dengan baik tanpa dirinya dan mantan suaminya. Walaupun kenyataanya tidak begitu. Melangkah pelan memasuki apartemen Airin semakin dalam, Wati kemudian bergabung di samping putrinya dan menaruh tas dan paper bag-nya di atas meja.

"Mama ngapain ke sini?" tanya Airin mencoba menahan perasaan yang bergejolak di hatinya setelah mendapatkan tatapan iba sang ibu.

Airin bahkan tak menerima satu pun pesan sejak malam di mana dirinya menceritakan yang sebenarnya kepada kedua orang tuanya. Kedatangan sang ibu yang tiba-tiba seperti ini tentu bukan hal yang ia harapkan.

Wati yang masih dilanda keterkejutan tak menjawab pertanyaan Airin, melainkan mencoba meraih lengan putrinya, "Kaki kamu kenapa?"

Airin menghindari sang ibu dan mengalihkan pandangannya dari sang ibu, "Kalo Airin bilang karena Heru, apa Mama bakal percaya sama Airin? Oh, Airin lupa kalo Mama bahkan enggak pernah peduli sama apa yang selama ini Airin lewatin sendirian."

"Airin..." lirih Wati.

Airin menoleh menatap sang ibu, "Kenapa? Airin bener, kan, Ma? Apa Mama peduli gimana perasaan Airin waktu Mama sama Papa pisah? Apa Mama peduli apa yang setelah itu Airin alami? Apa Mama peduli sama alasan di balik keputusan yang Airin ambil? Enggak, Mama enggak pernah peduli karena Mama lebih mentingin ego Mama."

Meruntuhkan egonya, hati Wati tergerak untuk langsung menarik Airin ke dalam pelukannya. Airin membuatnya sadar bahwa dirinya memang tidak pernah ada di samping putrinya. Bahkan ketika Airin kecil, ia melewatkan masa-masa emas putrinya hanya karena pekerjaan. Mendengar fakta langsung dari bibir Airin bahwa putrinya itu hampir saja celaka oleh seseorang yang dirinya yakini pantas berada di samping putrinya itu, Wati menyadari bahwa putrinya sangatlah berharga. Wati memeluk putrinya erat, dirinya benar-benar menyesali karena memilih untuk menutup mata dan telinganya mengenai putrinya.

"Rasanya, Airin udah lama banget kehilangan sosok orang tua di hidup Airin walaupun sebenarnya orang tua Airin masih lengkap. Selama ini Airin sendirian, Ma. Mama sama Papa enggak pernah ada di sana, di hari-hari spesial Airin. Airin butuh Mama sama Papa, tapi kenapa Airin enggak pernah dapetin itu? Apa karena Airin enggak pernah nunjukin semua itu, Mama jadi ngira kalo selama ini Airin baik-baik aja, Ma?" air mata Airin luruh setelahnya. Airin memilih untuk jujur pada dirinya sendiri dan sang ibu kali.

"Maafin Mama, Airin. Maafin Mama." lirih Wati di telinga Airin sembari mengusap punggung putrinya itu. Air matanya pun ikut luruh di detik berikutnya.

Bukan hanya sang ibu yang bersikap tak peduli, namun Airin juga melakukan hal yang sama. Ia hanya tidak ingin merasakan sakit yang sama seperti apa yang ia rasakan ketika kedua orang tuanya berpisah. Airin jelas sangat menyayangi kedua orang tuanya, namun sejak kedua orang tuanya tetap memilih berpisah walaupun dirinya sudah memohon, Airin jelas tidak lagi berpikiran demikian. Ia menganggap bahwa kedua orang tuanya sudah tak lagi menyayanginya. Bahkan ketika mengingat alasan kedua orang tuanya berpisah adalah karena sang ibu tak mau menurut dengan sang ayah yang meminta sang ibu untuk berhenti dari pekerjaannya supaya bisa lebih mengawasi dirinya, Airin merasa jika sebenarnya dirinya memang tidak diinginkan untuk ada di antara kedua orang tuanya.

"Airin sayang sama Mama. Maaf kalo selama ini Airin bersikap kasar. Airin enggak bermaksud melukai Mama." ucap Airin di tengah isaknya.

Mendengar kejujuran Airin, Wati sadar bahwa selama ini ternyata Airin masih membutuhkannya. Sebagai orang tua, dirinyalah yang seharusnya membuka pintu. Airin tak pernah kembali padanya karena dirinya juga tak membukakan pintu untuk putrinya itu sejak awal. Airin tentu tak akan pernah menjadikannya tempat untuk pulang karena ia juga tak pernah memberikan usahanya untuk menjaga sang putri. Bagaimana pun, sikap Airin padanya adalah balasan dari sikapnya yang memilih enggan untuk memberikan hatinya pada sang putri. Jika Wati terus berada di samping Airin yang tumbuh semakin dewasa, mungkin Airin tidak akan terasa sejauh ini. Mengingat Airin yang bahkan sungkan bercerita padanya, Wati teringat bahwa putrinya juga tak mengenal dirinya dengan baik karena memilih untuk menutup diri.

"Mama juga sayang sama Airin. Mama memang egois. Maaf kalo Mama enggak bisa jadi tempat Airin pulang selama ini." Wati meregangkan pelukannya dari Airin kemudian menghapus jejak air mata di pipi putrinya itu, "Airin mau kasih kesempatan buat Mama untuk memperbaikinya? Mama enggak bisa janji untuk selalu ada, tapi Mama akan coba."

Airin mengangguk menatap wajah ibunya, air matanya kembali luruh, "Bantu Airin buat paham sama apa yang Mama mau juga."

Wati mengangguk kemudian menarik Airin ke dalam pelukannya lagi. Rasanya, hari ini begitu melegakan.

Enjoy!

Love, Sha.

Into Your SoulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang