Jam di sudut layar laptop menunjukkan bahwa jam istirahat makan siang sebentar lagi. Airin yang baru saja menyelesaikan pekerjannya, langsung menjauhkan wajahnya dari layar laptop di hadapannya. Senyum di wajahnya mengembang, ternyata ia bisa menyelesaikan pekerjaannya yang menumpuk itu tepat sebelum jam makan siang. Sama seperti hari-hari sebelumnya, siang ini, Airin kembali memiliki janji makan siang dengan Adi. Pada awalnya, Adi memang hanya menjemput dan mengantar pulang Airin selama perempuan itu dalam masa pemulihan, namun sepertinya kebiasaan itu akan terus berlanjut.
Menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi, Airin pun melepas kacamata bacanya dan menaruhnya di atas meja. Airin yang sedang memutar kursinya sembari memerhatikan sekelilingnya terkejut ketika ponsel miliknya yang tergeletak di atas meja tiba-tiba berdering. Ternyata bukan nama Adi yang muncul di layar ponselnya, melainkan sang ayah. Sudah satu bulan sejak terakhir dirinya bertemu dengan sang ayah di hari di mana dirinya mengakhiri perjodohannya dengan Heru. Airin menatap ragu jarinya yang ternyata bergerak tak mengikuti hatinya.
"Halo?" ucap Airin yang akhirnya mengangkat panggilan telepon dari sang ayah.
"Makan siang bareng Papa, ya? Papa udah di lobi." jelas Rifqi tanpa berbasa-basi.
Airin yang mendengar kalimat yang baru saja dilontarkan oleh ayahnya itu hendak membalas, namun sang ayah sudah lebih dulu memutus sambungan telepon. Ia terdiam beberapa saat sampai dirinya menyadari bahwa Adi bisa saja sudah dalam perjalanan menuju Reverie. Membuka aplikasi kirim pesan di ponselnya, sepertinya Airin sudah terlambat karena ia menemukan pesan singkat dari Adi yang berisi bahwa lelaki itu memang sudah ada dalam perjalanan menuju Reverie.
Membuat sang ayah dan Adi berada dalam satu meja jelas bukan pilihan yang tepat untuk saat ini. Sepertinya, meminta Adi untuk makan siang tanpa dirinya akan jauh lebih baik daripada hubungannya dengan sang ayah yang ingin ia perbaiki menjadi semakin memburuk. Adi juga sepertinya akan mengerti. Meyakinkan diri, Airin pun meraih tasnya dan langsung meninggalkan ruangannya menuju lobi Reverie. Benar saja, Airin bisa langsung menemukan mobil sang ayah dan mobil Adi ketika dirinya keluar dari pintu utama Reverie. Airin memilih untuk menghampiri mobil sang ayah terlebih dahulu. Ia menunduk dan mengetuk kaca pintu mobil supaya ayahnya segera menurunkan kaca pintu mobil.
"Kenapa, Sayang?" tanya Rifqi setelah kaca pintu mobil diturunkan.
"Papa enggak apa-apa, kan, nunggu sebentar? Airin ada perlu. Enggak lama, kok." jelas Airin gugup.
Rifqi mengangguk, "It's okay. Take your time."
Dengan begitu, Airin langsung menghampiri SUV yang berhenti tepat di belakang mobil ayahnya. Adi yang sudah keluar dari mobilnya pun menghampiri Airin dengan wajah khawatir. Lelaki itu mengenakan kemeja biru muda polos yang lengannya sudah digulung hingga siku dan slim fit pants berwarna hitam.
"Siapa, Rin?" tanya Adi.
"Papa." balas Airin yang diam beberapa saat sebelum melanjutkan kalimatnya, "Di, saya minta maaf karna enggak bilang sama kamu dulu. Papa ngajakin makan siang bareng tiba-tiba. Kamu mau ikut makan siang bareng kami atau-"
Adi memotong kalimat Airin sembari menggeleng dengan senyum, "Airin, ini, kan, yang kamu tunggu? Ngobrol sama Papa kamu? I'm okay, you can have lunch with him."
Sedikit banyak, Airin memang sudah menceritakan bahwa hubungan dirinya dengan kedua orang tuanya juga tidak terlalu baik, terutama dengan sang ayah, pada Adi. Obrolan kecil saat Adi mengjemputnya pagi hari di apartemen, saat keduanya makan siang bersama, atau saat Adi mengantarnya pulang di sore hari ke apartemen, tentu membuat Airin maupun Adi bertukar cerita tentang kehidupan masing-masing. Adi yang menemukan bahwa Airin memiliki cerita hidup yang berat pun akhirnya merasa bahwa dirinya nyaman bertukar cerita dengan perempuan itu. Jelas, Airin bukanlah perempuan seperti apa yang pernah Adi pikirkan.
Airin tersenyum lebar, "Thank you so much."
"Saya tetep jemput kamu nanti sore?" tanya Adi.
Airin mengangguk.
"Then, go ahead." Adi menggerakkan matanya pada mobil di sampingnya.
"See you!" balas Airin sebelum meninggalkan Adi.
Airin membuka pintu mobil milik ayahnya dan duduk di samping lelaki itu. Mendapati Adi yang baru kembali masuk ke dalam mobil setelah dirinya benar-benar masuk ke dalam mobil sang ayah, Airin kembali tersenyum. Ia tidak bisa menutupi perasaan senangnya atas sikap manis Adi. Sementara Rifqi yang engikuti arah pandang putrinya yang menatap mobil SUV yang melewati mobilnya, merasa tidak suka. Belum juga melajukan mobilnya, Rifqi menatap putrinya yang sedang memasang sabuk pengaman di sampingnya itu.
"Kenapa, Pa?" tanya Airin begitu menyadari tatapan sang ayah.
"Cowok tadi itu siapa?" tanya Rifqi dingin.
Airin menyadari bahwa sikap sang ayah berubah, "Adi."
"Naradika Tedja maksud kamu? Kamu dekat sama dia?" tanya Rifqi lagi.
Airin mengangguk ragu, "Airin juga deket sama keluarganya."
Tak membalas kalimat putrinya, Rifqi langsung melajukan mobilnya meninggalkan Reverie.
Airin yang menyadari perubahan sikap sang ayah yang sangat tiba-tiba itu pun jelas tahu bahwa itu bukanlah pertanda yang baik. Lelaki paruh baya yang sedang fokus menyetir di sampingnya itu hanya diam sepanjang perjalanan mereka menuju sebuah restoran. Airin yang memang sejak kecil tak pernah dekat dengan sang ayah pun tidak tahu harus memulai topik dari mana. Selama ini, sang ayah hanya mengirimkan uang bulanan ke rekeningnya, tanpa menanyai kabar. Begitu pun sebaliknya, Airin juga tidak pernah mengirim pesan singkat apapun pada ayahnya sejak hari perceraian kedua orang tuanya.
Sampai di sebuah restoran bergaya Eropa yang tidak jauh dari Reverie, Airin hanya mengikuti sang ayah memasuki restoran dalam diam. Menyebutkan pesanan masing-masing pada seorang pelayan, keduanya kembali diselimuti keheningan. Airin merasa sedikit canggung berada di satu meja yang sama dengan sang ayah.
"Maaf, Papa baru bisa ketemu kamu sekarang." Rifqi akhirnya membuka obrolan dengan putrinya.
Airin tersenyum kecil, "Enggak apa-apa, Pa. Papa juga baru pulang dari Singapura, kan?"
"Kamu tau dari mana?" tanya Rifqi yang terkejut karena ternyata putrinya masih peduli dengannya setelah apa yang ia lakukan selama ini.
"Airin kira, Papa sama Mama cuma pura-pura. Ternyata, Papa sama Mama emang udah berdamai sejak lama. Cuma Airin aja yang masih diam di sana. Maaf karena selama ini Airin menarik diri dari Papa sama Mama." Airin merasa lebih ringan karena satu beban di hatinya hilang.
"Airin, harusnya Papa yang minta maaf karena enggak bisa jaga kamu." balas Rifqi yang kemudian menunduk.
"Pa, Airin udah berdamai sama Mama. Sekarang, Airin juga mau kasih Papa kesempatan." lanjut Airin dengan senyum di wajahnya.
Airin hanya tidak tahu jika memberi ayahnya kesempatan satu kali lagi adalah hal yang akan ia sesali nantinya.
Enjoy!
Love, Sha.
KAMU SEDANG MEMBACA
Into Your Soul
ChickLitGunadi Series #2 [COMPLETED] Selama ini, yang Airin lakukan hanyalah menghindar. Kepulangan yang diawali dengan keterpaksaan itu membuat Airin harus menghadapi kembali luka lamanya. Sikap arogan yang ia bangun sebagai pertahanan diri nyatanya tidak...