Sejak masuk ke dalam mobil, Airin tak bisa menutupi kegelisahannya. Kebiasaannya menggaruk kulit di sekitar kuku jari tangannya pun tertangkap mata Adi yang sedang menyetir mobil di sampingnya. Airin ingat betul wajah bahagia Tante Dania dan ibunya saat dirinya memberitahu mengenai Adi yang sudah melamarnya melalui panggilan video beberapa waktu lalu. Mengingat sang ayah yang juga belum mengetahui kabar tersebut, Airin semakin cemas mengenai ayahnya yang mungkin saja akan benar-benar menolak Adi di depan matanya.
"Kan, saya yang mau menghadap ayah kamu, kenapa malah kamu yang keliatan nervous?" tanya Adi yang masih fokus dengan jalanan ibu kota di depannya. Kini, keduanya sedang dalam perjalanan menuju restoran di mana mereka akan bertemu dengan kedua orang tua Airin.
Airin menengok menatap Adi, "Kamu sendiri? Kok bisa tenang-tenang aja kayak gini?"
Adi tak menjawab. Lelaki yang masih lengkap dengan setelan kerjanya itu kini sibuk memarkirkan mobilnya di halaman parkir restoran. Untuk menjawab pertanyaan Airin, tentu Adi merasa tidak tenang karena mungkin saja upayanya kali ini kembali ditolak mentah-mentah oleh Rifqi. Namun rasanya, dengan Airin berada di sampingnya, sesuatu dalam dirinya mengatakan bahwa kali ini ia akan berhasil.
"Di?" Airin menatap Adi yang kini sudah melepas sabuk pengamannya dan hendak beranjak turun dari mobil.
"Apa lagi, Sayang?" tanya Adi menatap Airin teduh.
Walaupun panggilan 'sayang' sudah beberapa kali dirinya dengar dari mulut Adi, kali ini Airin masih tetap tidak bisa menutupi rona merah di pipinya. Bahkan kini Airin tertunduk menatap kedua tangannya yang saling bertautan karena merasa malu dengan panggilan Adi.
"Airin, liat saya." Adi meraih kedua tangan Airin dengan kedua tangannya.
Airin pun perlahan mengangkat wajahnya dan langsung bertemu dengan tatapan teduh Adi. Lelaki itu benar-benar tampak tenang seperti air.
Adi mengusap kedua punggung tangan Airin dengan kedua ibu jarinya, "Papa kamu bukan orang yang semenyeramkan itu, Airin. Kamu pasti tau. Mungkin, waktu itu Papa kamu nolak saya karena saya emang belum pantas buat kamu. Saya bahkan enggak bisa jawab mengenai rencana hubungan kita ke depannya gimana waktu Papa kamu tanya, tapi sekarang, kan, udah beda kondisinya."
Dengan kalimat-kalimat Adi tersebut, Airin merasa jauh lebih tenang. Adi memang kini sudah lebih terbuka dan berbicara panjang lebar pada Airin. Adi yang bersikap dingin padanya di saat kali pertama bertemu sudah tidak lagi ia temui. Adi yang tumbuh dewasa dengan kasih sayang dan rasa sayang pun tercerminkan ketika lelaki itu bersikap pada dirinya. Airin tersenyum. Bagaimana bisa dirinya tidak semakin jatuh hati pada Adi? Perempuan yang kini mengenakan dress merah bata selutut itu semakin yakin jika dirinya akan dicintai sepenuhnya oleh Adi.
"Papa sama Mama kamu pasti udah nunggu. Kita ke dalem sekarang, yuk." ucap Adi sebelum keduanya beranjak keluar dari mobil.
Memasuki restoran, Airin tak juga melepaskan Adi dari genggamannya. Genggamannya pun semakin mengerat di lengan Adi ketika matanya menangkap sosok kedua orang tuanya di salah satu meja di tengah ruangan. Tiba juga waktunya. Rasanya, baru kemarin Airin meminta waktu kedua orang tuanya untuk makan malam bersama. Awalnya, Airin hanya akan mengirim pesan singkat atau panggilan telepon untuk mengundang sang ayah. Namun karena Adi terus memintanya untuk memulai berbaikan dengan ayahnya, akhirnya Airin mengunjungi kantor sang ayah begitu sampai di Indonesia dua minggu yang lalu. Meski masih merasa canggung dengan sang ayah, Airin mencoba mematahkan egonya untuk memulai percakapan dengan sang ayah yang sudah ia diamkan beberapa bulan terakhir ini.
Sampai di meja di mana kedua orang tuanya berada, Airin menunggu reaksi sang ayah yang kini sedang menatap rangkulannya di lengan Adi. Perasaan cemas itu masih ada ketika dirinya mendapati sang ayah yang menatap Adi dari ujung kepala hingga ujung kaki. Airin bernapas lega ketika sang ibu mencairkan suasana dengan mempersilahkan dirinya dan Adi untuk segera duduk.
"Kita makan malam dulu, ya? Mama udah pesenin buat kalian juga. Enggak masalah, kan?" tanya Wati menatap Airin dan Adi bergantian.
Airin mengangguk.
"Iya, Tante." tambah Adi.
Sejak Airin mengunjunginya ke kantor dua minggu lalu, Rifqi sudah menyadari jika sebuah cincin melingkar di jari manis tangan putrinya. Perasaan khawatir itu kembali datang dan kedatangan Airin bersama lelaki bernama Adi itu tak juga meredakan perasaan khawatirnya. Sebagai seorang ayah yang tak dekat dengan putrinya sendiri, Rifqi merasa kehadirannya tergantikan oleh Adi.
Selain karena menganggap Adi bukan lelaki yang pantas untuk mendampingi putrinya, alasan lain Rifqi mempertanyakan kelanjutan hubungan Adi dengan putrinya itu karena dirinya merasa tersaingi. Saat itu, hubungannya dengan sang putri baru saja membaik dan seorang lelaki hendak mengambil ha katas putrinya. Perasaan takut yang dimiliki Rifqi memang selalu berujung tak baik karena keegoisannya. Ingatan mengenai wajah kecewa Airin ketika mengetahui bahwa dirinya adalah penyebab Adi memilih mundur, memukulnya telak.
Melihat putrinya tersenyum di samping Adi selama makan malam berlangsung, Rifqi merasa jika Airin memang sedang bahagia. Selalu menginginkan yang terbaik untuk Airin, Rifqi melupakan satu hal, kebahagiaan Airin. Senyum di wajah Airin malam ini tidak pernah Rifqi temukan di wajah putrinya setelah hari perceraiannya dengan Wati. Airin tumbuh sebagai perempuan cuek dan dingin karenanya, namun Adi berhasil membuat putrinya kembali tersenyum. Dari Adi, Rifqi menyadari bahwa untuk membahagiakan seseorang, tak selalu soal materi.
"Ternyata, kamu masih mau ketemu sama saya." ujar Rifqi ketika piring-piring kotor sudah diangkat dari meja. Kedua matanya menatap tajam Adi yang duduk berhadapan dengannya.
Adi tersenyum sebelum kedua bola matanya berubah menjadi serius.
"Jadi, ada apa sampai Adi ikut makan malam dengan kita?" tanya Rifqi menatap Airin dan mantan istrinya bergantian.
"Pa-" Airin hendak menjawab karena tak ingin melihat Adi kembali diperlakukan seperti tersangka di meja ini, namun tangan Adi yang bergerak menggenggam tangan kanannya membuat dirinya menghentikan kalimatnya.
"Saya sudah melamar Airin dan Airin menerimanya." Adi langsung membuat seisi meja dilanda keheningan.
Airin menatap ayahnya dengan perasaan campur aduk. Tidak ada raut wajah yang kentara di wajah sang ayah. Hanya ada tatapan datar yang ayahnya layangkan pada Adi.
"Maaf karena saya belum meminta restu Om sebelumnya karena saya pikir akan lebih sopan jika saya bertemu langsung sama Om. Saya mau meminta restu Om dan Tante dengan cara yang benar. Maka dari itu, malam ini saya mau meminta restu Om dan Tante untuk menikahi Airin." lanjut Adi yang sebenarnya merasa terintimidasi oleh tatapan ayah Airin, "Saya emang enggak hidup berlebih, Om, tapi saya-"
"Om kasih restu." Rifqi langsung membuat seisi meja yang sudah hening menjadi semakin terasa hening.
"Pa- Papa serius?" tanya Airin masih tidak bisa percaya dengan kalimat yang baru saja ayahnya ucapkan itu.
Rifqi menangguk kemudian beralih menatap Adi dengan senyum, "Selama ini Om enggak pernah kasih Airin pilihan untuk bahagia dengan dirinya sendiri, tapi kamu bisa. Jaga anak Om baik-baik, ya."
Adi mengangguk, "Ma-"
Airin yang kini sudah berpindah tempat memeluk sang ayah, tak sengaja memotong ucapan Adi, "Makasih, Pa."
Last day in 2020. I can say that I've been through so much this year, mostly hard times. But I'm doing fine now and I'm feeling great. Hope we'll be better for next year!
Enjoy!
Love, Sha.
KAMU SEDANG MEMBACA
Into Your Soul
Chick-LitGunadi Series #2 [COMPLETED] Selama ini, yang Airin lakukan hanyalah menghindar. Kepulangan yang diawali dengan keterpaksaan itu membuat Airin harus menghadapi kembali luka lamanya. Sikap arogan yang ia bangun sebagai pertahanan diri nyatanya tidak...