Sesuai dengan janjinya dengan Jeanny kemarin, hari ini Airin menyempatkan diri untuk datang ke lokasi pemotretan satu-satunya teman perempuannya itu. Pras sudah mengiriminya pesan bahwa ia akan sampai di Reverie kurang dari sepuluh menit lagi. Dengan begitu, Airin langsung meninggalkan ruang kerjanya menuju lobi Reverie di mana Pras akan menjemputnya. Petugas security yang sedang berjaga di pintu masuk Reverie pun menyapanya. Melihat sosok Pras di balik kaca mobil yang sedang memasuki area lobi Reverie, Airin memasukkan ponselnya kembali ke dalam shoulder bag hitamnya.
"Padahal lo enggak usah repot-repot jemput gue. Lokasi pemotretan Jeanny enggak sampe lima menit dari Reverie." ucap Airin begitu masuk ke dalam mobil dengan emblem berbentuk lingkaran yang memiliki warna khas hitam, biru, dan putih itu.
Pras memutar kemudinya keluar dari Reverie, "Kayak ke siapa aja, sih, lo. Lagian sekalian searah juga."
Ponsel milik Pras yang tergeletak di atas dashboard bergetar, menandakan sebuah panggilan masuk. Karena sedang menyetir, Pras meminta tolong pada Airin untuk mengangkat panggilan tersebut. Airin meraih ponsel berwarna hitam itu dari dashboard dan menemukan nama Jeanny di sana. Pras meminta Airin menyalakan mode loud speaker supaya ia juga bisa mendengar percakapan mereka.
"Halo, Pras." suara Jeanny terdengar dari ponsel Pras yang kini berada di tangan Airin.
"Ya. Kenapa, Je?" tanya Pras.
"Kamu udah jalan ke sini?" tanya Jeanny dari seberang sana.
Mata Pras masih fokus ke jalanan, "Udah. Airin juga udah sama aku."
"Aduh, gimana, ya. Kayaknya aku enggak bisa ikut makan siang sama kalian. Jadwal pemotretan aku mundur dua jam dari yang seharusnya. Kalian kalo mau makan siang duluan juga enggak apa-apa. Next time kita reschedule aja, ya." jelas Jeanny.
"Gimana, Rin?" tanya Pras pada Airin.
"Enggak masalah." jawab Airin kemudian beralih pada ponsel Pras, "Good luck buat photoshoot-nya, Je."
"Jangan lupa makan siang, Sayang." Pras menambahkan.
"Thank you. Gue tutup dulu, ya, teleponnya. Gue harus balik ke set. Have a nice lunch!" balas Jeanny yang kemudian memutus sambungan telepon.
Pras bertanya pada Airin yang sedang mengembalikan ponsel miliknya ke atas dashboard, "Jadi kita mau kemana?" tanyanya.
"Allure?" tanya Airin menyebut salah satu restoran favorit mereka di ibu kota.
"Ah, betul. Udah lama kita enggak ke sana." Pras yang menyetujui saran Airin pun langsung membawa mobilnya beralih ke jalan utama.
Menempuh perjalanan kurang dari lima belas menit, mereka pun sampai di bagunan bergaya modern yang didominasi kaca itu. Pras memarkirkan mobilnya di lahan parkir yang masih kosong. Stiletto boots berwarna hitam yang Airin pakai hari ini pun langsung menyentuh lantai beton parkiran ketika ia keluar dari mobil Pras. Memasuki restoran berbintang itu, Airin langsung menjadi pusat perhatian dengan penampilannya yang tidak biasa itu. Sweater turtleneck berwarna ungu yang dibalut dengan blazer hitam bermotif kotak-kotak dan rok hitam selutut yang dikenakannya itu memang tampak berlebihan.
Disambut oleh seorang pelayan wanita, Airin dan Pras kemudian diantar ke sebuah meja di salah satu sudut ruangan. Sepertinya Pras harus lebih terbiasa dengan penampilan Airin yang mengundang perhatian ini ke depannya. Duduk saling berhadapan, Airin dan Pras langsung menyebutkan menu favorit mereka masing-masing. Saking seringnya datang ke Allure, Airin tak perlu menyebutkan pesanannya karena Pras sudah lebih dulu melakukannya.
"Faisal masih ikut dateng ke Reverie?" tanya Pras ketika pelayan yang mencatat pesanan mereka berlalu.
Airin mengangguk, "Hari ini hari terakhir kayaknya. Oh, iya. Lo punya kontak Aldy enggak? Gue minta, dong."
Dahi Pras berkerut, "Buat apa? Setau gue, lo enggak tertarik sama Aldy tapi sama sepupunya."
"Kalo lo sekalian mau kasih kontak Adi, gue juga enggak nolak." balas Airin.
Pras meraih ponsel dari sakunya kemudian mengirimkan kontak Aldy ke ruang obrolannya dengan Airin, "Kontak Aldy gue kasih. Kalo Adi, lo bisa tanya langsung ke dia. Setiap weekend dia mampir ke Huis."
Airin tersenyum. Rupanya Pras sudah mengira bahwa dirinya akan datang setiap akhir pekan ke Huis. Kebetulan sekali, bukan, jika ternyata Adi juga ternyata mengunjungi Huis setiap akhir pekan. Usahanya mendekati Adi tentu akan lebih mudah jika kesempatannya bertemu dengan lelaki dingin itu semakin banyak. Namun ternyata semua itu tidak semudah dalam bayangannya.
Akhir pekan itu, Airin datang ke Huis dan mengobrol dengan Pras di area bar sembari menunggu kedatangan Tedja bersaudara itu. Dengan kemeja putih oversized yang menutupi setengah pahanya dan korset kulit berwarna hitam yang membalut pinggangnya, Airin tentu mengundang perhatian banyak pengunjung Huis malam itu. Rambutnya dibiarkan terurai di pundaknya. Melihat kedatangan Adi bersama dengan Aldy di sampingnya, Airin mencoba mengambil alih perhatian Aldy. Seakan menangkap sinyal dari Airin, Aldy pun menghampiri perempuan itu bersama Adi yang mengikutinya.
"See? You look so gorgeous as always." ucap Aldy di samping Airin.
Airin hanya tersenyum, "Thanks."
"Gue sama Adi gabung di sini, ya?" Aldy menarik kursi di samping kanan Airin.
"Sure." balas Airin yang berharap bahwa Adi juga akan ikut bergabung di bar.
"Gue tunggu di kantor, ya, Al." Adi hendak meninggalkan bar namun lengannya terlanjur ditahan Airin dengan mudah.
Airin memiringkan kepalanya yang bersandar pada lengan kanannya yang bebas, "Lo bisa gabung di sini kenapa harus pergi?"
Lelaki yang mengenakan kemeja denim dengan lengan yang sudah digulung hingga siku itu menyentak tangan Airin dari pergelangan tangan kanannya, "Gue enggak ada urusan sama lo."
Aldy yang menyadari bahwa Adi merasa tidak nyaman dengan tindakan Airin pun menahan pundak Airin supaya perempuan itu membiarkan sepupunya itu pergi. Adi memang hampir tidak pernah dekat dengan perempuan manapun. Mendapati Airin yang cukup aktif untuk segera mendapatkan sepupunya itu, Aldy hanya bisa meringis. Sepertinya ia harus memberi beberapa instruksi yang mungkin bisa membantu keduanya. Walaupun Aldy tetrarik pada Airin jelas ia tidak akan memaksakan kehendak perempuan yang sudah menaruh hati pada sepupunya itu. Aldy juga ingin Adi segera membuka dirinya pada perempuan yang bisa dijadikan tempatnya berbagi. Hatinya berkata bahwa Airin mungkin adalah orang yang tepat untuk Adi.
"Slow down, Rin. Adi enggak pernah didekati secara terang-terangan sama cewek, terutama cewek kayak lo." Aldy memberi peringatan keduanya pada Airin.
Airin memutar kursinya menghadap Adi di samping kanannya kemudian tersenyum, "Interesting. But one thing you should know, gue akan pake cara gue sendiri."
Enjoy!
Love, Sha.
KAMU SEDANG MEMBACA
Into Your Soul
ChickLitGunadi Series #2 [COMPLETED] Selama ini, yang Airin lakukan hanyalah menghindar. Kepulangan yang diawali dengan keterpaksaan itu membuat Airin harus menghadapi kembali luka lamanya. Sikap arogan yang ia bangun sebagai pertahanan diri nyatanya tidak...