1. Awal

14.1K 656 167
                                    

Halo, kembali dengan cerita baru, semoga suka. Lagi banyak ngedraft cerita, tapi lebih tertarik update yg ini. Tunggu update an aku berikutnya ya.

Pernikahan karena sebuah perjodohan. Aku kira semua itu hanya ada di novel wattpad. Ternyata aku salah, karena dalam kisah ini aku mengalaminya sendiri. Pernikahan ini merupakan permintaan khusus dari ke-empat pamanku yang tidak dapat aku tolak. Rasanya duniaku runtuh saat ini juga.

Sore itu, orang tuaku datang menemuiku di kos. Mereka beramai-ramai menjemputku untuk di bawah ke rumah "calon suamiku". Kami sekeluarga diundang untuk membicarakan mengenai pernikahanku.

Aku menurut saat dipaksa berdandan cantik oleh ibuku. Sementara aku sibuk didandani oleh ibu, para paman dan ayahku menunggu di teras kos-kosan. Jika aku menolak untuk pergi, aku khawatir teman-teman kosku akan melihat drama live mengenai kebobrokan keluargaku.

Setelah selesai didandani, aku dan keluargaku berangkat menuju rumah calon suamiku. Jujur aku merasa sangat tertekan saat ini. Aku diibaratkan sebagai tawanan yang akan dijual oleh keluarganya. Berbagai ketakutan menghampiriku, terutama ketakutan tentang bagaimana rupa calon suamiku.

"Rumahnya kayak istana," komentar salah satu pamanku yang bertugas menyupiri aku, ibu dan ayah.

"Wajarlah, teman ayah sangat kaya. Kalau lagi kumpul di komunitas mobil, dia yang paling mentereng." Ibu mengangguk-ngangguk mendengar informasi dari ayah.

"Meskipun kita dari kota kecil, jangan sampai terlihat kampungan ya," peringat pamanku.

Mobil kami diparkir di halaman rumah calon suamiku. Dari kaca jendela, aku melihat paman-pamanku turun dari mobil. Mereka ada yang merapikan kerah baju, jam tangan dan beberapa di antaranya mengecek ponsel. Ibu dan ayah sudah terlebih dahulu turun dari mobil, dan bergabung dengan rombongan paman-pamanku. Berbeda denganku yang memilih menjadi patung di dalam mobil untuk waktu yang tak bisa ditentukan.

"Ayo turun," paman Ryan membuka pintu mobilku. Wajahnya mengeras bertanda akan marah sebentar lagi bila aku tetap tidak turun dari mobil.

"Iya, Raci turun," jawabku ogah-ogahan.

***

Kami disambut oleh keluarga calon suamiku dengan penuh sukacita. Kami saling bersalaman dan berkenalan. Mataku menyorot pada wajah dua pria muda yang menungguku di depan pintu. Aku menebak-nebak yang mana calon suamiku.

Pria pertama terlihat terlalu muda bagiku. Umurnya mungkin sekitar delapan belas tahun.

Fix, bukan dia calon suami gue.

Pria kedua terlihat sangat mapan. Pria kedua ini mungkin sebaya dengan paman Re. Aku menebak usianya sekitar tigapuluh tahun. Dia tampil dewasa dan rapi, senyumnya juga menawan. Pria ini tampan dengan kulitnya yang kecoklatan.

Kayaknya ini calon suami gue. Ganteng juga.

Paling tidak ada nilai positif dari perjodohan tiba-tiba ini. Calon suamiku tampan dan matang.
"Apa ini menantuku?" tanya calon ibu mertuaku.

"Iya, benar sekali," balas ibu tak kalah heboh.

"Ah, calon suaminya udah gak sabar pengen ketemu, ayo masuk, calon suami kamu ada di dalam."

Duniaku serasa ingin terbalik. Jadi, lelaki dewasa yang berada di depanku saat ini bukanlah calon suamiku? Apa jangan-jangan mereka mempunyai anak cacat yang akan dinikahkan denganku?
Harusnya tadi aku bertanya dulu pada paman-pamanku, seperti apa rupa suamiku nanti. Apakah fisiknya sempurna atau tidak.

"Mana calon mantuku juga, aku gak sabar pengen ketemu," ujar ibu.

"Seun saat ini gak bisa nyambut tamu. Teman-temannya lagi datang berkunjung, untuk semangatin dia yang bentar lagi nikah." Wanita anggun itu tersenyum lebar setelah mengucapkan kalimat tersebut.

Aku melihat sebuah kursi roda yang tergeletak di sudut ruangan. Dugaan yang aku miliki semakin menguat. Calon suamiku sepertinya tidak sempurna secara fisik.

Pikirabku cukup masuk akal. Di zaman modern, dengan kekayaan di atas rata-rata, bagaimana mungkin seorang pria tampan yang single harus dijodohkan dengan wanita muda sepertiku. Kecuali pria itu menderita kebutaan, bisu, atau lumpuh.

Sungguh malang sekali nasib wanita paruh baya yang ada di depanku ini. Selama ini, dia pasti sudah menanggung beban yang cukup berat karena membesarkan anak berkekurangan. Namun, jika dipikir kembali, nasibku lebih malang. Tanpa tedeng aling-aling, pernikahanku harus berakhir dengan seorang pria cacat kaya raya. Aku rasanya ingin kabur saat ini.

"Nah, itu calon suamimu," tunjuk calon ibu mertuaku pada seorang pria yang sedang menuruni tangga. Dia bisa berjalan dengan baik. Matanya pun terbuka lebar, sesekali bola matanya memutar malas. Wajahnya luar biasa tampan dan kulitnya cukup putih untuk ukuran pria dewasa. Berarti hanya tinggal satu kemungkinan tersisa. Lelaki ini pasti tidak dapat berbicara. Tuhan memang adil menciptakan manusia.

"Seun, kenalkan ini Kairaci, calon istrimu."

Aku pernah melihat adegan di mana orang normal memperkenalkan diri pada penderita tunarunggu. Dengan percaya dirinya aku mengangkat tanganku lalu menggerakkan di depannya. Aku menunjuk diriku sendiri tanpa suara berharap dia mengerti bahasa isyaratku.

"Ma, calon istriku tunarunggu? Seharusnya mama bilang dari awal, aku udah bilang, aku bisa cari calon istri sendiri!" bisik pria itu pada calon mertuaku.

"Eh gak, saya bukan seorang tunarunggu. Saya normal. Saya kira, kamu yang cacat."

"Hah, gila. Siapa yang cacat?" balas cowok itu kasar. "Ma, calon istriku seperti ini modelnya?" tanyanya pada calon mertuaku. Aku direndahkan seperti itu di depan seluruh anggota keluargaku, dan juga keluarganya. Aku hanya bisa terdiam menerima. Dalam hati aku berjanji untuk membalas perlakuannya nanti. 

"Sudah, kenalan dulu kalian."

"Maafin aku, udah salah paham. Aku Kairaci." Aku menyodorkan tanganku padanya.

"Seun," balasnya sambil menjabat tanganku. Tatapan matanya tajam dan sedikit sipit membuatku merinding ketakutan.

"Cucu oma nangis, cup, cup, sayang." Seorang pengasuh menyerahkan bayi yang sedang menangis pada calon ibu mertuaku. Sudah lama rasanya aku tidak pernah mendengar suara bayi menangis. Suara mereka terdengar penuh kesedihan sekaligus menggemaskan.

"Kairaci, kenalin ini baby Christian, anak Seun. Sebentar lagi baby Christian akan resmi jadi anakmu. Salam sama mama dulu sayang." Calon ibu mertuaku sedikit membalikkan tubuhnya, agar aku dapat melihat wajah baby Christian lebih jelas.

Melihat bayi lucu itu menangis, membuatku geli sendiri. Bayi Christian akan menjadi anakku yang berarti akan ada satu makhluk di dunia ini yang memanggilku dengan sebutan mama. Apakah ini mimpi? Mengapa tidak ada yang membangunkanku?

"Sini sama oma, namanya Christian ya, lucunya cucu oma," ujar ibu sambil mendekat ke arah baby Christian. Ibu ingin mengambil Christian dari gendongan calon mertuaku.

"Sama oma aja ya, mama masih syok, mungkin masih bingung. Tapi tenang aja, Kairaci ini udah jago ngurus bayi. Sepupunya waktu masih bayi, dia yang ngurusin."

Informasi macam apa itu? Kepalaku semakin berat rasanya. Ditambah lagi dengan Seun yang menatapku penuh kemenangan. Seun sepertinya senang aku terlihat menderita seperti ini. Dengan senyuman licik yang Seun punya, aku yakin dalam hati dia sedang bersorak. Mungkin dia mengira aku akan segera menolak perjodohan ini.

Aku mungkin akan menolak, tapi kedua orang tuaku, terutama para pamanku tidak akan semudah itu melepaskan saham dan investasi yang sebentar lagi mereka dapatkan dari keluarga Seun. Pernikahan ini tak akan batal sekeras apa pun aku menolak. Jadi lebih baik aku pasrah saja.

"Nah, mumpung semuanya sudah lengkap, bagaimana kalau kita makan malam sambil mengobrol mengenai pernikahan mereka." Suara Ayah mertuaku menginterupsi pikiranku yang penuh dengan rencana bunuh diri.

Maafkan aku Tuhan!

Bad PapaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang