21. Step One

2.9K 304 9
                                    


Selang sepuluh menit setelah kedatangan Seun, semua orang yang berada di ruangan tengah pamit undur diri untuk tidur. Para anggota keluarga itu pergi tanpa tersisa. Kejadian di depan mataku semakin membuatku yakin bahwa sedari tadi mereka menunggu Seun tiba di rumah.  Mama membawa Christian untuk tidur bersama mereka sedangkan aku dibiarkan berdua dengan Seun.

Aku dan Seun terpaksa harus beriringan memasuki kamar Seun. Aku merasa malu dan sedikit ketakutan. Aku yakin Seun akan mengamuk karena ulahku. Kabur secara diam-diam menuju rumah orang tuanya.

Kami duduk bersampingan di atas tempat tidur, sama-sama menatap ke depan. Aku sedang menyusun kata-kata untuk memulai pembicaraan. Aku tidak tahu apa yang ada di pikiran Seun, jadi aku memutuskan untuk mulai berbicara.

"Kata mama, kalo papa lagi capek, mama pijitin. Gue pijitin ya?" tawarku. Tadi mama mertuaku memberikan saran padaku untuk memijat Seun.

Seun hanya diam. Perlahan tapi pasti aku mendekat, memegang bahunya dari belakang. Aku berusaha memijat bahu Seun tanpa meminta cowok itu menghadap ke samping.

"Maaf ya, malam-malam lo harus nyusulin ke sini," ujarku.

"Gue juga gak tahu kenapa bisa ada di sini," keluhnya. Aku tersenyum lega. Sepertinya pijatanku yang lembut berhasil meluluhkan hati Seun. Terbukti dari cara Seun membalas kalimatku. Tidak ada kalimat menyakitkan di dalamnya. Meskipun nada suara Seun menyiratkan sikap acuh tak acuh.

"Gue tadi cuma ngasih lo ruang buat marah-marah," ucapku.

"Lo nambah kerjaan gue dengan dateng ke sini." Taring Seun sudah mulai keluar. Aku takut Seun marah-marah seperti biasanya. "Lagian gue udah lama anggep lo gak ada di rumah."

"Itu kan yang lo mau, gue gak ada di rumah lo." Pijitanku berpindah ke rambutnya.

"Lo yang bilang ke teman-teman lo kalo gue bawel dan suka ngatur. Gue diam karena gue berusaha supaya lo nyaman di rumah itu, sebelum gue didepak dari rumah lo. Untuk sekarang, jujur gue belum ada persiapan apa-apa, jadi gue harus baik-baikin lo biar lo gak cepet ceraiin gue." Pijatanku menurun ke kepalanya. Posisiku sudah berpindah ke belakang tubuhnya.

"Kalo lo belum ada persiapan apa-apa pas nanti gue ceraiin, kurangin sok tau. Belajar jadi istri yang baik, bisa masak enak. Istri gue itu lo, bukan Siti."

Pertama kalinya Seun mengomel padaku, meminta aku memasak untuknya. Biasanya dia tidak pernah mengeluarkan isi hatinya secara terang-terangan seperti ini. Seun yang kukenal tidak pernah memperhitungkan keberadaanku.

Dulu aku sempat berpendapat bahwa Seun mungkin menganggap aku dan Siti punya kedudukan yang sama di rumahnya. Aku terharu karena ternyata Seun berpendapat lain.

"Gue berusaha jadi istri yang baik, tapi lo marah-marah terus. Masakan gue gak ada yang enak menurut lo. Gimana bisa berhasil jadi istri yang baik kalo kayak gitu."

"Gue capek," ujarnya.

"Yaudah lo baring aja, gue pijitin kepala lo." Aku mengambil bantal kemudian menaruh bantal itu di pangkuanku. Aku meminta Seun berbaring di pangkuanku dengan kepalanya beralaskan bantal. Aku mengulangi memijit kepalanya.

"Mungkin berat buat lo, tiba-tiba menikah dengan gue yang gak ada apa-apanya dibandingkan semua mantan lo. Tapi selayaknya istri, gue bakal terus ikutin semua perkataan lo. Itu yang selalu ibu lakuin."

"Nikahin lo sama gue, ide ibu atau ayah lo?" tanya Seun.

"Ayah dan paman-paman. Tapi ayah gampang luluh sama gue. Pas gue nolak nikah sama lo, ayah sebenarnya udah setuju buat gak adain pernikahan ini."

"Hm, kalo kita cerai apa respon mereka?" Seun bangkit dari tidurnya bertanda ingin menyudahi pijatanku. Aku menaruh bantal di tempat semula, lalu kembali ke sisi kiri tempat tidur. Aku menunggu Seun berbaring, namun pria itu tidak kunjung melakukannya. Seun terkesan ingin sekali mendengar jawabanku.

Bad PapaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang