47. Tiga Pintu Terbuka

3.5K 359 41
                                    

Hape aku kemarin rusak LCD.

Udah dibenerin yang ke sekian kalinya, makanya suka eror.

Ngetik cerita rada males, ribet, ngetik 'a' entah apa yang keluar.

Tombol publikasi sering kepencet sendiri.

Jadilah harus aku unpub dulu bru update lagi. Gitu aja terus.

Makasih udah sabar menunggu

***

Aku seperti melihat hantu, ketika mendapati Seun masih duduk dengan tenang di tempat tidur. Aku mengangkat kepalaku, reflek menarik ikatan kimonoku agar lebih kencang. Seun membalas menatapku sama tajamnya.

Aku maju sambil memperhitungkan langkahku. Aku tidak ingin mencari masalah dengan terlalu dekat dengan dirinya. Seun bagaikan api menyala dan diriku seperti bensin. Jika api itu menyebar aku khawatir akan terbakar sampai lupa diri. Lalu hangus sia-sia.

"Besok pagi, pas sarapan, kita bicara tentang hubungan ini. Kalau kucing-kucingan gini gak akan berhasil. Jadi sekarang lo boleh pergi," ujarku.

"Gue di sini mau ngajak lo ikut after party bareng temen-temen gue." Seun berdiri dari duduknya.

"Buat ngehina bengkel keluarga gue lagi?" tanyaku sinis.

"Gue pengen lo kenalan secara resmi sama temen-temen gue." Seun maju satu langkah. "Semua temen gue ada di sana, lo harus sosialisasi sama mereka, karena sekarang gue udah nerima kenyataan," lanjut Seun santai. Aku melipat tanganku kala Seun maju dua langkah.

"Kenyataan apa?" tanyaku.

"Kenyataan kalau lo adalah istri gue," ujar Seun. Langkahnya semakin mendekat.

"Buat apa bilang ke semua orang gue istri lo? Kan bentar lagi juga kita pisah." Aku berusaha mengucapkan kalimat itu dengan santai.

"Siapa lagi yang berani nyuruh lo pisah dari gue?" Seun tersenyum miring lalu melangkahkan kakinya lagi. Dia semakin dekat denganku. Aku menelan ludahku susah payah.

"Gue. Gue mau pisah," balasku enteng. "Selama jauh dari lo, gue ngerasa lebih," aku menahan kalimatku. Aku terus berpikir kata apa yang cocok menggambarkan perasaanku. "Lebih apa ya, lebih nyaman?" Aku seperti bertanya pada diriku sendiri.

"Oke, kalau gitu, besok pagi pas sarapan, kita bahas semua ini. Malam ini lo gak boleh kemana-mana," ujar Seun. Entahlah, nadanya seperti memohon dengan tulus.

Aku luluh sejenak karena tidak pernah melihat sendu di matanya seperti hari ini. Apalagi penyebabnya adalah diriku. Ketika aku sedang menyelami perasaannya, Seun kembali mendekat. Pendekatan yang Seun lakukan terbilang cukup mulus karena aku sama sekali tidak merasakan maksud lain di setiap langkahnya.

"Stop di situ, jangan mendekat lagi!" pintaku tegas.

"Kenapa kalo gue mendekat? Lo takut hilang kendali kayak tadi?" tanyanya.

"Dih, siapa yang hilang kendali," ejekku.

"Lo tadi cium gue duluan, padahal gak gue apa-apain tuh." Seun semakin membuatku merasa malu.

"Gue cuma ngasih apa yang lo mau dari gue. Cuma ciuman biasa kan? Gak penting menurut gue." Aku terus membela diriku. Aku mendengar Seun terkekeh. Sorot matanya berubah terluka.

Aku bertanya dalam hati, apa yang membuat Seun selemah ini selama aku pergi darinya. Wajahku mendadak merasa bersalah. Melihat aku salah tingkah karena merasa bersalah, Seun tersenyum tipis sekali lagi.

"Lo masih belum jujur. Lo gak mau gue mendekat, karena lo sebenarnya bingung sama perasaan lo sendirikan? Lo takut jatuh cinta sama gue?" tanya Seun panjang lebar. Sejak kapan perasaanku menjadi penting untuknya.

Bad PapaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang