16. After Married

3.4K 273 9
                                    

"Ini gaunnya udah beres kan mbak," tanya seorang pegawai padaku.

"Udah," balasku. Aku melihat dia dengan telaten melepaskan baju itu dari manekin.

"Mbak, ingat saya gak? Beberapa hari lalu, saya pernah ke sini, nanyain gaun ini juga." Pegawai itu menatapku dengan seksama kemudian menatap Seun.

"Gak inget mbak, cuma kalo masnya saya inget. Ganteng soalnya." Pegawai tadi tersenyum malu-malu kala ditatap oleh Seun.

"Tapi masnya kemarin," ucapan pegawai itu menggantung sembari melihat jariku, kemudian pandangannya tertuju pada wajahku. "Kemarin dikasih cincin." Pegawai itu menutup mulutnya. Mungkin tak ingin menyinggungku.

"Iya, dia kemarin dateng sama mantan calon istrinya, nyobain gaun juga. Tapi sayangnya, nikahnya sama saya," ujarku. Pegawai itu tersenyum kasihan menatap diriku dan Seun. Mungkin dia juga telah mencium bau-bau keterpaksaan dalam pernikahan ini.

"Gak apa-apa mbak, saya kuat kok. Tapi kenapa desainernya rese banget ya, emang baju yang kemarin calon suami saya dan mantan calon istrinya cobain,  bagus banget ya mbak?" Aku merasa penasaran. Seun terlihat ogah-ogahan menatapku. Mungkin bagi dia hal yang aku tanyakan tidak penting, namun bagiku justru sebaliknya. Aku penasaran seperti apa Seun memperlakukan wanita yang dia cintai.

"Baju kemarin yang dipesan sama masnya, itu baju terbaik dan termahal di butik ini. Makanya pas tahu bajunya gak jadi dibeli, desainernya ngambek. Emang gitu orangnya. Saya permisi dulu ya mbak." Pegawai itu pergi dari hadapanku membawa gaun yang berhasil dia lepaskan dari manekin.

"Gaunnya Liette lo yang pilihin?" tanyaku penasaran.

"He-em. Liette nanya pendapat."

"Pendapat ya? Terus apa pendapatmu tentang gaun aku?"

"Jelek." Seun sepertinya sadar atas ucapan buruk yang keluar secara spontan. Dia mungkin mengingat janji kami kemarin malam. Dia harus memperbaiki ucapannya padaku.

"Pas di manekin jelek, kalo pas lo pake gue belum liat," sambungnya datar. Aku kembali menatap tepat di mata Seun. Dia sengaja mengeluarkan kalimat itu mungkin karena takut aku membatalkan pernikahan kami. Aku dan Seun tentu sama-sama ingat mengenai perjanjian yang mengatakan dia dilarang menghina diriku.

"Gue nerima kalo lo berusaha nyampein pendapat yang jujur. Gue mantan mahasiswa, gue ngerti aturan kebebasan berpendapat," peringatku padanya.

***

Pernikahanku digelar dengan penuh rasa kekeluargaan. Bukan sejenis pernikahan mewah yang dihadiri oleh semua kerabat, kolega bisnis dan karyawan perusahaan keluarga Seun. Bukan juga ramai dihadiri oleh dosen dan teman-temanku.

Meski pun begitu, seluruh keluargaku bersukacita. Selain karena akhirnya aku menikah dengan Seun, mereka juga bahagia bisa merasakan pernikahan mewah alias pernikahan kelas atas. Kebahagiaan itu tercurah begitu saja di tengah pernikahan kami.

Sepanjang resepsi pernikahanku, aku beberapa kali melihat Seun memandang aneh pada keluargaku. Kerusuhan juga tercipta kala sepupu-sepupuku yang masih cilik beramai-ramai bermain tik-tok. Kadang mereka berlari ke sana kemari saking bahagianya tanpa memperdulikan tamu yang kala itu memang cukup sedikit untuk gedung yang luarbiasa besar.

Setelah rombongan tamu mulai reda, aku dan Seun turun untuk menyapa para tamu secara langsung. Sebagian besar adalah tamu mama dan papa mertuaku, selebihnya adalah keluarga Seun yang baru pertama kali aku temui.

"Raci, kok kepisah sama Seun. Nyapa tamunya bareng-bareng dong," ucap mama ketika aku asyik bercerita dengan istri-istri pamanku. Mama mertua membawaku mendekati Seun yang sedang berbincang dengan Kak Nadira dan tamu-tamu yang lain.

Bad PapaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang