48. Kembali

4K 387 49
                                    

Aku terjaga dari tidurku. Aku merasa aneh pada kepalaku. Ada sesuatu yang mengganjal di sana. Tak seempuk bantal yang tadi malam kugunakan.

Dengan berat hati aku memaksa membuka mata. Hal pertama yang kulihat adalah pak Ibnu, sopir pribadi Seun. Kepalaku sedang menyender pada pundak Seun. Ada cahaya silau di sampingku yang berasal dari ponsel Seun.

Aku mengangkat kepalaku dari pundak Seun. Saat ini kami sedang berada di jalanan dengan kecepatan mobil yang lumayan kencang. Aku dapat melihat kegelapan masih meliputi kota dari balik kaca mobil. Sebentar lagi matahari mungkin akan bersinar.

"Udah bangun?" tanya Seun.

Ponsel Seun sudah tidak berada lagi di tangannya. Seun masih mengenakan kameja yang digunakannya tadi malam. Aku pun tersadar bahwa jas mahalnya kini sedang bersampir di tubuhku. Entah sejak kapan Seun menyelimutiku dengan jas miliknya.

"Kita mau kemana?" tanyaku. Tidak kusangka suara yang aku keluarkan terdengar begitu serak. Aku berdehem untuk menormalkan suaraku. Mataku melirik Seun.

"Pulang," jawabnya singkat.

"Hah? Katanya kalo gue pergi dari lo, gue gak punya jalan pulang ke rumah lagi," selaku.

"Iya."

Aku merasa seperti orang bodoh saat ini. Menjadi orang kaya memang cukup menguntungkan. Apa pun yang diinginkan bisa tercapai dengan begitu mudahnya.

"Gue yang gak mau balik ke rumah lo. Lagian tadi kan kita udah sepakat, gue balik rumah mama, lo kerja di perusahaan itu selama dua minggu. Setelah itu kita pisah." Aku mengulang lagi perbincangan kami tadi malam.

"Lo tinggal di rumah ayah, gue kerja di perusahaan selama dua minggu. Gak ada aturan gue harus tinggal di mana."

"Maksud lo?" suaraku meninggi. Aku menengok ke luar jendela untuk memastikan sesuatu. Jembatan yang kami lewati, rumah makan Paman Kea, dan tikungan jalan ini membuatku mengernyitkan keningku

"Seun!" tegurku dengan nada keras.

"Gue tinggal di rumah lo untuk sementara," ujar Seun. Aku mendadak lemas sendiri. Yup! Jalan yang kami lewati sedari tadi akan mengantarkan kami ke rumah orang tuaku.

"Gak bisa. Gak mungkin. Tadi lo bilang sendiri itu malam terakhir kita, makanya lo ijinin guw minum alkohol." Aku berusaha menagih ucapannya.

"Ah maksud gue itu terakhir kali gue ijinin lo minum alkohol. Setelah tadi malam, lo dilarang minum kecuali dapet ijin dari gue."

"Gak mungkin! Tadi malam udah jelas banget lo setuju kita pisah."

"Gak ada satu pun kalimat dari gue yang bilang mau pisah," ujar Seun.

Aku menghela napas kembali mengingat percakapan kami tadi malam. Aku menyadari bahwa yang dikatakan Seun adalah kebenaran. Dia memang tidak pernah meminta atau menyetujui ideku untuk berpisah dengannya secara terang-terangan.

"Yah," ujarku sedikit kesal.

"Gue udah bilang bakal ke rumah keluarga dua minggu lagi. Dan sekarang waktunya," balas Seun. Aku memalingkan wajahku menatap ke arah lain.

"Gue akan selalu kalah kalo hidup sama lo," keluhku. Aku menutup mata lagi beberapa saat.

"Palingan lo gak betah lama-lama di rumah orang miskin. Sehari aja pasti minta pulang," gerutuku. Aku masih berharap Seun berubah pikiran. Namun sepertinya itu hanya terjadi dalam anganku.

***

Aku sedikit terjaga dari tidurku. Rasanya aku sedang berada di sebuah kasur yang sangat nyaman. Selimut menyelimuti tubuhku dengan aroma yang aku kenal. Tiba-tiba aku mengingat bahwa aku tidur di mobil dengan Seun yang duduk di sampingku. Aku pun terpaksa membuka mataku.

Bad PapaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang