10. Berjanji Tidak Saling Bertemu

2.7K 269 21
                                    


Di sinilah diriku sekarang. Duduk dengan manis di ruangan televisi rumah Seun. Selesai makan malam, keluarga Seun akan otomatis berkumpul di ruang televisi. Mereka mengobrol sambil mengawasi Christian yang bermain bersama pengasuhnya.

Aku memilih bermain bersama Christian. Mengangkat mobilnya kesana kemari sehingga membuat bayi gembul itu tertawa. Aku menghibur bayi lucu yang hampir saja dibuang oleh ayahnya. Ayah yang sama sekali tidak bertanggung jawab atas sperma yang dia hasilkan.

Aku tidak keberatan melakukannya. Melihat Christian bahagia, aku jauh lebih bahagia. Setidaknya di hidup ini masih ada yang membutuhkan hiburanku.

"Sayang, kalau mau bobo, bisa langsung bobo. Kamarnya udah disiapin," ujar tante Aminar padaku.

"Sebenarnya saya takut tante, gimana kalo Seun dateng dan lihat saya di sini." Aku sedikit menundukkan kepalaku.

"Loh, memangnya kenapa?"

"Dia pasti gak senang saya ada di sini. Kemarin kita berdua udah berjanji untuk gak bertemu lagi."

"Rumah ini milik saya, kamu gak usah khawatir. Anak itu gak akan ganggu kamu. Kamu di sini sebagai anak dari teman saya," suara ayah Seun terdengar berat dan berwibawa. Ini pertama kalinya aku mendengar beliau membelaku di dalam rumah ini.

"Baik, paman," jawabku patuh.

Keputusan dari ayah Seun sepertinya mutlak dan tak bisa diganggu gugat. Aku melihat wajah tante Aminar dan Kak Nadira terlihat lega ketika Om Wiyoko mengumumkan mengenai keberadaanku. Aku harus bersyukur karena kedua wanita itu menyukai kehadiranku. Meski pun sampai sekarang aku tidak tahu apa yang bisa dibanggakan dari diriku sebagai seorang wanita tulen.

"Om, Tante, Raci mau pamit ke kamar. Mau ngelanjutin simulasi desainnya. Lusa presentasi," pamitku dengan sopan.

"Ya udah, ayo Raci, tante anterin kamu ke kamar." Tante Aminar berdiri dari duduknya. Aku pun ikut berdiri sembari berpamitan pada anggota keluarga lain yang berada di ruang televisi.

Tante Aminar menaiki tangga diikuti olehku. Kami berbelok ke kiri dan melewati depan kamar Seun. Langkah kami berhenti di sebuah kamar yang berjarak satu ruangan dari kamar mantan calon suamiku itu. Firasatku mengatakan akan ada hal buruk terjadi padaku selama menginap di sini.

"Ini dulu kamarnya Oni, cuma dia akhirnya pindah ke lantai bawah. Gak mau tidur di sini lagi."

"Kenapa tante?" Mata tante Aminar melihat ke segala arah. Tante Aminar sedang mencari alasan yang tepat untuk menjawabku.

"Banyak temen-temen Seun suka ke sini sampai tengah malam. Dia agak keganggu kalo malem-malem. Cuma Seun gak pernah bisa nurut kalo ditegur."

Aku mengangguk mengerti. Berbekal dengan informasi yang ayah berikan, aku memahami seperti apa rasanya menjadi tante Aminar. Aku hanya bisa berharap beberapa hari ke depan tidak ada Seun di dalam rumah ini.

***

Aku terbangun cukup siang karena memaksakan diri menuntaskan segala desainku hingga subuh. Setelah bangun, aku langsung menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Aku turun ke lantai bawah dengan keadaan tubuh yang segar.

Rumah besar ini tercium begitu harum bertanda baru selesai dibersihkan. Selain harum, rumah ini juga sepi. Aku tidak menemukan siapa-siapa di sini. Aku melangkah ke dapur, namun, yang kudapati hanya peralatan dapur yang tersusun rapi. Aku memutuskan untuk berjalan kembali ke halaman depan.

Bersamaan dengan itu, aku mendengar bell rumah dinyalakan. Bell di rumah ini cukup menggambarkan suasana rumah yang menyeramkan. Ketika membuka pintu utama, aku disambut oleh seorang pria yang aku kenal sebagai sekertaris Seun.

Bad PapaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang