43. Pergi (lagi)

4.2K 445 66
                                    

"Apa-apaan ini, Raci?"

"Ke-kenapa?"

"Anak gue gak nyaman tidur di kamar berantakan kayak gini. Tadi malam gak gini," ujar Seun. Jantungku berdetak cepat. Aku berharap agar tidak ketahuan.

"Gue beres-beresnya tadi pagi." Aku berusaha membuat wajahku terlihat meyakinkan. 

"Perlu gue sewa satu lagi pembantu?" tanyanya.

"Gak perlu. Lo kenapa sih? Gak semua bisa diselesaiin pake duit lo," marahku akhirnya.

Dari tadi Seun menawarkan jalan keluar dari masalahku dengan menggunakan uang yang dia miliki. Seolah uang bisa membeli segalanya.

"Karena gue punya," elak Seun.

"Iya gue tahu lo punya, tapi gak perlu pamer sana-sini. Mau lakuin tinggal dilakuin aja. Gak usah pake ngomong-ngomong dulu. Bisa gak?"

"Kalo gue ngomong berarti gue minta persetujuan," ujar Seun penuh penekanan.

"Lo gak pernah minta persetujuan gue dalam apa pun. Lo selalu seenaknya sendiri. Saran gue cuma angin lalu buat lo."

"Lo ada masalah apa?" tanya Seun.

"Gue cuma capek," balasku.

"Lo butuh apa?"

"Tuh kan, duit lagi. Penawaran lo selalu tentang duit."

"Iya, karena kalo perasaan gak bisa gue kasih," jawab Seun tegas.

"Masa!" Aku mengakhiri pertikaian kami dengan keluar dari kamar. Aku merasakan Seun ikut berjalan di belakangku. Setidaknya aku berhasil mengalihkan pembicaraan kami dari topik tentang kamar.

"Raci, mencintai seseorang bagi gue itu sulit." Seun berbicara di belakangku.

"Gue gak minta uang dan cinta lo."

Aku berjalan menuju halaman depan rumah. Langkahku terhenti. Aku berbalik menghadap Seun. Aku menatap Seun. Wajahnya penuh rasa bersalah padaku. Aku menggelengkan kepala di depannya. Aku mendekat lantas mengelus pundaknya. Mata Seun hanya terfokus padaku.

"Gak usah dipikirin. Kita jalanin aja kayak semestinya," ujarku. Seun mengangguk angkuh. Mungkin itu sedikit memperbaiki hatinya yang agak tersentil oleh ucapanku.

"Gue gak ada waktu buat mikirin," ujar Seun. Tipikal seorang Seun, selalu mengelak dari kenyataan.

"Yaudah, kalo gue salah, gue minta maaf," lanjutku.

Bermula dari sebuah tatapan mata yang dalam, kini berubah menjadi pelukan. Yup, Seun menarikku dalam pelukan. Aku heran mendapat pelukan selembut itu secara tiba-tiba. Seun mengusap pundakku pelan. Aku merasakan energi positif mengalir dalam pelukan kami.

Ada rasa nyaman dan damai dipeluk seperti itu. Sejenak aku bisa merasakan bahwa salah satu tempat ternyaman yang diciptakan oleh Tuhan untukku adalah pelukannya. Lewat pelukan ini aku tahu bahwa Seun jelas merasa bersalah padaku. Didorong oleh firasat demikian, aku pun balas memeluknya.

"Gue gak gampang maafin orang," ujar Seun.

Aku tersenyum miris.

Jangan lupa.

Ini pelukan terakhir kami.

Seun melepas pelukan kami dengan buru-buru. Dia seperti menyadari suatu hal sehingga pelukan kami dilepasnya secara tiba-tiba. Mungkin Seun hanya terbawa suasana. Aku berusaha memberikan senyum maklum. Tanpa kata Seun segera memasuki mobilnya. Dia menurunkan jendela mobil, menatapku sejenak sebelum bergegas pergi.

Ketika mobil Seun hilang dari hadapanku, aku bergegas lari ke lantai atas. Aku mengeluarkan koper dan tasku lantas menariknya ke lantai bawah. Setelah itu aku membereskan kamar tidurku agar kembali rapi seperti sedia kala. Sebelum pergi aku mencium seluruh wajah Christian lantas berpamitan pada bayi itu.

Bad PapaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang