54. Bermekaran 2

2.9K 312 15
                                    

Malam itu Seun membawaku kembali pulang ke rumah orang tuanya. Aku cukup gugup ketika dibawa kembali pulang. Jantungku sempat berdetak begitu kencang karena menyadari awal dari segala permasalahan ini adalah diriku yang memilih kabur dari Seun.

Akibatnya rumah tanggaku runtuh. Seun memberikan properti pada Liette dan menjual rumah tempat kami dulu tinggal. Seun membawa Christian tinggal di rumah orang tuanya. Sudah sepatutnya aku disalahkan atas badai di hidup Seun akhir-akhir ini.

"Kenapa?" tanya Seun ketika melihat aku mulai gelisah.

"Gak apa-apa," jawabku seadanya.

"Jawab Raci!"

"Takut. Gugup juga. Tapi seneng ketemu Christian akhirnya," jelasku singkat.

"Takut sama siapa?"

"Gak takut sih, cuma mempersiapkan diri aja kalo ditanya tentang kita," balasku. Mobil yang kami kendarai berbelok ke arah kiri dan memasuki sebuah kompleks. Mobil kami berhenti tepat di depan rumah mama Aminar. Aku membeku, enggan untuk turun dari mobil. Sedangkan Seun hanya menatapku dari tempat duduknya. 

"Kenapa bengong?" tanya Seun sedikit tegas. 

"Eh, ini mau turun kok," balasku. 

"Lo percaya sama gue kan, Raci?" tanya Seun memastikan. Aku menganggukkan kepalaku. Tugas seorang istri adalah percaya pada suaminya. 

"Percaya," jawabku pelan. 

"Turun yuk," ajak Seun. Aku menganggukkan kepalaku patuh. 

 "Ada satu alasan yang buat aku keinget terus sama kamu waktu aku lagi dalam masalah di kantor, dan itu bantu aku secara mentally buat laluin semuanya," suara Seun membuatku menghentikan pintu mobil yang hampir terbuka. 

"Apa?" tanyaku penasaran. Selama ini aku selalu menganggap bahwa Seun dan kantornya adalah urusan yang berbeda dari duniaku. Aku bahkan tidak bisa membantu Seun dalam menyelesaikan permasalahan di kantor karena itu bukan bidangku. 

"Kamu selalu nurut apa pun yang aku mau tanpa membantah sedikit pun. Kalau di kantor gak semua orang begitu. Keputusan aku selalu aja diraguin sama keluarga besar aku. Kadang merasa gak berguna sebagai anak paling kecil di keluarga besar yang megang peranan penting dalam perusahaan keluarga." Mataku langsung mengarah padanya. Mendengar Seun mengeluh dan terlihat lemah di depanku membuatku yakin bahwa dia memang mencintaiku. Dia mau berbagi segala keluh kesahnya dengan diriku. Itu adalah permulaan yang bagus untuk diriku dalam membuat hubungan kami berhasil. 

"Salah satu alasan aku selalu nurut, karena keputusan kamu emang benar sejauh ini. Mungkin ada yang melenceng dikit, tapi sejauh ini aku percaya sama jalan pikiran kamu," ujarku meyakinkan. Aku mendekat pada Seun sekadar ingin melihat apa yang tergambar di raut wajahnya. 

"Kalau gitu, gak usah takut, ada aku," balas Seun berusaha membuatku lebih berani. Aku tersenyum padanya. Perkataannya menenangkan hatiku. 

Aku dan Seun turun dari mobil. Kami berjalan beriringan memasuki teras rumah Seun. Pintu rumah Seun terbuka menampilkan mama Aminar dan Kak Adler yang tersenyum simpul memandangku. Mama Aminar memelukku secara mendadak sebagai sebuah sapaan selamat datang. 

"Mama senang kamu mau dateng ke rumah ini lagi, meski pun mama gak pernah tahu apa masalah kalian berdua," ujar mama padaku. Aku kebingungan ingin membalas apa. Aku hanya membalas dengan senyuman haru penuh makna. 

"Ya makanya jangan ditanya, kan menantunya udah mau balik ke sini lagi," ujar Seun membelaku di depan orang tuanya. 

Aku suka wajah Seun saat mengucapkan kalimat itu. Ada sedikit keangkuhan dan kharisma yang aku lihat dalam membelaku. Dulu Seun sering memberikan wajah angkuh itu untuk menghina dan merendahkanku. Kini raut wajah yang sama dia gunakan untuk mempertahankan diriku di depan orang tuanya. Seun yang dulunya angkuh kini mengaku mencintaiku dan ingin menjagaku. 

Kejadian langka ini akan selalu aku rekam seumur hidupku. Seun tidak pernah berlaku seperti ini padaku sebelumnya. 

Mama Aminar mendelik pada Seun namun tetap memeluknya lembut. 

"Halo kak, maaf tadi sore Raci ketiduran di ruangan Seun, pas Raci sadar kakak udah keburu pergi," ujarku. Kak Adler tersenyum simpul sambil mencuri pandang pada Seun. Dari mata kak Adler jelas berbicara sesuatu pada Seun. 

"Yaudah ayo kita makan, papa udah nunggu di meja makan." 

"Seun itu kalo di rumah gak ada yang bisa ngatur hidupnya, gak ada yang bisa merintah juga, makanya selalu seenaknya. Semoga lo betah aja," ujar kak Nadira yang tiba-tiba memeluk Adler dari belakang. Rupanya Kak Adler sudah menceritakan hubunganku dan Seun yang rumit pada Kak Nadira. 

"Kalo di kantor, banyak sepupu kita yang pengen jatuhin dia, makanya dia harus terus diawasin. Setiap pulang kantor pasti kelihatan kusut banget kan," ujar Kak Adler. Kakak suamiku itu seperti sedang menerangkan kejadian tadi sore pada diriku selaku istri Seun agar aku tidak salah paham. Aku meraih tangan Seun dalam genggamanku. Aku ingin menunjukkan support-ku pada suamiku itu. 

"Raci ngerti kok kak, sedikit-sedikit tentang kerjaan Seun," balasku sopan. Semakin kami memasuki rumah Seun, mataku semakin mencari di mana keberadaan anakku. Aku ingin bertanya mengenai Christian namun masih enggan karena Kak Nadira masih menasihatiku mengenai pekerjaan dan kedudukan Seun di kantor.    

"Gak usah khawatir, Raci. Awal Adler naik pangkat juga seram banget tekanan dari paman dan sepupu-sepupunya. Aku yang kebagian nangis mikirin suamiku," ujar Nadira. 

"Itu suara Christian ya," tanyaku tidak sabaran karena mendengar ocehan bayi dari ruangan sebelah.

Mama Aminar kembali ke ruang tengah sembari menggendong Christian. Air mataku menggenang di pelupuk mata karena melihat betapa tampan dan sehatnya anakku itu. Seun semakin meremas tanganku ketika melihat aku terpesona memandang anakku sendiri. 

"Dia masih inget sama mamanya gak ya? Udah lama kalian gak ketemu, jangan-jangan Christian udah lupa sama Raci," ujar mama Aminar. Wajar mertuaku itu berkata demikian. Aku hanya gadis biasa yang tiba-tiba harus merawat bayi selucu Christian dalam beberapa bulan, sebelum kembali menghilang sampai berminggu-minggu. Aku harap dia masih mengingatku sebagai ibunya. 

Aku maju perlahan mendekati Christian yang tampak kebingungan menatapku. Aku memaksakan seulas senyum sambil mengangkat tanganku menyapanya. Aku menahan air mata yang hampir menetes keluar bersamaan dengan langkah kakiku. 

"Halo anak mama," sapaku padanya. "Lupa sama mama ya, sayang, ya, lupa ya?" ujarku berlagak seperti anak kecil. Christian tidak bereaksi meski aku kini berdiri di depannya sambil tersenyum. Aku merasa sedih. Aku akhirnya memilih untuk mengajaknya mengobrol. Baru saja aku ingin berbicara, Christian tiba-tiba menangis sekencang-kencangnya. Bodohnya aku juga ikut menangis saat dia mengulurkan tangan ingin digendong olehku. Segera kuraih bayi itu dalam gendonganku. 

"Cup, cup, cup, iya ini mama, maaf ya pergi pas kamu lagi tidur, maafin mama ya, maaf ya," bujukku sembari menimangnya dalam gendonganku. Bayi itu memelukku dengan erat seolah begitu merindukan diriku. 

"Mama juga kangen sama kamu," ucapku lagi sampai bayi itu tenang. 

"Pinter dia, masih inget sama mamanya," ujar mama Aminar ikut terharu. 

"Lagian mama aneh-aneh aja, mana ada anak yang lupa sama mamanya," ujar suara berat di belakangku yang aku yakini sebagai papa Seun. Aku berbalik kemudian menyapa papa mertuaku itu dengan sedikit menundukkan kepala. Christian sudah tenang dalam pelukanku. Mataku menyapu sekitarku untuk mencari Seun. Seperti mengerti maksudku, Seun pun mendekat padaku dan Christian. 

"Gendong bentar, aku mau ke toilet," ujarku beralasan. Seun pun menerima Christian dalam dekapannya dengan tubuh yang menegang. Seluruh keluarga Seun terdiam menyaksikan moment tersebut. 

"Lo bisa gendong Christian juga ya ternyata," ujar Raiko. 

"Menurut lo?" sambar kak Nadira. 

"Kalo sekarang gue percaya Christian beneren anak lo," Raiko mengacungkan dua jari jempolnya pada Seun. 

"Gak gue beliin motor," ancam Seun. Seluruh keluarga tertawa ringan mendengar ucapan Raiko. Aku juga ikut tertawa kecil. Seun menatapku dengan sedikit melotot. Aku pun memeluk Seun dan Christian secara bersamaan sebelum berjalan menuju ke toilet. 

"Curang," balas Raiko bersungut.

*** 




























Bad PapaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang