Kuku Perogoh Sukma

856 67 6
                                    

Suasana begitu mencekam di padang rumput Segara Mayit yang membentang luas. Beberapa titik sudah habis dilalap lidah api yang berkobar-kobar. Asap hitam membumbung jauh tinggi, bau sangit menusuk hidung bersamaan dengan percik pijar api terasa pedih dimata. Beberapa warga desa yang tersisa serta prajurit yang tinggal puluhan saling bahu-membahu membuang tulang berserakan ke dalam jilatan api. Dengan begitu tubuh iblis Jerangkong tidak akan menyatu lagi.

Api sebagai perlambang kemurnian dari jaman dahulu, digunakan oleh para pandita dalam berbagai upacara dan ritual adat, terbukti bisa membersihkan jiwa-jiwa yang tersesat, menyucikannya menjadi segenggam abu kering yang mudah tertiup angin.

Tiba-tiba terdengar  tawa wanita yang panjang mengerikan. Suaranya menggema ke delapan penjuru.

Semua mata tertuju pada sosok yang berdiri di depan Jagadnata. Tangan kanan menggembol  sosok anak perempuan usia belasan tahun. Sedangkan tangan kiri menjepit bilah pedang Sinar Matahari.

"Kang Darkun lihatlah siapa sosok wanita ditengah pertarungan itu?" tanya Darso dengan suara terbatuk-batuk. Mukanya sudah coreng-moreng terkena jelaga.

Wajah Darkun menegang, "Aku tidak tahu Darso, sepertinya musuh baru yang teramat sakti baru muncul, atau jangan-jangan..."

"Jangan-jangan apa Kang? Sampean membuatku takut!" tukas Darso sambil membelalak.

"Dia adalah Nyi.. nyi Ratu Gondo Mayit penguasa Hutan Tumpasan ..." tebak Darkun dengan suara bergetar ngeri. Pengalamannya mengatakan wanita cantik itu bukanlah mahluk sembarangan. Dan walaupun ia belum pernah melihat langsung, sang Ratu menurut kabar  tersiar berwujud wanita cantik berkulit putih dan bermata merah darah. 

"Ayo kita menjauh" ujar Darso dengan suara serak, tenggorokannya  terasa panas terbakar karena menghisap asap tebal.

karena ngeri Mereka berdua menyingkir dan mengamati pertarungan dari kejauhan. Keduanya masih belum mengetahui sosok dibawa wanita itu adalah Murni, warga desa Bakor  yang sedang pingsan.

"Hiaatttt!!" seru Jagadnata berusaha membenamkan mata pedang ke arah bahu kiri wanita berambut panjang itu. Namun kedua jari tengah dan telunjuk sang wanita bagaikan capit besi yang mengunci erat bilah pedang pusaka Sinar Matahari.

Keringat sebesar bulir beras mulai menetes dari dahi lelaki berkumis tebal itu.

Tidak berhasil merangsek lebih jauh, Jagadnata menyorongkan telapak kirinya mengirimkan tenaga pukulan ombak Angin dan Hujan yang menderu kencang ke arah dada kanan. Angin pukulan  itu sangat tajam membuat wanita cantik itu menyentil pedang dengan jempol dan jari manis kirinya. Begitu pedang terpental, lima jemari itu segera membentuk tapak disorongkan ke depan, beradu dengan telapak kiri Jagadnata. Kedua kekuatan itu bertemu menimbulkan ledakan luar biasa dahsyat.

Dhuarr

Wanita itu bergeming, sementara Jagadnata terdorong mundur dengan terhuyung-huyung, sirkulasi nadi terasa kacau, darah berbalik arah menyerang  jantung.

Dengan mengatupkan tangan di depan dada, lelaki itu menarik napas dalam untuk menormalkan keadaan. Bukan main, walaupun sambil membopong orang, siluman wanita itu sama sekali tidak terpengaruh serangan Jagadnata.

Sebagai pendekar linuwih dan berpengalaman Jagadnata tidak gentar sedikitpun dengan kehebatan yang dipamerkan lawan. Dalam sebuah pertarungan, kemenangan tidak melulu ditentukan oleh tingkat kesaktian.  Ada unsur kegigihan, kecerdikan serta nasib baik yang juga turut menentukan hasil akhir.

Sedetik kemudian, Jagadnata tidak menyia-nyiakan kesempatan, ia meloncat sembari menikamkan pedang ke arah ubun-ubun. Jagadnata mengirimkan dua belas kali tebasan dengan kemahiran tingkat tinggi menyasar titik vital. Segera saja pedang raksasa itu berputar kesana kemari layaknya kitiran, menimbulkan angin mahakencang yang sanggup menerbangkan apapun.

LARANTUKA  PENDEKAR CACAT PEMBASMI IBLISTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang