Mentari Diatas Hutan Tumpasan

749 71 10
                                    

Fajar merekah sempurna, mengenyahkan dinginnya gelap malam. Sinar mentari pagi terasa hangat menerobos sela dedaunan bambu yang rimbun.
Rombongan para pendekar dan warga desa berjalan beriringan menyusuri pinggiran hutan tumpasan.

Murni berkali-kali menoleh ke kanan dan kiri, ia menyadari suasana hutan Tumpasan kini telah berubah drastis. Tidak ada kabut merah mengambang di sela batang pepohonan. Sinar matahari leluasa menerobos memberi kehangatan, suara kicau burung dan uir-uir terdengar renyah bersahutan.

Hutan itu kembali hidup setelah sekian lama mati suri dibelenggu oleh sihir gaib Nyi Ratu Gondo Mayit.

Larantuka memilih untuk berjalan paling belakang. Ia tidak suka bercengkrama terlalu banyak dengan warga desa maupun prajurit Kalingga walaupun mereka banyak membicarakan kisah kepahlawanannya. Netranya lebih suka mengamati Candini yang berjalan menemani disampingnya.

Gadis itu sesekali membalas tatapan Larantuka dengan senyuman lalu terkadang bersenandung beberapa tembang yang ceria. Langkahnya ringan dan lincah. Mulut tak henti berceloteh mengenai beberapa tempat di luar Kalingga yang ingin ia datangi. Tidak tampak sama sekali bila beberapa jam lalu gadis itu baru saja lolos dari lubang jarum kematian.

"Kenapa... " ucap Larantuka lirih.

"Hm?"  mata Candini membulat.

"Kenapa kamu begitu ceria?"

"Maksud Kakang?"

Larantuka mengangkat pergelangan tangan gadis berbaju kuning itu. Terlihat  ada garis  berwarna biru kehijauan berdampingan dengan garis hitam. Tanda racun hitam sedang bekerja menekan racun Tujuh Langkah yang ganas.

"Nyawamu saat ini sedang diujung tanduk. Kita tidak tahu kapan racun dalam tubuhmu akan kambuh. Seharusnya kita sudah angkat kaki dari tempat ini untuk mencari penawar" ujar Larantuka, ia tak habis pikir bagaimana Candini masih bisa tertawa lepas seperti tak pernah terjadi sesuatu.

Gadis itu memamerkan giginya yang gingsul, "Aku tidak mau melewati hari-hari nanti dengan bersedih hati Kakang. Aku percaya padamu dan Sancaka mampu mengobatiku. Sebagaimana kalian tanpa diduga mampu memusnahkan Nyi Gondo Mayit. Aku samasekali tak meragukan  kemampuanmu"

Larantuka tercenung, Candini belum mengetahui masalah racun ini bukan perkara yang mudah. Lebih sulit menginjakkan kaki ke Lembah Neraka Hijau daripada menghajar empat Panglima perang suruhan Gondo Mayit. Dulu ia susah payah melarikan diri dari tempat itu dengan keadaan sekarat. Dan ia terpaksa harus membuka lembaran kisah lama kembali demi meminta bantuan kepada orang-orang bengis itu.

Larantuka mendengkus tajam.

"Kali ini berbeda. Para penghuni Lembah itu bukanlah orang yang mudah dimintai tolong, apalagi mereka terkenal kejam banyak mencelakakan siapapun sesuka hati." desis Sancaka menengahi.

Candini memandangi Larantuka dan Sancaka yang membelit di lengannya bergantian, lantas menepuk keras mereka sambil berkacak pinggang.

Ular hitam itu mendesis keras ketika kepalanya ditepuk, ia memperlihatkan gigi taring yang tajam.

"Ah sudahlah!  Aku tak mau larut dalam kekalutan kalian, kalaupun ini waktu terakhirku aku ingin menikmatinya dengan senang senang dan gembira. Bila harus mampus ya sudah mampus saja. Tetapi sebelum itu terjadi Aku ingin melihat dunia luar dan berpetualang. Pengalaman perburuan Ratu demit kemarin sungguh mendebarkan sekaligus menyenangkan!" tukas Candini dengan dada berdebar kencang.

"Huh,  apakah kepalamu linglung tertimpa batu? Nyawamu tadi hampir saja melayang!" kata Sancaka. "Kini berkat racunku nyawamu cuma tersisa enam minggu sebelum malaikat maut datang menjemput."

LARANTUKA  PENDEKAR CACAT PEMBASMI IBLISTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang