Karma Berdarah

786 67 4
                                    

Angin berhembus sepoi, dengungan lebah bersahutan diantara bunga kertas warna-warni. Sinar matahari sore lembut menerpa pinggiran hutan kaki gunung Lawu.

Di teras  sebuah rumah panggung yang luas nampak sepasang kekasih duduk berbaring diatas dipan bambu.
Sang lelaki tengah duduk berselonjor sementara yang wanita tengah membaringkan kepala di paha suaminya, tangannya mengelus perut yang terlihat sedikit membesar. Sang lelaki berwajah tampan dengan kumis tipisnya nampak berusia awal tiga puluhan, mengenakan baju dan ikat kepala serba putih khas pertapa, begitu juga dengan pakaian sang wanita, rambutnya disanggul rapih dengan hiasan bunga melati segar yang wangi. Wajahnya seperti usia remaja belasan tahun, nampak cantik dan serasi dengan pemuda. Mereka terlihat bahagia, sesekali tertawa melihat banyak pemuda di pekarangan yang asyik membangun pondok-pondok untuk bermukim.

"Kakang Lindu, sebentar lagi pondok-pondok para murid padepokan ArgoLawu akan berdiri, perguruan ini akan semakin maju dan berkembang,  pada akhirnya cita-cita guru mendirikan sebuah desa akan terwujud. Aku bersyukur pada Yang Mahakuasa atas segala rejeki yang diberikan diusiaku yang sudah masuk limapuluh tahun, mendapatkanmu sebagai suamiku, termasuk janin ini. Sungguh benar-benar anugerah Kakang. Aku ingin anak ini dinamai Lembayung, sesuai warna mega di sore hari ini. Bolehkah?"

Pemuda bernama Lindu Pangaji itu mengangguk namun tatapan matanya terlihat kosong. Hal ini membuat wanita dipangkuannya keheranan. Ia bertanya apakah ada yang dipikirkan suami yang sudah tiga tahun ia nikahi itu.

"Aku sudah dengar Ayahanda Ki Argolawu ingin mendirikan Desa yang akan dinamakan desa Bakor dinda Melati, dengan makin ramainya tempat ini aku takut akan mengundang  raja iblis dan pasukan demit untuk meratakan tempat ini, sementara ilmu kesaktianku belum cukup matang melawan mereka."

Wanita itu bangkit dan menggenggam jemari suaminya. "Jangan takut suamiku,  kita sudah menguasai ilmu pertapa lihat meski usia kita sudah lebih dari setengah abad namun raga kita tak ikut menua, asalkan tekun berlatih ilmu Langit Putih kesaktian kita akan menyentuh tingkatan abadi."

"Tapi ilmuku masih kalah darimu dinda Melati, kau tahu baru setiap sepuluh purnama ayahmu hanya menurunkan satu jurus Langit Putih kepadaku, sampai kapan aku berhasil menguasai kitab itu, aku takut saat kau melahirkan maka kekuatanmu melemah dan aku tidak mampu melindungi anak kita maupun murid-murid padepokan dari serangan demit. Sementara ayahandamu suka pergi bertapa mengasingkan diri, kemana kita bisa mencari pertolongan?"

Ni Melati menangkap kegelisahan suaminya itu, "Lalu bagaimana Kangmas adakah sesuatu ide?"

"Aku tak bisa menunggu ki Argolawu selesai bertapa lebih lama lagi, aku ingin mempelajari langsung semua kitab silat milik Ayahmu dinda. Bisakah kau mengambil kitab itu aku ingin meminjamnya sebentar"

"Tidak bisa Kakang,  ayahanda pasti murka,  bisa-bisa ilmu silat kita akan dimusnahkan dan kita akan diusir" tolak Ni Melati mentah-mentah.

"Niat kita baik dinda, aku rasa ada juga sebuah kitab bersampul hitam bertulis Sembilan Kegelapan yang disimpan ayahmu, jika aku berhasil melatih ilmu itu maka Ayahanda pasti mau tidak mau akan merelakanku berlatih lebih cepat."

Raut muka Ni Melati pucat pasi,  itu adalah ilmu tingkat tinggi yang terlarang untuk dipelajari oleh leluhurnya. Ia takut akan terkena bala kutuk pada sang suami.

"Ja-jangan Kakang, malapetaka akan terjadi padamu bila kau melatihnya. Aku mohon." pinta wanita itu dengan air mata bercucuran.

Lindu Pangaji menghela napas panjang. "Baiklah bila kau tak bersedia aku tak akan memaksamu lebih jauh. Aku ingin pergi sementara waktu gunung Lawu ini untuk mencari orang sakti lain yang bisa mengajariku lebih cepat Dinda."

LARANTUKA  PENDEKAR CACAT PEMBASMI IBLISTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang