Nitis Sungsang

813 72 1
                                    

Jagadnata menegang, seluruh urat timbul membentuk jalur biru di lengan dan dan paha.  Siap memuntahkan tenaga hasil pertapaan puluhan tahun. Jumlah senjata yang sudah terhisap dalam pusaran angin  sudah berjumlah ratusan, membentuk sebuah bola raksasa berisi pecahan pedang dan tombak yang berputar-putar di atas kepala.

Bunyi logam berdenting akibat berbenturan satu sama lain.

Nagindi dan Gagak Rimang serta Menggala mengambil langkah mundur untuk menghindari ledakan mahadahsyat yang akan segera terjadi. Sementara ribuan pasukan Jerangkong berpusar seakan terhisap ke satu titik semakin mendekati Jagadnata.

Langkah kaki tulang mereka bergemeretak karena terseret pusaran angin kencang.

"Musnahlah kalian!" teriak Panglima dari Kalingga itu sambil mengarahkan kedua telapak ke atas kepala sepenuh tenaga.

Suara menggelegar keras memekakkan telinga. Angin kencang riuh bersautan.

Bola itu diledakkan Jagadnata dengan menggunakan ilmu Rinai Hujan Menyapu Bumi. Mata pedang dan tombak pecah ke segala arah. Bagai bintang yang meledak, mengirimkan jutaan bilah tajam bagai  meteor ke semua penjuru mata angin.

Menghantam ribuan belulang tengkorak yang mendekat hingga hancur berkeping-keping. 

Pasukan Jerangkong itu rontok bagai ulat tersapu hujan semalam.

"Bukan main dahsyatnya jurus ini!" jerit warga Desa Bakor.

"Tentu saja, ditangan Guru, kemampuan sejati jurus ini meningkat puluhan kali lipat. Tidak bisa dibandingkan!" ujar Candini sambil  menaruh melindungi mata agar tidak terkena serpihan tulang yang hancur terbawa angin.

Nagindi yang masih berwujud ular besar pun tak mampu menghindar, walau sudah mengambil langkah mundur masih ada beberapa bilah logam menancap diantara sisik keras.

"Bangsat, ilmu orang ini tidak bisa dianggap enteng!" geram Nagindi sambil menggoyang tubuhnya agar bilah tajam itu rontok.

Ular raksasa itu kemudian bergerak meliuk kencang  di rerumputan lalu meloncat  menerkam Jagadnata dengan mulut menganga, namun Panglima itu sudah siap, telapak tangan kanan diputar membentuk lingkaran penuh tenaga dalam.

Sontak serpihan belulang yang tajam ditanah  terhisap ke arah tangan Jagadnata. Pendekar sakti itu akan mengerahkan jurus andalannya lagi.

"Nah serang aku ular siluman, biar kau rasakan kembali ilmu Rinai Hujan Menyapu Bumi!"

Angin kencang kembali  menerjang dari kedua telapak tangan  Jagadnata yang didorong bersamaan, bagaikan hujan deras mengguyur mulut Nagindi dengan serpihan tulang belulang yang tajam. 

Mulut raksasa ular itu terpentang lebar, Nagindi tak mungkin lagi menghindari serangan,  namun jenderal siluman ini sangat licin dan sakti.

Asap kehijauan segera menyebar dari  sisik Nagindi yang besar. Siluman ular itu kembali malih rupa menjadi manusia. Dengan melayang berputar  ia mengeluarkan jurus "Naga Bumi bergelung".  Jurus ini menghasilkan angin pusaran tameng tenaga dalam yang sukar ditembus. Semua senjata jarak jauh yang mengarah ke dirinya terpental keras.

"Bagus! Rupanya kau masih punya banyak ilmu simpanan" jengek Jagadnata sambil menyiapkan kuda-kuda bersiap menyerang lagi.

Nagindi tak memberi napas, ketika jarak mereka sudah berhadapan, tangan wanita itu menyerang lurus dengan membentuk kepala ular, mematuk tiga kali ke arah kaki Panglima itu. Jagadnata segera mengerahkan tenaga dalam ke kakinya dan menahan pukulan dari bawah itu dengan samping betis dan telapak kaki.

Tapak tangan Jagadnata segera berayun terpentang lebar menyasar batok kepala Nagindi dengan jurus Telapak Pasir Menyapu Ombak. Telapak itu tampak bersinar kebiruan. Namun dengan lihai tangan Naginda bergerak lemas membelit telapak itu terus merayap ke pundak kanan Jagadnata bagai ular.

LARANTUKA  PENDEKAR CACAT PEMBASMI IBLISTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang