⚡⚡⚡
"Sayangnya Daddy, udahan dong ngambeknya. Nggak kangen apa dipangku sama Daddy?" Semestinya Violory tertawa, kemudian menghambur dalam dekapan daddy-nya. Namun, yang terjadi hanyalah mulut yang terkunci rapat. Menoleh enggan, apalagi bersuara.
Jeano mendengkus kesal. Posisi berdirinya di belakang pintu kamar seolah bagian keamanan. "Anakmu itu sudah remaja."
"Dia masih balita. Apa Daddy nggak lihat masih lucu dan minta digendong ke mana-mana?"
"Ck. Imajinasimu. Perlakukan anakmu seperti remaja. Bukan balita." Pria yang rambutnya telah banyak memutih terdiam ketika mengingat hari di mana Radega berhenti melihat Violory bertumbuh. Dalam pikiran Radega, selamanya hanya balita. Hari itu, hari yang takkan pernah terlupakan.
"Balita ... kok Daddy didiemin terus?" Seulas senyum tak henti diberikan. Hanya berjarak beberapa jengkal dari gadis kecilnya, semestinya lebih mudah untuk digapai.
"Gaga, kamu nggak ada jadwal penerbangan?"
Masih terfokus pada keterdiaman Violory, dijawabnya pelan, "Cuti, Daddy."
"Jangan karna maskapai--"
Kali ini menoleh pada Jeano. "Oke. Aku kangen anakku. Dan dia masih sakit." Kemudian kembali pada kerutan di dahi Violory. Ada sesuatu yang sepertinya gadis kecil itu pikirkan.
Hati Radega terlalu sakit berlama-lama diabaikan. Tiap malamnya, dia selalu berharap agar anak satu-satunya itu kembali bersuara dan manja. Bukan diam layaknya tak memiliki pita suara.
"Daddy kalo nggak sengaja ketemu anak seumuran kamu, merasa nggak ada yang lebih cantik dan lucu kayak kamu. Apalagi punya lesung kanan kiri." Dua jari telunjuk Radega akan menyentuh pipi itu. Terhenti ketika sadar perlakuannya bisa saja menjadi kesalahan. "Mana nih lesung pipinya? Pengen dong lihat." Sia-sia. Yang diminta tersenyum mengalihkan pandangan lebih jauh.
Siluet wanita berpiyama mengalihkan misi rayu merayu Radega. Tatapan malasnya menyertai kehadiran sosok itu. Mau apa dia?
"Lory ... Mommy bersihin badan kamu ya?"
Untuk yang satu ini Radega kalah.
Selama tubuhnya dibersihkan, gadis itu bungkam dan menurut saja. Violory enggan mengalihkan tatap ke manapun. Sorot matanya kosong. Kondisi tubuhnya belum stabil. Masih ada bekas cacar tersisa.
"Ini kamar Daddy kamu waktu sebelum nikah."
Ya, Violory tau, tetapi entah apa, mommy-nya membahas hal ini. "Kamar ini memang nyaman. Tapi kamarmu yang di sana juga udah kangen sama pemiliknya."
Tanpa aba, Vreletta menenggelamkan raga anaknya dalam dekapan. Mencium sayang puncak kepalanya. Diusap pelan bagian bahu dan punggung. Sungguh, detik-detik inilah yang amat dinanti sekian lama. Tak ada gangguan. Tak ada--
Ada gerakan halus terasa. Bukan Violory yang membalas dekapan. Bukan juga ingin menyingkir. Vreletta terlalu sulit menyatakan kalau apa yang detik ini terasa hangat juga mengantarkan nyaman pada sosok dalam dekapannya.
"Maafin kesalahan Mommy ya. Selamanya kamu adalah kesayangan Mommy." Diciumnya lagi dahi berbekas cacar itu.
Tahan. Violory takkan menangis hanya karena mendengar seulas omong kosong.
"Udah selesai bersih-bersihnya. Mau tidur ditemenin Mommy?" Ini bukan pertanyaan. Permohonan terdalam yang tak tau kenapa harus ada izin.
Piyama motif kura-kura yang dipakai gadis itu lucu. Seolah langkahnya yang mendekati kasur setara anak kura-kura yang pelan-pelan ingin berpindah tempat.
KAMU SEDANG MEMBACA
LORY✅[COMPLETED]
Teen Fiction⚠ Cerita masih lengkap. Dalam proses revisi⚠ #1 in Teenfiksi➡ 13 Juni 2020 #2 in Teenfiksi➡ 14 Juni 2020 #1 in Teenfiksi➡ 15 Agustus 2020 [Disarankan membaca Querencia terlebih dahulu, sebelum membaca story ini] Beberapa Part di Private. Follow Auth...