SAN JU - EXPIATION

207 23 6
                                    

Qhey mengumpulkan semua benda berwarna violet yang berada di dalam apartemen Dreihan. Tak lupa menyiapkan kardus besar untuk menampung remahan bucin itu.

"DREI, BENER NIH DIBUANG?" Qhey sengaja mengeraskan suara, meski yang ditanya masih satu ruangan dengannya. Dia terkekeh pelan, kemudian bibirnya menyungging sinis ketika mengangkat mug berwarna violet berukiran Snowy.

Gemas. Ingin sekali mug itu langsung dilempar saja. Agar Dreihan tau tentang rasa yang disia-siakan setelah jauh berusaha keras mempertahankan.

Dreihan menoleh sekilas. Pandangannya berhenti pada mug bertuliskan Snowy. Selamanya mug itu menyimpan kenangan.

"YES!" Senandung kecil dari suara alto Qhey beriring kekehan sinis tiap kali menaruh benda dalam kardus.

"Drei, jangan bilang selama ini lo baper beneran?" Qhey membalikkan tubuhnya. Tanpa duga, Dreihan telah berdiri di dekatnya sembari menatapnya dalam. Kemudian menarik tangan gadis itu menuju puncak kepala laki-laki itu.

"Nggak pernah, Qhey. Cinta pertama gue ada di depan gue sekarang."

"Beneran? Aku nggak kuat harus terus berbagi perhatian sama cewek itu," ucapnya lirih, meminta perhatian 100%. Dirinya tidak rela jika 1% pun perhatian laki-laki spesialnya diberikan pada gadis lain.

"Semuanya udah berakhir." Keduanya saling berdekapan. Tanpa sadar seseorang memerhatikan adegan itu sembari tersenyum penuh arti dan berdeham keras.

"Mama?"

Gheans menatap seolah tak melihat adegan bermesraan kedua remaja itu. Mengulum bibirnya. Menahan bahagia saat tau Dreihan memang sudah seharusnya memilih Qhey.

Qhey membawa kardus itu setelah siap dibuang. Sedangkan Dreihan melangkahkan kaki menuju sang mama. Dia meraih pipi mamanya dan meninggalkan kecupan sayang.

Wanita itu menangkup kedua pipi anaknya. Dirinya perlu menyusuri suasana hati remaja itu melalui sorot mata. "Drei, kamu nggak perlu mengatakan iya untuk sesuatu yang akan berakhir sia-sia."

Sofa sebagai alternatif pilihan disaat rasa manja dan ingin mengadu itu hadir.

Dreihan meletakkan kepalanya di paha sang mama. Sembari memejam ringan, berupaya melepas lelah segalanya dengan cara ini.

"Aku nggak pernah benar-benar sayang dia, Ma." Ditariknya tangan lembut mamanya menuju puncak kepala. Meminta diusap sayang. "Mama pasti bisa lihat apa yang aku lakukan buat dia hanya dipaksakan."

Percakapan masih didominasi oleh Dreihan.

"Nggak ada yang lebih aku sayang selain Mama di dunia ini."

Hati Gheans menghangat. Tidak sia-sia dirinya memilih Dreihan sebagai alasan bertahan hidup. "Iya, perjalanan kamu masih panjang. Banyak seseorang di luar sana yang bisa kamu jadikan spesial."

Pejaman mata Dreihan semakin kuat.

"Iya, Ma." Detik ini tangan wanita itu diletakkan di kedua pipi Dreihan. Jemari dingin dan halus itu menyalurkan kasih sayang selayaknya seorang ibu yang telah melahirkan. "Aku restui hubungan Mama dan Om Radega."

Gheans sedikit menunduk demi memberitahu kalimat termanis yang telah lama ingin disuarakan. "Biasakan panggil Papa. Mama dan Papa."

Dreihan tersenyum samar. Demi Mama.

Pikiran Dreihan kembali pada hari dia memohon sekali lagi pada mamanya. Namun, yang dia dapat adalah balasan berupa Violory yang mengatai mamanya. Seolah hanya mamanya yang salah.

"Ma, aku sayang dia."

Gheans tersenyum getir. Apa yang dirasakan Dreihan sama dengan apa yang pernah dirasakannya dulu ketika remaja.

LORY✅[COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang