omong-omong, mate. kalian tuh masih interest nggak sih sama cerita ini? jujur selama 4-5 bulan terakhir komen di cerita ini dan sebelah hampir sama persis meski dari beda pembaca. "ceritanya seru/bagus, tapi yang update lama." jujur aku malu banget. sama sekali nggak marah malah. setiap post selalu ada embel minta maaf :(
bosen pasti, ya? so sori... i'll try my best buat stay di akun ini sampai akhir!
be happy?
yang tinggal di sekitar kalimantan/sulawesi, please stay safe. semoga semuanya cepet selesai, ya.
open donasi sudah di buka dimana-mana! 5k/10k? gakpapa banget! kebaikannya biar Tuhan yang bales?
woof you, guys!
***
Sayup-sayup mengantuk, Jean memaksa membuka kedua matanya ketika mendengar suara pelan, nyaris serupa bisikan menggelitik rungunya. Tepat di depan sana, di dekat jendela kamar, Jimin tengah bertolak pinggang sembari berbincang serius dalam sebuah sambungan telepon.
Melihat bagaimana pria itu berdiri tegap memperlihatkan punggung telanjangnya yang terlihat kokoh, Jean mendadak menggigit bibir. Sekelibat memori yang masih melekat jelas di dalam kepala membawanya bernostalgia kembali, ke momen beberapa jam lalu dimana kegiatan panas mereka yangㅡugh, Song Jean mendadak mual, perutnya melilit seolah ada ribuan kupu-kupu berterbangan disana. Dia tidak bisa membayangkan kembali bagaimana sentuhan panas itu terjadi, geraman napas tertahan, bising-bising suara eksotik, juga ledakan yang terjadi berulang kali, oh, oke, seharusnya Jean tidak melanjutkannya. Dia hanya akan membayangkan sampai disini saja.
Benar-benar lucu bagaimana Jean bisa luluh lantak hanya dengan satu sentuhan sensual. Dia nyaris melupakan fakta bahwa pria yang bercinta dengannya beberapa jam lalu adalah orang yang sama yang mampu memporak-porandakan hidupnya.
Gila.
Apa dia benar-benar sudah jatuh cinta?
"Sudah bangun ya rupanya wanitaku." Jimin berjalan mendekat ke arah ranjang, membuat Jean seketika tersadar kembali akan realita dan bergedik ngeri melihat Jimin menyeringai.
Pria tersebut kembali bergabung di bawah selimut hangat. Tanpa berbicara, membawa kepala Jean ke atas lengannya, memeluk penuh cinta, mengusap punggung polosnya pelan. "Tidurmu terganggu, ya?"
Jean menggeleng dalam rengkuhan. Terlanjur merasa nyaman jadi dia hanya bertahan pada posisi mereka tanpa memberontak.
Ah, pemberontakan lagi, ya? Sepertinya itu tidak akan terjadi untuk waktu ke depan. Toh, mereka sama-sama merasa nyaman, mempunyai ketertarikan satu sama lain, dan tentu saja, bercinta tak kenal ampun. Benar-benar terlihat jelas.
"Tidur lagi saja kalau mau." Tawar Jimin hangat.
Jean sendiri justru asik menghirup aroma peppermint di tubuh Jimin, lalu beberapa detik kemudian ia seketika mendongak, "tadi siapa?" well, akhirnya dia mengakui juga. Jean serius penasaran sebab nada bicara Jimin terdengar tegas tadi di telepon.
"Ah itu, Namjoon hyung. Aku meninggalkan banyak kesulitan di kantor." Jimin terdiam sejenak, sebetulnya sedikit merasa kasihan pada Namjoon karena tak memberi kabar lebih dulu kalau dia akan meninggalkan Seoul.
Sedang Jean semakin gencar menghirup bau leher Jimin. "Apa itu artinya kau akan kembali ke Seoul?"
Mendengar pertanyaan tersebut Jimin terkekeh. Menarik tangan Jean supaya memeluknya lebih erat, mencium dahi serta kepalanya bergantian sebelum menjawab, "seharusnya, sih, iya. Namjoon hyung sudah bersiap untuk membunuhku karena pergi tanpa pamit. Tetapi, melihat raut wajah wanitaku barusan kelihatan keberatan dan kemungkinan besar dia akan merindukanku dan sentuhanku. Em, sepertinya tidak. Aku akan berada disini lebih lama,"
KAMU SEDANG MEMBACA
Play Then Kill
Fanfiction[ᴄᴏᴍᴘʟᴇᴛᴇᴅ | sᴇᴀsᴏɴ 2 ᴏɴʟʏ ᴀᴠᴀɪʟᴀʙʟᴇ ɪɴ ʜᴀʀᴅ-ᴄᴏᴘʏ ᴠᴇʀsɪᴏɴ] "Kamar nomor 1310. Park Jimin, sasaran kepala, tanpa jejak apapun. 200 juta won." [] Bahkan sebelum memulai, Song Jean sudah lebih dulu terlibat dalam sebuah kebohongan tanpa akhir. ©str...