A month later.
21 November. Lahore yang panas dan ramai, 1 jam sebelum penyerangan.Gadis bersurai cokelat terang disana memastikan bahwa posisinya kini sudah pas untuk membidik dua target dalam waktu satu menit di sebrangnya tanpa cacat sedikit pun.
Semua orang-orang di kota Lahore melakukan rutinitas harian mereka seperti biasa. Bekerja di pagi hari, mengeluh ketika terik matahari mulai muncul, mengerjakan setumpuk berkas menyebalkan, atau beberapa dari mereka mendapat tugas sekolah yang membuat kepala pusing. Siklus kehidupan yang seperti ini memang selalu terjadi. Tapi penduduk bumi memang selalu melakukannya berulang kali, mengeluh, meratapi nasib, dan memaki keadaan sebanyak mungkin. Sebab, barangkali, cacian yang kerap mereka luapkan itu mampu meredakan kekesalan yang tersemat di dalam hati.
Di tengah malam begini, aroma basah sisa hujan sore tadi menemani langkah beberapa orang di bawah sana yang terlihat gontai, lelah. Menyisakan suara derap sepatu usang dan aspal yang saling bergesekkan. Gurat masam, napas yang terdengar berat, baju-baju yang terlihat lusuh. Semua orang telah bekerja keras hari ini.
Hampir dua pekan lamanya menetap di Pakistan membuat gadis itu sering melakukan sesi berkomentar demi membunuh waktu.
Jepang, Madrid, Moscow dan kini, Pakistan, empat negara besar ini telah menjadi tempat menarik bagi Shadow selama hampir 2 bulan lamanya pergi meninggalkan Seoul tanpa pamit.
Well, tidak juga, orang tuanya jelas tahu dimana keberadaan gadis ini sejak pertama kali. Namum tak benar-benar paham apa alasannya. Jean hanya berkata, 'di kehidupan yang sulit ini, kita tidak benar-benar membutuhkan alasan untuk melalukan sesuatu'.
Berubah seratus persen menjadi orang nomaden bukan pilihan yang salah, sebenarnya. Jean justru menikmati waktunya menjelajah kebanyak tempat sendirian. Menjalani misi atas perintah Seokjin beberapa kali, selebihnya dia akan memimpin sendiri kemana dan apa yang ingin ia lakukan. Tidak ada larangan, tidak perlu berhati-hati.
Salah satu petinggi di Korea, memilih bergabung dengan Seokjin dan memberikan perlindungan penuh atas Jean selama gadis ini menjalani tugas. Ini jelas terasa lebih baik, memusnahkan target di luar negeri di banding di negara sendiri. Tapi tetap, Jean merindukan Seoul, hiruk-pikuk disana, menikmati salju pertama dengan segelas kopi latte, makanan di kedai Bibi Jeon, dan, tentu, Mokpo. Dia merindukan semuanya. Hanya saja, sekarang masih terlalu awal untuk pulang.
Menarik napas lambat, menguap menahan kantuk, gadis itu masih menunggu perintah dari RJ di earphone yang terpasang di telinga kanannya.
Celah jendela yang terbuka membuatnya menimang-nimang tentang seberapa manis dan lezatnya cokelat panas yang tengah di seduh kakek tua yang menjadi targetnya hari ini. Apa semanis kejahatannya? Barangkali dia belum tahu bahwa sekarang adalah hari terakhirnya menatap matahari, mungkin cokelat yang sedang ia sesap juga menjadi kali terakhir baginya merasakan manisnya kehidupan sebelum semuanya mendadak menjadi gelap dan dia akan meninggalkan bumi untuk selama-lamanya. Shadow juga mulai menerka, sesekali, memiringkan kepala penasaran, alasan apa yang paling tepat untuk diberikan ketika Tuhan bertanya mengapa selama di dunia dia hanya melakukan kejahatan?
[Mic test... Shadow, kau dengar aku?]
Jean mengarahkan senapannya kembali sebelum menjawab, "aku dengar."
KAMU SEDANG MEMBACA
Play Then Kill
Fanfic[ᴄᴏᴍᴘʟᴇᴛᴇᴅ | sᴇᴀsᴏɴ 2 ᴏɴʟʏ ᴀᴠᴀɪʟᴀʙʟᴇ ɪɴ ʜᴀʀᴅ-ᴄᴏᴘʏ ᴠᴇʀsɪᴏɴ] "Kamar nomor 1310. Park Jimin, sasaran kepala, tanpa jejak apapun. 200 juta won." [] Bahkan sebelum memulai, Song Jean sudah lebih dulu terlibat dalam sebuah kebohongan tanpa akhir. ©str...