Jimin bisa merasakan dadanya berdesir dan menggila, jempol kakinya juga tak berhenti bergerak gelisah. Bahkan sedari tadi, tangannya hanya membeku memegang secangkir teh hangat rendah gula yang beberapa waktu lalu ibu Jean sediakan, untuknya.
Kejadian di luar rumah satu jam lalu rupanya membawa dampak luar biasa positif dan menguntungkan, bagi pihak Jimin, tentu saja. Bagaimana tidak, akibat serangan salju lebat di luar rumah, Jimin dan Jean masuk dalam keadaan kacau, rambut mereka juga terlihat berantakan dan basah.
Jadi takut-takut kalau keduanya terserang demam, ibu menyuruh Jimin dan Jean berganti pakaian. Si Park juga di pinjami pakaian kebesaran milik ayah gadis tersebut.
Detik itu, melihat Song Jean keluar dari dalam kamar mandi berbalut kaus putih menerawang dan celana training navy, juga rambutnya yang di bebat handuk tinggi-tinggi, pria Park tersebut tak bisa menahan senyumannya lebih lama. Hatinya menghangat, dia seperti seorang suami yang menanti istrinya merampungkan mandi. Serius, sejak menginjakkan kaki di Mokpo, yang Jimin pikirkan hanya bagaimana kalau mereka benar-benar menikah. Ya ampun.
"Jangan berpikir yang bukan-bukan." Seketika membuyarkan lamunannya, Jimin menarik jauh-jauh senyuman yang sebelumnya ketahuan si gadis. "Kau sudah berganti pakaian, tunggu apa lagi? Keluar dari kamarku."
Tapi bukannya merasa takut, Jimin justru meletakkan cangkir tehnya di atas nakas, berdiri lambat kemudian berjalan menuju Jean di depan kaca lemari pakaian.
Semakin sikap galaknya di tunjukkan, Jimin justru semakin jatuh cinta. Berkali-kali lipat lebih banyak, jadi, jangan salahkan pria ini kalau dia semakin menempel dan bukannya menjauh.
"Jangan galak-galak begitu padaku." Si Park menyeringai tipis.
Tatkala pemuda itu menghapus jarak, kaki Jean malah melemas, tubuhnya membeku. Kedua irisnya sedikit bergetar ketika sepasang lengan melingkari pinggangnya dari belakang, merengkuhnya kelewat erat, seperti kejadian beberapa waktu lalu di luar rumah. Aroma tubuh Jimin, dada bidangnya yang menempel sempurna, kehangatan yang menjalar, Jean benar-benar di buat menggila. Sedang Jimin sendiri, dia tersenyum manis menatap pantulan tubuh mereka di depan cermin. Afeksi yang diberikan gadis ini sangat luar biasa dan sulit di kontrol.
Jean menahan napas. "Kalau Ibu sampai masuk dan melihat apa yang kau lakukan—"
"Itu tidak akan terjadi. Pintunya sudah di kunci, kok."
Heck.
Park Jimin benar-benar sesuatu.
Song Jean masih sibuk menggeliat, gelisah. Meskipun tidak dapat di pungkiri, dia menyukai pelukan Jimin. Semua tentangnya, Jean suka. Dia merasa aman kendati sebagian sisi kewarasannya menolak mentah-mentah.
"Aku berhutang banyak penjelasan padamu."
Si gadis menggeleng. Ia tidak ingin mendengar apa-apa.
Beberapa waktu terlewati, rupanya si gadis mulai pasrah dengan keadaan mereka sekarang dan lebih memilih menatap Jimin balik di sana. Kedua tangannya terkulai lemah di sisi tubuh, "lepaskan pelukannya." Jean mencoba mengalihkan topik. Wajahnya memelas sempurna. Sepasang iris Jimin meredup dan terlihat memiliki banyak makna tersirat.
"Aku kedinginan," ujarnya dengan seruan tipis.
"Baju Ayah di tubuhmu terlihat kebesaran. Kau jelas hangat mengenakan pakaian itu."
Jimin terkekeh manis. Semakin mengeratkan pelukan mereka, meletakkan dagunya di atas pundak Jean sambil sesekali menyesap aroma permen dari tubuh perempuan itu. "Tidak. Tubuhmu lebih hangat daripada baju ini."
"Dasar pembual."
Kemudian, Jimin membawa kedua tangan Jean ke depan perutnya. Menggenggam disana, memeluknya lebih erat lagi, seolah dia akan kehilangan kalau rengkuhannya terlepas. Jimin tidak mau itu terjadi. "Kau merindukanku, tidak?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Play Then Kill
Fanfiction[ᴄᴏᴍᴘʟᴇᴛᴇᴅ | sᴇᴀsᴏɴ 2 ᴏɴʟʏ ᴀᴠᴀɪʟᴀʙʟᴇ ɪɴ ʜᴀʀᴅ-ᴄᴏᴘʏ ᴠᴇʀsɪᴏɴ] "Kamar nomor 1310. Park Jimin, sasaran kepala, tanpa jejak apapun. 200 juta won." [] Bahkan sebelum memulai, Song Jean sudah lebih dulu terlibat dalam sebuah kebohongan tanpa akhir. ©str...